Memastikan Efektivitas Amnesti Pajak
Andreas Lako ;
Guru Besar Akuntansi Unika
Soegijapranata Semarang
|
KORAN SINDO, 01 April
2016
Setelah masa reses DPR
(19/3-4/4), rencananya lembaga legislatif akan melanjutkan pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak. Pemerintah mendesak agar
pembahasan RUU tersebut segera diselesaikan dan disahkan menjadi
undang-undang (UU) untuk menambal APBN 2016. DPR harus hati-hati dan jeli
dalam membahas RUU tersebut. Alasannya, RUU tersebut mengandung sejumlah
permasalahan serius dan bisa jadi bumerang bagi penerimaan pajak apabila
dipaksakan segera disahkan.
Ada beberapa alasan
utama yang mendasari kekhawatiran tersebut. Pertama, masalah penggelapan
pajak adalah menyangkut iktikad dan perilaku buruk dari para wajib pajak yang
sengaja tidak mau membayar pajak kepada negara. Selama inik mereka berhasil
menggunakan berbagai cara tipuan dan pembohongan untuk mengelabui pemerintah
agar bisa menghindari dan meng-gelapkan pajak. Mereka sangat lihai dan
sistematis dalam melakukan aksi-aksi tipuan tersebut.
Pertanyaannya, apakah
mereka akan tergiur oleh imingiming insentif amnesti pajak yang ditawarkan
pemerintah? Jawabannya, tidak! Mereka tentu tidak akan gegabah mau mengakui
telah melakukan kejahatan pajak hanya karena ada iming-iming amnesti pajak.
Tergiur oleh amnesti pajak merupakan tindakan konyol dan sama saja bunuh
diri. Apalagi, seandainya mau memanfaatkan amnesti pajak, mereka justru akan
dikenakan sejumlah kewajiban yang memberatkan.
Dalam draf RUU
Pengampunan Pajak disebutkan bagi wajib pajak yang mengikuti skema
pengampunan pajak maka harus menyerahkan Surat Permohonan Pengampunan Pajak
dan NPWP, membayar uang tebusan, melunasi tunggakan pajak dan mengalihkan
harta yang berada di luar negeri ke bank yang ditunjuk.
Selain itu, kekayaan
mereka dan besaran pajak yang harus dibayarkan kepada negara juga pasti akan
diaudit lebih lanjut oleh pemerintah. Itu berarti, semua trik-trik kejahatan
pajak yang telah mereka lakukan selama ini akan diketahui pemerintah. Karena
itu, sangat tidak mungkin para wajib pajak nakal akan memanfaatkan amnesti
pajak karena mereka tahu skema tersebut hanyalah perangkap yang mematikan.
Kedua, RUU Pengampunan Pajak memiliki dua sisi yang sama-sama berisiko tinggi
bagi negara.
Di satu sisi,
pengampunan pajak merupakan pemberian insentif dari negara kepada para wajib
pajak nakal, yang selama ini telah merugikan negara. Harapannya, insentif
tersebut akan efektif mendorong para wajib pajak nakal bertobat, mengaku
dosa, dan rela membayar uang tebusan dalam jumlah besar kepada negara. Namun
di sisi lain, insentif tersebut bisa dinilai sebagai disinsentif bagi para
wajib pajak patuh, jujur, dan disiplin dalam menjalankan semua kewajiban
membayar pajak kepada negara. Pemberian insentif tersebut bisa dinilai
sebagai bentuk ketidakadilan perlakuan negara terhadap para wajib pajak
patuh.
Mereka telah memberi
kontribusi sangat besar pada perekonomian dan penerimaan negara, namun sangat
minim mendapatkan insentif pajak dan kemudahan-kemudahan fiskal lainnya dari
pemerintah. Karena itu, sangat dikhawatirkan amnesti pajak kepada para wajib
pajak nakal, justru akan mendorong para wajib patuh ikut berperilaku
oportunis dalam menghindari pajak. Alasannya, kesempatan untuk melakukan
moral hazard menghindaran pajak sebenarnya terbuka luas.
Dalam sejumlah forum
seminar, sejumlah pengusaha patuh pajak sering mengeluhkan betapa berat dan
berisikonya menjadi wajib pajak patuh di negeri ini. Selain kurang
mendapatkan insentif pajak, mereka justru malah terus “dikejar” aparat pajak.
Sementara banyak pengusaha nakal justru tidak disentuh sehingga mereka terus
leluasa melakukan aksi-aksi tipuan untuk menghindari pajak.
Memastikan Keberhasilan Amnesti
Berdasarkan uraian di
atas maka sebelum melanjutkan pembahasan RUU Pengampunan Pajak, DPR sebaiknya
meminta kepastian kepada pemerintah tentang efektivitas amnesti pajak. DPR
perlu meminta konfirmasi dari pemerintah terkait data jumlah wajib pajak,
yang akan mengikuti program amnesti pajak dan seberapa besar peluang
keberhasilannya.
Apabila pemerintah tak
bisa menyediakan data yang pasti dan tak bisa pula memastikan tingkat
keberhasilannya, DPR sebaiknya tak perlu terburu-buru menuruti kehendak
pemerintah agar RUU Pengampunan pajak segera disahkan menjadi UU. Mengapa
begitu? Jawabnya, karena energi dan sumber daya ekonomi yang telah dan akan
dikorbankan negara untuk merumuskan, membahas dan mengesahkan RUU tersebut,
serta melaksanakannya sangat besar, sementara hasilnya belum tentu efektif.
Apalagi, masa berlaku
efektif dari UU Pengampunan Pajak apabila disahkan DPR sangat singkat yaitu
hanya tahun 2016/2017. Karena itu, apabila pemerintah belum memiliki data
yang valid dan akurat, serta tidak bisa pula memastikan tingkat efektivitas
hasilnya, maka DPR sebaiknya menunda lagi pembahasan RUU Pengampunan Pajak.
Saya mengharapkan DPR
tak begitu saja percaya pada argumentasi hipotesis-persuasif yang disampaikan
pemerintah selama ini, bahwa keberadaan UU Amnesti Pajak sangat mendesak
karena tiga hal. Pertama, telah ada kesepakatan antarnegara tentang
transparansi perbankan yang akan berlaku tahun 2017, sehingga para penggelap
pajak dari Indonesia yang menyimpan dananya di luar negeri akan
berbondong-bondong memanfaatkan amnesti pajak.
Kedua, urgensi UU
Amnesti Pajak adalah sebagai payung hukum bagi pemerintah, demi mendapatkan
tambahan dana yang besar dari pajak demi menutup defisit APBN 2016. Ketiga,
jumlah pelaku usaha dan entitas korporasi yang berminat mengikuti skema
amnesti pajak sangat banyak. Menurut hemat saya, hipotesis pertama sulit
terwujud karena negara-negara lain yang selama ini menjadi surga bagi para
penggelap pajak Indonesia, seperti Singapura dan Australia, tidak akan begitu
saja melaksanakan kesepakatan tersebut karena akan merugikan perekonomian
mereka.
Bagaimanapun, selama
ini para penggelap pajak Indonesia yang memarkirkan dana dan aset di
negaranegara tersebut telah dianggap sebagai “pahlawan” yang harus
dilindungi. Sementara hipotesis kedua dan ketiga, juga bisa sulit terwujud
bila pemerintah belum memiliki basis data yang jelas dan akurat. Karena itu,
belajar dari kegagalan amnesti pajak pada 1984 akibat ketidaksiapan
pemerintah, maka DPR harus hati-hati, jeli dan bahkan bersikap tegas dalam
pembahasan RUU Pengampunan Pajak.
UntukmenutupdefisitAPBN
2016/2017 yang mencapai Rp297 triliun, DPR bisa mendesak pemerintah segera
mengusut tuntas kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh 2.000 perusahaan
penanaman modal asing (PMA) yang telah merugikan negara sekitar Rp500
triliun. Apabila kasus tersebut bisa segera dituntaskan, potensi tambahan penerimaan
pajak bisa melebihi Rp500 triliun.
Hal itu sangat mungkin
terwujud karena selama 15 tahun terakhir ribuan PMA terindikasi sengaja tidak
membayar pajak dengan terus melaporkan rugi dari tahun ke tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar