Literasi Kriminal dalam Gerakan Literasi Sekolah
Pangesti Wiedarti ;
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta; Ketua Satgas Gerakan Literasi Sekolah
Kemendikbud
|
KOMPAS, 11 Mei 2016
Gerakan literasi
sekolah mulai banyak disosialisasikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan—sebagai implementasi Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015—dalam wujud
15 menit membaca setiap pagi sebelum pelajaran dimulai.
Gerakan itu merujuk
pada keterampilan abad ke-21 bahwa siswa dituntut menguasai literasi
numerasi, sains, teknologi informasi, finansial, budaya, dan kewarganegaraan.
Literasi secara mendasar dipahami sebagai melek, menguasai, memahami dengan
baik. Dalam konteks gerakan literasi sekolah, literasi dimaknai sebagai
kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan informasi dengan cerdas.
Enam jenis literasi di
atas belum cukup. Perlu ada literasi kesehatan, keselamatan di jalan, dan
kini tampaknya diperlukan literasi kriminal, mengingatkasus kejahatan
terhadap anak usia sekolah kian buruk dengan munculnya kasus biadab:
perkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, siswi SMP di Rejang Lebong,
Bengkulu.
Literasi kriminal?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,kriminal berkaitan dengan
kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang;
pidana.Literasi kriminal berkaitan dengan pemahaman terhadap jenis kejahatan
dan sanksinya sebagai risiko perbuatan merugikan pihak lain dalam berbagai
bentuk: ancaman psikologis, penyiksaan, pelecehan, pemerkosaan, dan kematian.
Kasus Yuyun di
Bengkulu merupakan puncak kejahatan yang dilakukan secara biadab oleh orang
muda kita, yang di dalam-nya terdapat siswa (kakak kelas Yuyun). Kita semua
berharap jangan sampai kejahatan dalam bentuk apa pun terulang lagi. Namun,
pada Kamis, 5 Mei 2016, terdapat lagi kasus pemerkosaan terhadap siswa SD
kelas III di Situbondo oleh tetangganya, kakek temannya bermain, berusia 70
tahun. Kedua tangan gadis cilik itu diikat, mulutnya ditutup dengan plakban,
lalu diperkosa. Korban diancam untuk tak memberitahu siapa pun dan diberi Rp
10.000. Tindak asusila ini tak kalah biadab dengan kisah Yuyun.
Jika kita hanya
menyampaikan bahwa agar pelaku dihukum seberat-beratnya, itu tak cukup.
Kejadian serupa akan berulang dalam konteks senada karena antara korban dan
pelaku belum/tak melek kriminal. Namun, jika diadakan gerakan masif dengan
tujuan membuat semua warga—terutama orangtua, siswa, dan guru—agar menyadari
dan melakukan gerakan kewaspadaan terhadap setiap bentuk kejahatan, ini dapat
memunculkan keberhati-hatian.
Dampak yang diharapkan
Modul literasi
kriminal perlu dibuat berisikan penyampaian motif kejahatan dan mengenalinya;
menghindari dan atau mencegah kejahatan; menyelamatkan diri dari ancaman
kejahatan; menyampaikan secepat mungkin kepada orangtua atau tetangga yang
dapat dipercaya jika mengalami tindak kejahatan, dan melapor kepada
kepolisian setempat.
Isi lain dari modul
itu adalah perlu menyediakan nomor darurat, seperti 911 di Amerika Serikat
(aplikasi di Android tentang perlindungan anak dan keluarga Indonesia saja
belum cukup karena hanya dapat diakses kalangan menengah ke atas); pemahaman
sanksi hukum dari kejahatan yang dilakukan agar siswa/pelaku yang
akan/melakukan kejahatan mengetahui risiko dari tindak kejahatan dengan
mengambil pasal dan ayat yang diperlukan, baik dari UU No 11/2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 23/2004 Pasal 1 Ayat 1 dan Pasal 2 Ayat
1, maupun KUHAP dan KUHP.
Modul itu berisikan
juga kegiatan lain yang memicu tindak kejahatan; pelarangan minum tuak dan sejenisnya
bagi siswa sekolah; pelarangan menjual/memberi tuak kepada siswa; membawa
senjata tajam; memblokir situs porno dan games online yang berkemungkinan
memicu tindak kekerasan dari semua akses internet di Indonesia. Proteksi
ketat harus dilakukan dalam dunia siber baik bagi siswa maupun warga
masyarakat.
Pada tataran lapangan,
kolaborasi antara dinas pendidikan kabupaten/provinsi dan kepolisian
diperlukan. Akademisi universitas setempat dapat disertakan. Kepala sekolah
dan jajarannya berperan penting dalam hal ini. Penyampaian materi dapat
dilakukan psikolog, akademisi, guru berpengalaman, polwan berpengalaman, atau
narasumber lain pada wilayah masing-masing. Koordinasi di pusat dapat
dilakukan oleh Kemendikbud karena siswa sekolah di bawah kewenangannya. Kerja
sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia perlu diwujudkan pada aksi di
lapangan.
Materi disampaikan
sesuai dengan kemampuan siswa per jenjang, disertai foto dan video tentang
kenakalan/pelanggaran/kejahatan, kondisi hidup di penjara (agar dapat
diketahui betapa tak nyaman hidup di penjara), dan pasal serta hukuman
terkait tindak pidana pelaku kriminal.
Contoh hukuman yang
diberikan SMAN 3 Jakarta terhadap keenam siswi pelaku perundungan (bullying) terhadap adik kelasnya dalam
bentuk tidak diluluskan dalam UN dapat ditetapkan. Keenam siswi itu bisa jadi
pandai dalam kognitif, tetapi tidak dalam afektif, akibatnya mereka harus
mengulang kelas XII dan pindah sekolah. Ini contoh pemberian sanksi yang
tepat dan harus ditegaskan agar muncul jera dari pihak siswa dan orangtua
sebagai akibat lengah dalam mendidik anak.
Gerakan literasi
kriminal diharapkan dapat menyadarkan warga masyarakat terhadap tindak
kejahatan yang berkemungkinan terjadi di sekitar kita dan bagaimana strategi
untuk menghadapinya. Jika siswa menjadi pelaku kejahatan, perlu dipikirkan
juga bagaimana pembinaan yang diberikan.
Jika gerakan literasi
kriminal dilakukan secara masif, para pelaku kriminal akan berpikir sekian
kali ketika akan bertindak jahat sebab secara serempak muncul gerakan melawan
kejahatan dalam bentuk tindakan di lapangan. Bukan wacana! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar