Kebiri Kimia bagi Penjahat Seksual
Wimpie Pangkahila ;
Guru Besar Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana; Ketua Umum Persandi
|
KOMPAS, 13 Mei 2016
Berita
tentang kebiri kimia meledak lagi di media massa setelah terjadi pemerkosaan
dan kematian yang menimpa Yy di Bengkulu. Masyarakat marah dan resah dengan
kematian gadis 14 tahun itu, setelah diperkosa oleh 14 pemuda berusia 16-23
tahun.
Apalagi,
10 di antara 14 pelaku hanya dituntut 10 tahun penjara. Serendah itukah
menghargai nyawa seorang gadis akibat kejahatan seksual? Maka, keinginan
untuk segera menetapkan hukuman kebiri kimia menjadi semakin kuat.
Pertanyaan
yang muncul, apakah dengan menerapkan hukuman kebiri kimia pelaku menjadi
jera dan kejahatan seksual tidak ada lagi? Mengapa hukuman yang ada tidak
diperberat, misalnya menjadi seumur hidup di sebuah pulau terpencil, apalagi
dikelilingi buaya? Apakah kebiri kimia memang lebih efektif membuat efek jera
dan menekan kejahatan seksual di masyarakat?
Belum
ada data yang dapat dijadikan dasar, jenis hukuman mana yang lebih berefek
jera dan meniadakan kejahatan seksual. Lebih sulit lagi kalau mempersoalkan
apa dan bagaimana detail hukuman kebiri kimia.
Sejak
awal wacana kebiri kimia digaungkan, bermunculan berbagai informasi yang menunjukkan
ketidakmengertian masyarakat, termasuk yang menyampaikan informasi. Ada
kebingungan dengan istilah kebiri, kebiri kimia, ada pula istilah pemotongan
saraf libido.
Narasumber
yang dimunculkan di media massa ternyata tidak semua berkompeten sehingga
informasinya kurang tepat. Oleh karena itu, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) pernah menyampaikan surat penjelasan
kepada para menteri terkait dengan rencana hukuman kebiri kimia.
Kebiri kimia
Istilah
kebiri kimia berasal dari kata obat yang bersifat anti hormon testosteron,
pelaku diharapkan kehilangan dorongan seksualnya. Dengan demikian, si pelaku
menjadi tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual.
Namun,
tidak mungkin hanya dengan sekali pemberian obat lalu dorongan seksual
langsung hilang dan tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kalau hormon
testosteronnya ditekan sehingga menjadi rendah, akibatnya memang terjadi
penurunan dorongan seksual. Selanjutnya diharapkan pelaku menjadi tidak ingin
dan tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual.
Namun,
perlu diingat, dorongan seksual tidak hanya dipengaruhi oleh hormon
testosteron, tetapi juga oleh pengalaman seksual sebelumnya, kondisi
kesehatan secara umum, dan faktor psikologis terkait fungsi seksual. Berarti,
walaupun mendapat obat anti testosteron, belum tentu keinginan melakukan
hubungan seksual lenyap sama sekali, terlepas dari mampu atau tidak
melakukannya.
Pengalaman
seksual sebelumnya, apalagi selama bertahun-tahun, pada umumnya tetap melekat
di pusat seks yang ada di otak. Pengalaman ini akan muncul dalam kondisi
tertentu, dan membuat orang melakukan upaya agar dapat melakukan hubungan
seksual lagi. Bahwa apakah upayanya berhasil atau tidak, tentu bergantung
pada apa upaya yang dilakukan.
Selain
itu, penurunan hormon testosteron juga akan mengganggu fungsi organ tubuh
yang lain, seperti otot yang mengecil, tulang yang keropos, sel darah merah
berkurang, dan fungsi kognitif terganggu. Apakah pengaruh lain ini dibiarkan
begitu saja, padahal tujuan awal hukuman kebiri kimia bukan untuk mengganggu
fungsi organ lain?
Beberapa
kemungkinan di atas tampaknya perlu kita pikirkan sebelum melaksanakan hukum
kebiri bagi para penjahat seksual. Akan tetapi, yang pasti, semua orang di
negara ini sepakat agar penjahat seksual dihukum seberat mungkin. Sama halnya
dengan keinginan semua orang agar penjahat korupsi juga dihukum seberat
mungkin.
Beberapa masalah
Katakanlah
kita sepakat dengan hukuman kebiri kimia, tetapi tampaknya tidak sederhana
dalam penerapannya. Beberapa masalah berikut perlu dipikirkan dengan baik.
Apakah dokter yang melakukan tidak dianggap melanggar etika kedokteran,
bahkan malapraktik?
Mengapa?
Karena dalam kondisi kadar testosteron normal dan tidak ada indikasi, dokter
tidak dibenarkan memberikan anti testosteron. Sebab, hal itu berarti sama
saja dengan dokter dilarang memberikan pengobatan atau tindakan tertentu
tanpa indikasi yang pasti.
Kalau
dokter harus tunduk melaksanakan peraturan atau undang-undang, ya, apa boleh
buat. Namun, bagaimana dengan akibat yang mungkin terjadi pada organ lain
seperti di atas? Apakah dokter tidak dianggap melanggar hak asasi manusia
(HAM) karena merusak fungsi organ tubuh lain? Padahal, sekali lagi, tujuan
utama penerapan hukum ini agar pelaku tidak mau dan tidak mampu lagi
melakukan kejahatan seksual.
Hal
lain yang perlu kita pikirkan adalah setelah pelaku bebas dari hukuman:
mungkinkah dia mendapatkan kembali dorongan seksual dan kemampuan melakukan
hubungan seksual? Mungkin saja, dengan cara mendapatkan kembali pengobatan
testosteron. Selain itu, mungkinkah pelaku kemudian mampu melakukan kejahatan
seksual lagi kalau dorongan seksualnya hilang atau kurang? Dan, andai kata
pelaku tetap kehilangan dorongan seksualnya, tetapi mau melakukan hubungan
seksual, mungkinkah? Dengan pengobatan tertentu, mungkin saja kemampuan
seksual didapat walaupun tanpa dorongan seksual. Artinya, ia tetap mampu
melakukan kejahatan seksual walaupun tanpa atau hanya sedikit merasakan
dorongan seksual.
Semoga
uraian singkat ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua dalam
mewujudkan keinginan menerapkan hukuman kebiri kimia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar