Melihat Akar Pemecatan Fahri Hamzah
Firman Noor ;
Peneliti Puslit Politik LIPI
dan Dosen Ilmu Politik FISIP UI
|
KORAN SINDO, 06 April
2016
Persoalan pemecatan
Fahri Hamzah sebagai anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengungkap
beberapa hal yang sebenarnya lebih mendasar ketimbang sekadar kontroversi
mengenai legal dan tidak Majelis Tahkim yang merupakan perangkat partai untuk
melakukan pemecatan.
Begitu juga ada dan
tidak pihak ketiga yang bermain dan memanfaatkan situasi. Pun lebih dari
persoalan kesantunan berpolitik versus heroisme yang telah menyebabkan Fahri
menjelma menjadi sosok yang demikian tidak disukai, namun dipuja saat bersamaan.
Baik alasan-alasan yang bersifat legal formal, konspirasi, atau soal
kesantunan berpolitik adalah persoalan kulit bahkan spekulatif.
Ada beberapa persoalan
lain yang lebih substansial yang menjadi hulu dari fenomena ini. Persoalan
pertama terkait dengan sebuah realitas yang nyaris bersifat mutlak. Dalam
pengelolaan organisasi, apalagi partai politik, tidak saja hukum besi
oligarki yang berlaku, namun di sisi lain adalah potensi pengubuan yang
selalu ada.
Potensi ini membesar
pada partai-partai yang tidak ideologis, namun bukan berarti tidak terjadi
pada partai ideologis. Sejarah mencatat misalnya Partai Komunis Indonesia
(PKI) terpecah antara kelompok tua yang dimotori Alimin dan Tan Ling Djie,
dengan tiga serangkai anak muda Lukman, Nyoto, dan Aidit.
Masyumi dalam
sejarahnya juga terbagi menjadi kubu Natsir dan Sukiman. Partai Nasional
Indonesia (PNI) terbelah antara kelompok Sidik Djojosukarto dan Wilopo. Di
kalangan Ikhwanul Muslimin Turki, Recep Tayyip Erdogan adalah cerminan
pengubuan dalam tubuh Partai Refah.
Berbagai contoh lain
yang relevan tentu masih banyak lagi. Realitas semacam ini terjadi dalam
tubuh PKS, terutama setelah partai ini semakin eksis dalam konstelasi politik
nasional. Pemicunya jauh lebih kompleks dari sekadar kepentingan material,
mengingat akar pemicu sebenarnya lebih pada strategi berpolitik, juga tidak
seketat yang disangka orang, mengingat demikian banyak irisan kepentingan
para individu yang diklaim tergabung dalam masing-masing kubu (Munandar
2011).
Sebagai partai yang
berkomitmen dalam menegakkan kaderisasi, kasus ini juga menunjukkan bahwa
tidak ada jaminan bahwa kaderisasi yang sistematis sekalipun dapat otomatis
menutup kemungkinan terjadi pengubuan. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa
proses pengaderan dan ideologisasi dalam tubuh PKS masih membuka kemungkinan
terjadi perbedaan-perbedaan.
Kaderisasi tidak
kemudian membuat seluruh kader menjadi seragam dan persis sama satu dengan
lain. Hal ini terutama mengingat kaderisasi tidak mengatur perilaku politik
secara sangat detail dan menuntut kesamaan berpikir dan berprilaku secara
total. Hanya, tidak berarti kaderisasi itu menjadi sia-sia belaka.
Justru dengan ada
kaderisasi ini rasa keberbedaan itu tidak menjalar menjadi fragmentasi total
dan kerap dapat rapi ditutupi sebagaimana yang terjadi di PKS selama ini.
Namun, tentu saja ada momen-momen ketika perbedaan mencuat menjadi pemicu
pertikaian, di mana mereka yang akhirnya berbeda menjadi korban.
Dalam konteks ini,
Fahri adalah representasi mereka yang tidak dalam domain elite yang tengah
berkuasa di DPP. Dia akhirnya menjadi ”martir” dari arah baru, yang
diinisiasi oleh kekuatan baru dalam partai dakwah ini. Arah baru yang
dimaksud terkait dengan upaya menjadikan PKS sebagai partai yang mampu lebih
mengekspresikan ideologinya secara puritan, mandiri, dan santun.
Kegagalan Fahri—yang
progresif, pragmatis, dan galak— dalam mengikuti arah baru ini adalah sebuah political blunder. Lebih prinsip dari
itu, pemecatan ini cerminan dari ada sebuah jarak yang tidak terjembatani
atau political chemistry yang tidak
lagi terbangun secara kokoh, terutama antara Fahri dan elite partai.
Hal lain yang
melatarbelakangi fenomena ini terkait dengan upaya penegakan nilainilai dalam
tubuh PKS. Terlepas dari penggambaran PKS yang semakin pragmatis, partai ini
tetap berupaya merepresentasikan dan menjalankan nilainilai khasnya. Ketaatan
pada pimpinan salah satu nilai atau prinsip yang dijunjung tinggi. Prinsip
ini tidak didasarkan pada logika oligarkisme atau ”saudagarisme”, namun loyalitas
pada ideologi.
Dalam prinsip ini
pimpinan partai adalah mereka yang dipandang terbaik dalam kacamata ideologi
dan karena itu layak dipatuhi. Sebagai konsekuensinya, setiap kader diminta
untuk senantiasa siap ditempatkan dalam posisi mana pun. Selain itu, sikap
ini juga didasarkan pada logika gerakan tarbiah sebagai sebuah kesatuan
organik, di mana kepentingan individu telah melebur menjadi kepentingan
ideologis.
Nilai ini akhirnya
menuntut kader untuk menerima kebijakan pimpinan partai dengan
sebaik-baiknya. Meski kecewa, seorang kader harus dapat menutupi kekecewaan
personalnya itu dan segera menjalankan perintah partai. Terbangun kemudian
keyakinan dalam partai ini bahwa bukanlah kader partai jika berkelit apalagi
melawan kebijakan pimpinan partai.
Dalam titik inilah,
sikap Fahri yang alot dalam merespons kehendak pimpinan dinilai oleh kader
dan elite sebagai sudah dalam posisi ”di luar sarang”. Fahri tidak saja
menuntut pimpinan menjelaskan dengan gamblang alasan untuk menuruti mereka,
namun pula mempertanyakan cara-cara yang digunakan untuk membuatnya menuruti
para pimpinan itu.
Persoalannya adalah
bukan secara tuntutan itu semata, namun bagaimana Fahri seolah ingin
menunjukkan ada persoalan organisatoris dan manajerial yang serius dari kepe-
mimpinan DPP kali ini. Bisa jadi sikap ini memperlihatkan kegagalan
kaderisasi.
Namun, lebih bisa jadi
mencerminkan kuatnya sikap kritis seorang Fahri atas sesuatu yang dianggapnya
sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) pimpinan, di mana penolakan atas penyalahgunaan kekuasaan itu
sendiri sejatinya adalah ration de etre gerakan tarbiah untuk maju berpolitik
sejak awal Era Reformasi.
Terlepas dari
dugaan-dugaan itu, sikap itu dinilai tidak layak dan dalam kacamata ketaatan,
sikap Fahri ini menjadi alasan yang sulit terbantah bagi banyak kader untuk
melihatnya sebagai sebuah pelanggaran serius. Di sisi lain fenomena ini
memperlihatkan tidak ada pengecualian dalam PKS. Sebesar apa pun jasa dalam
partai disiplin tetap harus ditegakkan.
Perangkat
pendisiplinan partai bukanlah sekadar aksesoris tanpa makna. Di samping itu,
berbeda dengan dugaan banyak kalangan, Hilmi Aminuddin tetap dalam posisi
menarik diri dan tidak mengatur partai sesuai seleranya. Kenyataannya dia
tidak berupaya campur tangan dalam ”menyelamatkan” Fahri, anak muda yang dia
diamkan untuk berkiprah sesuai karakternya saat masih berkuasa penuh dalam
partai ini.
Keputusan pemecatan
telah dibuat PKS terhadap salah satu elite dan pendirinya. Fenomena ini jelas
bukanlah sebuah akhiran mengingat Fahri sendiri pun sudah menyatakan akan
memperjuangkan segenap hakhaknya. Satu hal yang diharapkan publik bahwa
fenomena ini tidak akan meluruhkan PKS untuk tetap bersikap kritis kepada
pemerintah dalam mengawasi jalannya kekuasaan. Sebagaimana yang selama ini
telah dilakukan Fahri Hamzah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar