Masela
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 31 Maret
2016
Bagi mereka yang
berseteru soal Blok Masela, menunggu keputusan Presiden Joko Widodo mungkin
ibarat hitung tokek: darat, laut, darat, laut....darat. Akhirnya, Rabu (23/3)
pekan lalu Presiden Jokowi memang secara resmi mengumumkan bahwa pembangunan
kilang gas untuk Blok Masela dilakukan di darat (onshore).
Jokowi mengumumkannya
di ruang tunggu keberangkatan Bandara Supadio, Pontianak. Seperti biasa,
keputusan seperti ini tentu membuat senang satu pihak, tapi sekaligus
mengecewakan pihak yang lain. Menguntungkan pihak sana, merugikan pihak sini.
Namun, saya tak ingin kita terlalu larut dalam debat dikotomis mana yang
lebih menguntungkan: dibangun di darat atau di laut.
Pilihan itu pun saya
yakin bukan zero sum game.
Maksudnya, kita akan rugi jika memilih yang satu, dan tidak memilih yang
lainnya. Ekonomi dan bisnis bukan ilmu pasti—meski kita bisa membuat hitung-hitungannya. Maka saya mengajak Anda melihat Blok Masela dari perspektif yang
lain, yakni perspektif perubahan. Tapi sebelum masuk ke sana, saya ingin
mengajak Anda untuk melihat posisi Blok Masela dalam peta cadangan energi
kita.
Menurut data statistik
BP, cadangan terbukti (proven reserves
atau P1) gas di Indonesia sampai akhir 2014 mencapai 101,5 triliun kaki kubik
(trillion cubic feet, TCF). Sementara volume produksi gas kita 7,1 miliar
kaki kubik (billion cubic feet, BCF) per hari, atau setahunnya setara dengan
2,6 TCF. Artinya dengan volume produksi sebanyak itu, usia cadangan gas kita
akan bertahan hingga 39 tahun ke depan.
Ini dengan asumsi
tidak ada penambahan cadangan gas yang baru. Kenyataannya tidak begitu.
Sesuai dengan Plan of Development
(PoD) yang dibuat Inpex dan Shell, dua kontraktor kerja sama migas di sana,
Blok Masela mempunyai cadangan gas sebesar 10,73 TCF. Itu artinya dengan
tingkat produksi gas seperti sekarang, Blok Masela bakal memperpanjang usia
cadangan gas kita hingga empat tahun ke depan. Jadi, cadangan gas kita akan
bertahan hingga 43 tahun ke depan.
Gas, Kita dan Qatar
Persoalan terbesar
Maluku adalah provinsi itu memiliki 25 blok migas, termasuk Blok Masela. Ada
15 blok migas di sana yang sudah dimiliki investor, dan sepuluh lainnya masih
dalam proses tender. Kenyataannya, blok-blok migas tersebut belum memberikan
kontribusi yang nyata bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat Maluku.
Saya bisa katakan
seperti ini karena saya bolak-balik ke Maluku, mengunjungi Ambon dan
pulau-pulau sekitar, termasuk Pulau Buru, dalam menangani social project kami
di daerah pedalaman yang sunyi dan miskin infrastruktur. Kadang kami
terdampar di laut, menunggu badai berlalu hanya untuk menyeberang dengan
aman.
Di banyak tempat tak
ada listrik selain nyamuk malaria. Tapi baiklah, kita lihat data ini. Pada 15
tahun silam, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan sensus. Saat itu Maluku
menempati peringkat ke-3 provinsi termiskin se-Indonesia. Dua di atasnya
adalah Papua Barat (ke-1) dan Papua. Januari 2015, BPS mengumumkan kembali
hasil sensus terbarunya. Hasilnya, Maluku ternyata masih menempati peringkat
ke-4 termiskin se-Indonesia.
Di atasnya masih ada
Papua Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Jadi setelah 15 tahun berlalu,
nyaris tak ada perubahan yang signifikan di Maluku. Kondisi inilah yang,
menurut saya, membuat perdebatan pembangunan kilang gas Blok Masela di darat
atau di laut menjadi terkesan heroik. Panas dan sekaligus populis.
Maka tak heran kalau
perdebatan ini sampai melibatkan dua menteri dalam Kabinet Jokowi-JK. Anda
tahu, bukan keduanya! Bahkan saking heroiknya, ada menteri yang seakan-akan
memastikan bahwa kalau kilang gas Blok Masela dibangun di darat, negara kita
akan kaya raya, bahkan kita bisa mengalahkan Qatar. Padahal, potensi yang
kita miliki dengan Qatar sangat jauh. Lihat saja angkanya. Cadangan minyak
Qatar sampai akhir 2014 mencapai 25,7 miliar barel, sementara kita hanya 3,7
miliar barel.
Lalu, cadangan gas
Qatar superjumbo, mencapai 866,2 TCF. Bandingkan dengan kita yang tadi hanya
101,5 TCF. Jauh, bukan! Itu pun di satu lokasi yang mudah dijangkau. Data
peringkat negara terkaya berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) yang
dibuat oleh Global Finance untuk tahun 2015, juga masih menempatkan Qatar
sebagai negara terkaya di dunia.
Qatar menempati
peringkat ke-1 dengan angka USD146.011,85. Kita jauh di peringkat ke-103
dengan angka USD10.759,8. Sejujurnya, saya juga tidak mau negara kita seperti
Qatar. Sebagai sebuah negara, Qatar mungkin kaya raya, tapi rakyatnya tak
sekaya penguasanya. Kekayaan di sana hanya dinikmati oleh segelintir elite.
Semoga saja tidak demikian di Maluku.
Jejak Kaltim
Maka ketimbang
menggantung mimpi Indonesia, dan terutama Maluku, bakal menjadi sekaya Qatar
berkat Blok Masela, lebih baik kita bicara bagaimana menggunakan cadangan gas
tersebut sebagai modal untuk melakukan transformasi masyarakat dan
pembangunan.
Utamanya di Provinsi
Maluku. Seperti apa caranya? Bicara soal ini, saya jadi teringat dengan
pengalaman sahabat saya di Kalimantan Timur (Kaltim), Awang Faroek, ketika
melakukan transformasi pembangunan di provinsinya. Ketika terpilih menjadi
gubernur, Awang Faroek kaget mendapati cadangan sumberdaya mineral di daerah
yang dipimpinnya betul-betul terkuras.
Nyaris habis. Lalu, ia
mendapati bahwa meski memiliki kekayaan alam yang berlimpah di mana-mana,
rakyat Kaltim ternyata tidak sejahtera. Berbagai literatur menyebut kondisi
ini dengan istilah natural resources
curse atau kutukan sumber daya alam (SDA). Kondisi ini tentu akan
membahayakan kelangsungan pembangunan di Kaltim. Maka itu, Awang Faroek pun
memutuskan untuk melakukan transformasi.
Ia mengubah haluan
pembangunan Kaltim dari yang berbasis SDA yang tak dapat diperbarui (non-renewable resources) menjadi
mengandalkan SDA yang dapat diperbarui (renewable
resources) dan sumber daya manusia. Untuk mengimbangi strategi ini, Awang
Faroek menggagas sejumlah langkah, di antaranya gerakan penyelamatan SDA.
Jadi, pemakaian SDA yang tersisa dihemat sedemikian rupa.
Bukan malah
dieksploitasi habis-habisan. Lalu, Kaltim juga mendorong pembangunan
agroindustri secara besar-besaran. Sejumlah kawasan industri disiapkan untuk
itu. Di kawasan-kawasan tersebut, bahan-bahan mentah diolah menjadi barang
setengah jadi dan bahkan barang jadi. Ada juga langkah lompatan.
Kaltim, misalnya,
memilih membangun pembangkit listrik tenaga nuklir, ketimbang membangun
pembangkit listrik tenaga batubara atau berbasis bahan baku mineral lainnya.
Itulah pengalaman di Kaltim. Harap Anda maklum, perjuangan itu butuh waktu
yang panjang, lebih dari tujuh tahun. Jadi harap bersabar, apalagi kalau tak
punya pemimpin berkaliber tinggi.
Maluku, dalam beberapa
aspek, memiliki kesamaan dengan Kaltim. Misalnya, industri pertanian dan
perikanan tumbuh subur di sana. Maka sebelum melangkah terlalu jauh, ada
baiknya Maluku meniru jejak Kaltim. Percayalah, SDA tidak akan membuat
masyarakat Maluku sejahtera. Hanya elitenya yang makmur. Namun, saya
ingatkan, meniru jejak Kaltim tidak mudah. Banyak tentangan di sana-sini,
sebab banyak orang yang lebih suka dengan cara mudah ketimbang
berpayah-payah.
Tantangan internal dan
eksternalnya cukup besar. Banyak orang yang lebih suka berpikir jangka pendek
ketimbang jangka panjang, dan terlalu banyak kepentingan yang tersembunyi di
dalamnya. Hanya, meski susah, itu bisa dilakukan. Soalnya, mau atau tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar