Apakah Salah kalau Kita Sedikit Membanggakan Diri?
Sawitri Supardi Sadarjoen ;
Penulis Kolom PSIKOLOGI Kompas
Sabtu
|
KOMPAS, 14 Mei 2016
Kita
perlu mempertimbangkan perbedaan latar belakang tradisi kita, bahkan untuk
hal-hal dalam percakapan sehari-hari. Sebab, kalau kita tidak bersikap
seperti itu, akan mudah bagi kita menjadi marah kepada seseorang yang bicara
atau memutuskan untuk bersikap "diam" yang kurang sesuai dengan
kebiasaan dalam lingkungan tradisi kita.
Contohnya,
saya memiliki dua teman yang berambisi dan juga mendapat prestasi sosial
membanggakan dan selalu mempertimbangkan dalam-dalam untuk selalu bersikap
merendah dalam situasi sosial. Pada umumnya, para perempuan cenderung
menyembunyikan prestasi mereka, padahal begitu suksesnya sehingga mereka
sering menunjukkan atau mengawali ungkapan tentang keberhasilan mereka dengan
permintaan maaf terlebih dahulu. Contohnya, ungkapan sebagai berikut:
"Ya, memang saya memenangkan kejuaraan Asia untuk bermain golf, tetapi kemenangan
tersebut sebenarnya karena kebetulan saja saya sedang beruntung. Sebenarnya
dalam hati kecil saya hanya menginginkan tinggal di rumah dan mengasuh kedua
anak saya".
Terus
terang saya merasa kurang senang dengan cara teman saya menyatakan
keberhasilannya tersebut dengan merendah seolah keberhasilannya hanyalah
karena "keberuntungan" dan bukan karena kepiawaiannya bermain golf.
Terus
terang bahwa saya juga tidak menginginkan teman yang menang dalam
pertandingan golf se-Asia tersebut terlampau bangga dan sombong akan
keberhasilannya. Namun, yang saya inginkan ialah hendaknya mereka menyatakan
bahwa keberhasilannya berdasar pada ambisi prestatif dan bahwa mereka
menjalani pertandingan tersebut dengan segala kesungguhan hatinya. Sikap
seperti itu akan menghasilkan efek yang lebih baik bagi diri dan lingkungan
luas mereka. Jika merendahkan diri dengan pertimbangan untuk membuat orang
lain tidak sombong melalui upaya kita menyembunyikan talenta dan ambisi kita,
kondisi semacam itu justru akan memuat kesan menghina lingkungan dengan sikap
yang penuh arogansi (kesombongan terselubung).
Latar belakang
Saat
saya merasa tersinggung oleh sikap beberapa teman yang sebenarnya sukses
tetapi bersikap merendah, saya teringat akan keberadaan latar belakang etnik
yang berbeda yang bisa saja menjadi penyebab perasaan kurang senang serta
membuat emosi saya tegang. Orang dengan latar belakang etnik Jawa
tradisional, misalnya, akan merasa berdosa kalau membanggakan asal
keturunannya.
Sikap
menyombongkan diri dan menyatakan kebanggaan diri sangat tidak dibenarkan
oleh orang tua dengan latar belakang Jawa tradisional tersebut. Mereka
membekali anak-anaknya untuk memiliki kompetensi secara diam-diam, dan adalah
sikap yang salah apabila berusaha menarik perhatian orang lain terhadap
keunggulan diri anaknya tersebut.
Ternyata
orang Irlandia pun teman saya berpendapat bahwa menampilkan diri dengan
"besar kepala" adalah tabu terbesar bagi keluarga Irlandia.
Sementara orang Yahudi sebaliknya berpendapat bahwa adalah dosa bagi seorang anak
yang tidak berbuat sesuatu bagi kebanggaan keluarga. Jadi, anak-anak mereka
didukung untuk membuat diri mereka bersinar di lingkungannya. Menang dalam
pertandingan lari tunggal lebih berharga di mata keluarga Yahudi daripada
menjadi anggota tim sepak bola yang sering memenangkan pertandingan.
Contoh
lain, seorang ibu Yahudi mendorong dua anak balita dalam kereta dorong. Saat
ada orang yang tertarik dan mengungkap: "Wow, lucu dan menyenangkan
kedua anak ibu, berapakah usianya?" "Dengan bangga si ibu Yahudi
tersebut menjawab dengan ungkapan sebagai berikut: 'Dokter ini, usianya 4
tahun, sedang Pengacara ini, usianya 3 tahun,'" sambil menunjukkan
tangannya kepada anak yang satu lagi. Tampak terlampau cepat ibu tersebut
membanggakan kedua anaknya yang masih balita kepada orang asing yang ditemui.
Betapa..?!
Dari
perbedaan cara mengungkap diri tersebut kita menyadari bahwa terdapat
perbedaan besar antarsatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya
yang menyertakan begitu banyak aturan dalam setiap kelompok. Apalagi, banyak
di antara kita yang tidak tahu lagi asal muasal etnik kita sendiri sehubungan
dengan multidimensionalitas berbagai etnik campuran. Kita adalah produk dari
tradisi multirasial.
Meski
demikian, jika kita membutakan diri terhadap keberadaan berbagai kebudayaan
dan tradisi-tradisi serta aturan-aturan dalam kelompok orang-orang berbeda,
kita akan terbelenggu dengan berbagai macam gejala patologik, baik terhadap
keluarga kita sendiri maupun kepada kelompok manusia lainnya. Hal itu membuat
kita berpikir bahwa mereka menyatakan dan mengungkap suatu hal atau kejadian
dengan cara berlebihan, sangat kurang ataupun tampak sangat salah di mata
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar