Alegori Munaslub Partai Golkar
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 10 Mei 2016
Kisah metamorfosis
Golkar sebagai mesin penggilas kedaulatan rakyat yang efektif hingga
bertransformasi menjadi Partai Golkar atau PG, sebagai pilar demokrasi di era
Reformasi, meninggalkan jejak yang akan memberi arah PG pasca musyawarah luar
biasa. Penanda kedigdayaan PG yang paling fenomenal adalah kemampuan
melakukan transformasi institusi dari mesin politik rezim tiran menjadi
perangkat demokrasi. PG tidak hanya dapat mempertahankan eksistensinya,
bahkan mampu mengukuhkan diri sebagai salah satu pemain politik yang dominan.
Padahal, pada era itu; parpol yang menjadi alat penguasa pemerintahan tiran
di Eropa Timur, Amerika Latin, serta Asia; amat sulit untuk bangkit lagi
setelah terjadi reformasi politik.
Namun, sangat
disayangkan kedigdayaan tersebut berumur sangat pendek. PG semakin kedodoran
dan lunglai, dari sisi organisasi, wawasan, terlebih ideologi. Proses
dekonsolidasi ketiga dimensi tersebut terus terjadi hingga sepuluh tahun
berikutnya. Penyebab utamanya, proses transformasi dilumpuhkan oleh toksin
politik uang dan transaksi kepentingan yang didorong hasrat menikmati
kekuasaan. PG semakin loyo karena dicengkeram pemilik kapital, sekadar dijadikan
sarana membangun imperium korporasi. Proses institusionalisasi macet.
Ibaratnya, PG keluar dari mulut singa (penguasa Orde Baru) masuk ke mulut
buaya (pemilik modal). Eksistensi PG sekadar bayang-bayang dari pantulan
kinerja praktik politik uang yang sistemik. Institusi tersebut jauh dari
realitas sebagai lembaga penopang demokrasi.
Deskripsi tersebut
oleh Plato, sekitar 400 tahun sebelum Masehi, disebut fenomena Goa Alegori (Allegory of the Cave). Alegori sebagai
metafor yang lebih elaboratif, mengisahkan serombongan tawanan yang
ditempatkan dalam goa tertutup yang gelap. Sinar hanya berasal dari api di
dasar goa yang memantulkan bayang-bayang para penjaga yang setiap hari dapat
disaksikan di dinding goa. Para tawanan seumur-umur hanya dapat melihat
bayang-bayang tersebut sehingga mereka menyimpulkan bayang-bayang adalah
realitas. Tragisnya, mereka tidak mau keluar dari goa terkutuk. Setelah
dipaksa dengan kekerasan, para tawanan mau keluar dari goa yang menyiksa
mereka (A Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi, Mendidik Pemimpin dan Negarawan:
Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon dari Yunani Antik Hingga
Indonesia, 2014).
Kisah ribuan tahun
lalu itu menjadi aktual dalam Munaslub PG. Para elitenya seakan tersandera
dalam goa alegori yang gelap-gulita sehingga melihat PG sebatas instrumen
kepentingan pemilik kapital, bukan lembaga politik yang menjadi saka guru
demokrasi. Karena itu, dianggap wajar para calon ketua umum PG wajib menyetor
miliaran rupiah. Persyaratan yang oleh banyak kalangan hampir dapat
dipastikan jadi pemicu merebaknya politik uang dalam munaslub.
Namun, berkat
perlawanan gigih kalangan elite PG, kritik tajam publik, serta peringatan
KPK, menjelang akhir masa pendaftaran setoran turun menjadi Rp 1 miliar.
Dalam perspektif ini, munaslub telah kehilangan momentum untuk membuktikan
bahwa ia bukan parpol yang telah ”mati rasa”. Perhelatan akbar itu mubazir
karena tidak disertai munculnya wacana publik tentang gagasan brilian yang
dapat meyakinkan masyarakat bahwa PG sedang berjuang keras mewujudkan diri
sebagai institusi politik bermartabat. Sebaliknya, PG menelanjangi diri dan
memamerkan urat malu politiknya.
Akibatnya, kegaduhan
menjelang munaslub hanya berputar-putar sekitar duit. Sementara beberapa
calon ketua umum hanya disibukkan dengan mencoba meyakinkan pemerintah,
apabila menang mereka siap mendukung pemerintah. Sebenarnya niat tersebut
bukan pilihan yang sesat, tetapi seharusnya bukan merupakan tujuan utama.
Komitmen tersebut semestinya sekadar sarana bagi PG mewujudkan agenda
spesifik, yang dalam perspektif PG sangat penting untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Karena itu, tampaknya
siapa pun yang akan menjadi ketua umum PG diragukan mempunyai hasrat
melakukan terobosan yang lebih dari sekadar kepentingan subyektif para elitenya.
Tidak terlalu sulit menebak siapa yang akan menjadi pemenang. Mengingat medan
pertarungan didominasi oleh pengaruh Aburizal Bakrie (ARB), hampir dapat
dipastikan pemenangnya adalah kerabat tepercayanya. Dominasi ARB makin kuat
kalau ada unsur pemerintah yang menjadi karibnya. Atas nama pemerintah, dia
akan menggerakkan mesin negara memenangkan kerabat ARB. Kenyataan itu, dalam
bahasa Plato, PG tetap merupakan tawanan yang meyakini bayang-bayang sebagai
realitas.
Namun, harus dihargai
kemauan mulia beberapa elite PG yang berusaha keras agar munaslub tidak
sekadar ajang pertarungan pemilik modal. Kemajuan itu, antara lain, munaslub
lebih terbuka, dibentuk komisi etik, serta serangkaian kampanye yang
diharapkan dapat menggelorakan gagasan mulia. Publik yakin masih banyak
terdapat tokoh PG yang mendambakan PG menjadi institusi penyangga demokrasi.
Semoga alegori Munaslub PG dapat menjadikan PG keluar dari kegelapan goa dan
menjadi obor yang menerangi jagat politik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar