Kebangkitan Hulu Migas Nasional
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas
Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
|
KOMPAS, 11 Mei 2016
Kita memang tak boleh
bergantung pada migas, baik dalam penerimaan negara maupun dalam pemenuhan kebutuhan
energi. Namun, bukan berarti ketika produksi dan cadangan terbukti migas,
khususnya minyak, terus-menerus turun kita boleh mendiamkannya karena
menganggap itu memang sudah sewajarnya terjadi.
Menganggap secara
sederhana bahwa minyak dan gas (migas) adalah sumber energi tak terbarukan,
dan oleh karenanya ketika produksi dan cadangan terbuktinya terus-menerus
turun adalah hal yang alamiah, sehingga kita tidak perlu melakukan apa-apa
terhadapnya bukan saja pandangan yang keliru, tetapi pada tingkatan tertentu
hal itu sebenarnya mengindikasikan adanya sebuah kemalasan.
Ada banyak contoh di
mana suatu negara dapat menaikkan secara signifikan produksi maupun cadangan
terbukti migasnya, meski sebelumnya telah mengalami periode penurunan. Jika
AS yang dapat melipatgandakan produksi minyaknya dari kisaran 7,2 juta barrel
per hari di tahun 2004 menjadi 11,7 juta barrel pada akhir 2014, dan cadangan
terbuktinya dari 29,3 miliar barrel jadi 48,5 miliar barrel pada kurun waktu
yang sama tidak dapat kita jadikan referensi karena dianggap terlalu
fenomenal dan berbeda jauh dengan kita, Brasil mungkin dapat kita jadikan
contoh. Negara ini mampu menaikkan cadangan terbukti minyaknya dari 11,2
miliar barrel pada 2004 jadi 16,2 miliar barrel di akhir 2014. Pada kurun
waktu yang sama produksinya juga meningkat dari 1,5 juta barrel per hari jadi
2,4 juta barrel per hari.
Masih pada kurun waktu
yang sama, Tiongkok yang selama ini tak kita kenal sebagai negara minyak pun
mampu meningkatkan produksi dan cadangan terbukti minyaknya, masing-masing
dari 3,6 juta barrel per hari jadi 4,2 juta barrel per hari dan 15,5 miliar
barrel jadi 18,5 miliar barrel. Sementara produksi minyak kita terus menurun
dari 1,7 juta barrel per hari pada 1995 menjadi hanya sekitar 800.000 barrel
per hari saat ini, dan cadangan terbukti dari di atas 9 miliar barrel jadi
hanya 3,7 miliar barrel saat ini.
Apakah itu terjadi
karena memang sumber daya minyak yang kita miliki lebih sedikit dan kecil?
Secara nominal, dibandingkan negara-negara di atas, angka cadangan terbukti
yang kita miliki mungkin memang lebih kecil. Namun, secara relatif, potensi
cadangan yang kita punya dan sudah teridentifikasi sebenarnya tidak bisa
dikatakan sedikit.
Akhir 2015 lalu,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Komite Eksplorasi Nasional
menyatakan telah mengidentifikasi adanya tambahan potensi cadangan terbukti
minyak 2,7 miliar barrel dan gas 14 trillion cubic feet (TCF). Untuk minyak,
angka itu berarti sekitar 72 persen dari total cadangan terbukti kita saat
ini. Untuk gas, angka itu berarti kurang lebih setara dengan cadangan
terbukti gas di Blok Masela yang beberapa waktu lalu kita ”ributkan”.
Jika ditindaklanjuti
dengan sungguh-sungguh melalui serangkaian kebijakan dan langkah investasi
eksplorasi dan produksi yang konkret, dalam hal jumlah cadangan terbukti
minyak hal itu dapat membawa kita kembali di level 1994-1996. Di dalam
produksi, hal itu juga sangat berpotensi membawa kita kembali menembus level
1 juta barrel per hari. Belum lagi kalau kita memasukkan variabel bahwa di
Indonesia terdapat lebih kurang 60 cekungan sedimen (basin) yang
teridentifikasi mengandung hidrokarbon migas. Dari angka itu, baru 38 telah
dieksplorasi, sisanya sama sekali belum pernah dieksplorasi. Dari 38 cekungan
yang sudah dieksplorasi, 16 di antaranya telah ditemukan migas dan sembilan
di antaranya telah berproduksi. Jika dilakukan upaya sungguh-sungguh dalam
bentuk investasi eksplorasi dan produksi yang masif, bukan hal yang mustahil
bagi hulu migas Indonesia untuk kembali ke puncak masa produksinya di level
1,65 juta barrel per hari, sebagaimana pada 1977 dan 1995.
Perlu perhatian presiden
Bagaimana mewujudkan
hal itu? Kuncinya ada pada presiden. Jika presiden memandang fenomena
penurunan cadangan dan produksi migas sebagai sesuatu yang alamiah, ke depan
kita hanya akan menyaksikan produksi dan cadangan migas kita yang terus
menurun. Impor minyak kita akan terus meningkat. Kita hanya akan jadi anggota
OPEC yang makin terus kurang diperhitungkan, sekadar pelengkap yang dibutuhkan
semata karena kita adalah konsumen dan sekaligus pasar terbesar di kawasan
Asia Tenggara.
Tanpa bermaksud
menyederhanakan permasalahan dan menganggap pihak-pihak lain tak penting,
saya sudah sampai pada satu titik kesimpulan: kebangkitan hulu migas nasional
hanya akan terjadi jika Presiden Joko Widodo bersedia memberikan perhatian
lebih pada hulu migas dengan mengambil tindakan segera secara langsung. Isu
dan permasalahan yang selama ini jadi kendala utama dalam pengembangan hulu
migas nasional sudah multisektoral dan multitingkatan pemerintahan yang
kompleks dan tak lagi selalu linier dalam pemecahannya, sehingga sudah tak
cukup lagi ditangani pejabat setingkat menteri ataupun menteri koordinator.
Dalam hal ketakpastian
aturan main karena lemahnya payung hukum UU Migas (UU Nomor 22 Tahun 2001)
yang sebagian besar pasalnya sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, misalnya,
penyelesaiannya secara lebih progresif memerlukan presiden untuk turun tangan
langsung dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Dalam hal pembebasan lahan dan perizinan, instruksi atau peraturan presiden
diperlukan untuk memberikan perlakuan khusus yang dapat memperlancar kegiatan
eksplorasi dan produksi. Begitu juga dalam permasalahan lain yang berkaitan
dengan aspek fiskal, perpajakan, bea masuk, dan ekspor-impor, memerlukan
panduan kebijakan yang jelas dari presiden untuk menyelaraskan perbedaaan
kepentingan sektoral yang ada.
Dalam pengamatan saya
selama ini, selain arahan penyelesaian yang jelas dalam kasus pengelolaan
Blok Mahakam dan Blok Masela, saya melihat isu dan permasalahan krusial di
sektor hulu migas belum benar-benar mendapat perhatian khusus dan prioritas
dari Presiden Jokowi secara langsung. Sebetulnya sesuatu yang wajar,
mengingat isu dan kompleksitas permasalahan lain yang dihadapi negara ini.
Namun, perludiingat bahwa dalam proyeksi hingga 2050 pun peran migas dalam
bauran energi primer nasional maupun dunia masih tetap akan dominan, di atas
50 persen, meskipun energi lain yang berasal dari sumber energi baru dan
terbarukan akan terus berkembang.
Dengan demikian,
sesungguhnya ada alasan yang sangat mendasar bagi pemerintahan, khususnya
Presiden Jokowi, untuk (mulai) dapat memberi perhatian yang lebih besar dan
memimpin secara langsung dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hulu
migas nasional yang ada. Terlebih saat ini hulu migas nasional juga tengah
dalam keadaan survival karena harga minyak yang rendah. Masih belum
terlambat, Pak Jokowi.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar