Calon Perseorangan dan Independensi
Mohammad Nasih ;
Pengajar di Program
Pascasarjana Ilmu Politik
UI dan FISIP UMJ
|
KORAN SINDO, 05 April
2016
Sejak 2015 keberadaan
calon perseorangan menjadi semakin kuat. Hal itu karena calon perseorangan
diakomodasi sebagai peserta pemilu kepala daerah melalui Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Tujuan mengakomodasi
keberadaan calon perseorangan dalam pilkada adalah memberikan ruang yang
lebih luas kepada siapa pun untuk menggunakan hak pilih. Bukan hanya untuk
memilih kepala daerah, tetapi juga untuk dipilih sebagai kepala daerah.
Dengan kata lain,
jalan bagi seseorang untuk bisa menjadi calon kepala daerah tidak lagi hanya
melalui dukungan partai politik, melainkan juga bisa melalui dukungan rakyat
secara langsung dengan besaran yang ditentukan oleh undang-undang (UU).
Biasanya calon perseorangan menjadikan posisinya sebagai calon perseorangan
sebagai “bahan jualan”.
Calon perseorangan
berusaha membangun pandangan masyarakat bahwa dengan ketiadaan dukungan
partai politik, mereka tidak terikat komitmen dengan partai politik yang bisa
mereduksi komitmen kepada rakyat. Calon perseorangan seolah memiliki
kesempatan untuk lebih meyakinkan bahwa jika terpilih menjadi kepala daerah,
mereka akan benar-benar memperjuangkan rakyat. Entah karena sudah terdesain
atau tidak, mungkin ada kaitan antara pembangunan image sebagai calon yang bebas dari partai politik tersebut
dengan istilah calon independen.
Istilah ini membuat
calon perseorangan seolah-olah benarbenar terbebas dari pihak mana pun. Calon
yang didukung oleh partai politik akan membuat kepala daerah tersandera dalam
membuat kebijakan-kebijakan politik. Terutama kebijakan yang terkait
pembangunan daerah yang dapat memberikan kemakmuran kepada rakyat. Sejatinya
independensi seorang kepala daerah tidak melulu ditentukan oleh ada atau
tidak dukungan partai politik.
Independensi selama
ini sering dipahami secara simplistis sebagai ketiadaan ketergantungan kepada
pihak lain. Makna hakiki independensi sesungguhnya kecenderungan atau
keberpihakan kepada kebenaran. Karena itu, jika pihak lain yang mendukung
justru terus memberikan dukungan agar orang yang didukung melakukan tindakan-tindakan
yang benar dan berpihak kepada kebenaran, termasuk kebenaran yang berasal
daridan berkaitan dengan rakyat, dukungan tersebut justru akan memperkuat
independensi.
Singkatnya,
independensi adalah sikap konsistensi untuk melakukan dan memperjuangkan
kebenaran dan keadilan. Dalam konteks kepemimpinan, independensi bisa
dipahami sebagai sikap yang menghasilkan kebijakan yang benar serta tidak
menyelewengkan kekuasaan. Jika independensi diartikan sebagaikebebasandari
pihaklain yang memengaruhi kebijakan politik kepala daerah, belum tentu juga
seorang kepala daerah yangsaat majumencalonkan diri merupakan calon
perseorangan adalah orang yang independen.
Bahkan bisa jadi saat
maju sebagai calon kepala daerah, yang bersangkutan didukung oleh para pihak
yang memiliki berbagai kepentingan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak
ada pilkada yang benar-benar bebas dari para bebotoh (penjahat/bajingan).
Dalam era politik yang kian liberal, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa
biaya untuk maju sebagai calon apa pun, termasuk kepala daerah, biaya yang
diperlukan tidaklah kecil.
Berdasarkan
penyelenggaraan pilkada yang telah terjadi, untuk ukuran daerah yang tidak
terlalu besar, biaya yang diperlukan untuk pasangan calon yang maju berkisar
belasan miliar. Karena itu, bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang pun calon
kepala daerah yang membiayai pencalonannya sendiri.
Dipastikan ada
pihak-pihak lain yang menjadi pendukung pembiayaan untuk pencalonan sebagai
kepala daerah. Inilah yang menjadi celah para bebotoh masuk dengan berbagai
tujuan. Termasuk tujuan agar ketika calon yang mereka dukung menang dalam
pilkada, mereka bisa mendapatkan bagian keuntungan material dengan terlibat
dalam pelaksanaan berbagai proyek pemerintah daerah sebab pada era otonomi
daerah, kepala daerah memiliki kewenangan yang sangat besar dalam mengelola
daerah.
Kewenangan yang besar
itulah yang biasanya digunakan untuk mengatur pembagian kue sumber daya
daerah. Itu sangat memungkinkan karena dalam pengelolaan daerah ada banyak
pihak di luar pemerintahan yang harus dilibatkan. Tidak mungkin pemerintah
daerah sendiri yang mengerjakannya. Untuk mengoptimalkan pembangunan daerah,
diperlukan pihakpihak di luar struktur pemerintahan untuk turut serta.
Namun, tidak sedikit
pula orang yang mau berkorban memberikan dukungan finansial karena
semata-mata ingin membantu kemenangan pasangan calon yang dianggap memiliki
kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi untuk memajukan daerah. Dalam konteks
masuknya para bebotoh dengan niat buruk itulah penyelewengan kekuasaan oleh
para kepala daerah biasanya terjadi.
Lelang proyek misalnya
diatur sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang dulunya berkontribusi dalam
pemenangan pilkada bisa menang. Di sinilah kongkalikong terjadi antara kepala
daerah dan para bebotoh dalam pilkada. Karena itu, sesungguhnya yang terjadi
adalah perpindahan ketergantungan kepala daerah yang sebelumnya kepada partai
politik dengan institusi yang jelas, kepada pihak-pihak yang tidak tampak di
permukaan.
Mereka tidak memiliki
kontribusi sama sekali dalam pembangunan kehidupan politik di daerah. Tujuan
mereka memang bukan itu, melainkan sekadar agar bisa memenangkan para calon
yang bisa mengakomodasi kepentingan mereka untuk mendapatkan keuntungan
material. Posisi sebagai calon perseorangan juga bisa dijadikan sebagai
kamuflase belaka untuk memunculkan image positif.
Padahal, sesungguhnya
tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak lain yang berkontribusi dalam
pilkada dengan harapan bisa ikut mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan
sendiri. Bahkan sudah menjadi rahasia umum juga bahwa satu bebotoh bisa
berkontribusi kepada semua calon yang maju, baik calon perseorangan maupun
dari partai politik.
Tentu dengan tujuan
agar siapa pun yang menang, bebotoh tersebut tetap mendapatkan kesempatan
untuk bermain. Karena itu, masyarakat sebaiknya tidak menjadi latah menilai
bahwa calon perseorangan adalah calon yang benar-benar steril dari berbagai
kepentingan yang bisa mengganggu komitmen kepala daerah kepada rakyat.
Bahkan dengan tanpa
dukungan partai politik yang memiliki kekuatan politik penyeimbang di lembaga
legislatif, kepala daerah bisa mengalami kesulitan untuk kelancaran program
yang telah dicanangkan. Bisa saja program itu tidak mendapatkan persetujuan
dari lembaga legislatif. Tidak bisa pula latah menilai bahwa sikap atau
kebijakan politik yang tidak menyetujui kebijakan politik kepala daerah
kemudian dianggap sebagai sikap politik yang tidak prorakyat. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar