Ramadan dan Inflasi Pangan
Khudori ;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA INDONESIA,
11 Mei 2016
SEPERTI
sebuah kelaziman, kehadiran Ramadan dan kemeriahan perayaan Idul Fitri ditandai
kenaikan harga-harga, terutama pangan. Pemerintah seperti mati kutu dan
pasrah terhadap situasi itu. Hampir semua komoditas pangan, seperti beras,
daging (ayam dan sapi), telur, sayur-sayuran, dan buah-buahan melejit tinggi.
Alasannya, saat Ramadan terjadi kenaikan permintaan sekitar 20%. Sesuai
dengan hukum besi supply-demand, ketika ada tekanan di sisi permintaan dengan
pasokan tetap, harga akan terpantik tinggi. Akhirnya, inflasi yang tinggi
saat Ramadan dan Lebaran dianggap sebagai sebuah kelaziman.
Tahun
ini merupakan Ramadan kedua Presiden Jokowi memimpin negeri ini. Tidak ingin
terjebak rutinitas dan kelaziman, tahun ini Presiden Jokowi ingin harga-harga
kebutuhan pokok tidak naik. Sebaliknya, harga harus turun. "Kita ubah
rutinitas. Tahun ini kita jungkir balikkan harga (pangan) menjadi turun,
terutama daging sapi, beras, dan minyak goreng," kata Jokowi, 26 April
2016. Presiden ingin harga daging sapi tidak lebih dari Rp80 ribu/kg. Harga
beras juga harus turun karena saat ini panen raya. Bisakah digapai?
Menarik
untuk menelusuri jejak kenaikan harga yang tecermin dalam inflasi selama
Ramadan. Pada 2005 Ramadan jatuh pada Oktober, kemudian 2008 (September),
2011 (Agustus), dan 2012-2015 (Juli). Pada 2005, inflasi saat Ramadan
mencapai rekor tinggi: 8,7%. Ini terjadi karena saat itu pemerintah menaikkan
harga BBM hanya empat hari menjelang Ramadan. Setelah itu, pada 2008 inflasi
Ramadan 0,97%, 2011 (0,93%), 2012 (0,7%), 2013 (3,29%), serta pada 2014 dan
2015 (0,93%). Terlihat bahwa inflasi Ramadan selalu tinggi, dalam beberapa
tahun terakhir bahkan tak pernah di bawah 0,7%.
Ramadan
tinggal menghitung hari. Jika tak ada aral melintang, umat Islam akan memulai
puasa pada 6 Juni 2016. Waktu tersisa tak lagi banyak. Sementara itu,
langkah-langkah pemerintah untuk menstabilkan harga tidak mengalami perubahan
signifikan ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Langkah menurunkan harga bahkan
tidak tampak. Kalaupun ada yang baru, tidak lain ialah hadirnya Tim
Ketersediaan dan Stabilisasi Harga di Kementerian Perdagangan. Tim dibentuk
April lalu. Mengandalkan tim jelas tak cukup.
Tim
itu merupakan mandat dari Perpres Nomor 71/2015 tentang Penetapan dan
Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting). Kebutuhan
pokok ada 11 barang, sebagian besar pangan: beras, kedelai bahan baku
tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging
sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar (bandeng, kembung, dan
tongkol/tuna/cakalang). Sementara itu, barang penting mencakup 7: benih
(padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji 3 kg, tripleks, semen, besi baja
konstruksi, dan baja ringan. Tim bertugas memberi masukan kepada mendag dalam
penetapan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, dan ekspor/impor.
Pasal
4 Perpres 71 menyebutkan, untuk pengendalian ketersediaan bapokting, mendag
menetapkan harga acuan dan harga pembelian pemerintah pusat untuk sebagian
atau seluruh bapokting. Pasal 5 mengatur, dalam kondisi tertentu yang bisa
mengganggu kegiatan perdagangan nasional, pemerintah pusat wajib menjamin
pasokan dan stabilisasi harga bapokting.
Kondisi
tertentu yang dimaksud ialah saat terjadi gangguan pasokan dan/atau kondisi
harga bapokting berada di atas harga acuan atau di bawah harga acuan.
Kebijakan harga khusus bisa diterapkan pada hari-hari besar keagamaan, harga
eceran tertinggi untuk operasi pasar dan harga subsidi untuk sebagian atau
seluruh bapokting.
Masalahnya,
sampai kini Mendag belum menetapkan harga acuan (harga saat hari besar
keagamaan, harga eceran tertinggi, dan harga subsidi) untuk sebagian atau
seluruh bapokting. Terakhir mendag mengeluarkan Permendag No 21/2016 tentang
Harga Acuan Pembelian Jagung di Tingkat Petani oleh Bulog. Yang diatur harga
pembelian, bukan harga acuan. Bagaimana mungkin menstabilkan harga tanpa
harga acuan? Yang tak kalah penting, bagaimana mungkin bisa menstabilkan
harga bila instrumen terpenting, yakni stok/cadangan, tidak menjadi domain
penting dalam Perpres 71? Alih-alih menurunkan harga, harga bapokting bisa
dijaga tak bergerak (naik/turun) secara liar sudah luar biasa.
Instrumen
stok/cadangan diatur secara khusus di Peraturan Pemerintah No 17/2015 tentang
Ketahanan Pangan dan Gizi. Di PP itu cadangan pangan terbagi tiga level:
pusat, daerah, dan desa. Di Pasal 3 PP No 17/2015 diatur, cadangan hanya ada
pada pangan pokok tertentu. Jenis pangan pokok tertentu harus ditetapkan
presiden dan jumlah cadangan ditetapkan kepala lembaga pangan. Sayangnya,
sampai saat ini Presiden belum menetapkan jenis pangan pokok tertentu itu.
Bahkan, lembaga pangan yang jadi mandat Pasal 126-129 UU Pangan No 18/2012
belum dibentuk hingga kini.
Agar
instabilitas harga pangan tidak selalu menjadi rutinitas Ramadan dan inflasi
bisa dikendalikan, perlu dua langkah sekaligus. Pertama, Presiden segera
menetapkan jenis pangan pokok tertentu yang diatur cadangannya. Jenis pangan
itu akan beririsan dengan 11 kebutuhan pokok. Kedua, segera menunaikan
pembentukan lembaga pangan. Kemudian kepala lembaga itu menetapkan jumlah
cadangan pangan pokok tertentu. Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga
tersebut dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga. Lewat cara itu,
pengendalian harga pangan dan inflasi bisa ditunaikan lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar