Masyarakat Emosional
dalam Pusaran Demokrasi Liberal
Fikri Suadu ;
Dosen Neuroscience dan Peneliti
pada Indonesia Brain Research
Center (IBRC) Surya University
|
KORAN SINDO, 05 April
2016
Penilaian bahwa
politik yang ada sekarang semakin dangkal dan demokrasi yang ada lebih
bersifat prosedural dibandingkan semangatnya untuk pencapaian tujuan yang
lebih substantif benar adanya. Bagi saya, ini bukanlah problem sederhana yang
bisa diselesaikan dengan cepat karena berkaitan langsung dengan kesadaran dan
paradigma berpikir masyarakat. Terlebih ketika diperhadapkan pada sebuah
fakta bahwa pilihan politik sangat dipengaruhi oleh pertimbangan emosional
dibandingkan pertimbangan rasional. Inilah mengapa dalam setiap pesta
demokrasi kita disuguhkan banyak akrobat politik masyarakat.
Mulai dari pencitraan
politik, konflik antara sesama pendukung kandidat, pembakaran kantor
penyelenggara pemilu (KPU), hingga adu jotos dalam sengketa pilkada. Apalagi
pada era demokrasi liberal yang konflik kepentingannya semakin luas dan akses
ke kekuatan-kekuatan eksternal (pemilik modal) semakin terbuka, tidak hanya
di level nasional, namun sampai ke tataran global.
Hal ini tentu saja
semakin menyulitkan kita untuk melakukan upaya konsolidasi kekuatan politik
nasional secara lebih serius, mengingat banyak intervensi kepentingan
eksternal yang turut campur. Di samping itu juga, rendahnya kompetensi
demokrasi dan komitmen sipil dalam masyarakat semakin menambah rumit berbagai
masalah demokrasi saat ini.
Baik yang berkaitan
dengan politik transaksional, kekerasan sipil, maupun konflik sosial dalam
masyarakat. Hal ini tentu saja menjadi penghambat terpenuhinya realisasi
kebebasan sipil sebagai cita-cita demokrasi dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Otak Emosional dan Pikiran Politik
Otak sekali lagi
merupakan organ terpenting bagi manusia. Ini karena otak merupakan perangkat
yang berfungsi menentukan esensi seseorang sebagai manusia. Di samping itu,
otak memainkan peranan penting dalam kemampuan survivalitas, pengaturan
refleks, emosi, akal sehat, nalar berpikir, kesadaran, dan pengambilan
keputusan. Salah satu bagian otak yang memainkan peranan penting dalam
pengaturan emosi dan turut memengaruhi pengambilan keputusan adalah sistem
limbik.
Sistem ini terdapat di
area otak tengah. Dalam sudut pandang evolusi, sistem limbik merupakan bagian
otak mamalia yang lebih tua dan bertanggung jawab atas cara binatang
mengungkapkan dan merasakan emosinya. Dalam proses pengambilan keputusan dan
menentukan pilihan, sistem limbik berperan sebagai faktor pendorong
keinginan, emosi, dan gairah bagi korteks serebral yang terdapat di area otak
depan manusia.
Ketika sistem limbik
sangat aktif, kondisi pikiran akan sangat negatif dan reaktif sehingga
mempermudah seseorang melakukan banyak kekeliruan akibat tergesa-gesa dan
sangat emosional dalam mengambil keputusan. Demikian sebaliknya, ketika
sistem limbik kurang aktif, kondisi pikiran umumnya lebih bersifat positif,
kritis, dan logis.
Emosi berkaitan erat
dengan ikatan atau hubungan, kenangan, pengakuan, dorongan hasrat atau
motivasi, suka atau tidak suka, benci atau cinta, dan sebagainya. Pada
konteks demokrasi, ketika seseorang terlibat secara emosional dengan salah
satu kandidat, dalam konteks positif, orang tersebut akan melakukan
pembenaran untuk menjustifikasi pembelaan emosional atas pilihannya tersebut.
Sebaliknya, ketika
keterlibatan emosional tersebut dalam konteks negatif, orang tersebut akan
melakukanpembenarandengan cara apa pun sebagai pembelaan atas
ketidaksukaannya. Tak tanggung-tanggung, bisa dalam bentuk pengultusan,
pembelaan buta, maupun pemujaan tanpa batas. Sebaliknya, jika sosok kandidat
tersebut tidak disenangi, yang ada penghinaan, menjelek-jelekkan, fitnah,
bahkan pengafiran.
Otak emosional hanya
memberikan dua macam dorongan, pemihakan atau penolakan berupa justifikasi
tanpa melibatkan nalar berpikir logis. Kita mungkin bisa mengakui bahwa
kandidat A lebih baik, pantas, dan layak dibandingkan kandidat B, tapi ketika
memori pikiran kita mengungkapkan bahwa kandidat A pernah mengkhianati kita,
otak emosional kita akan memberikan pemihakan terhadap kandidat B.
Alam Pikir Emosional
Demokrasi neoliberal
dicirikan dengan pemikiran yang menjunjung tinggi kesadaran, nalar logis, literal,
universal, dan beranggapan bahwa emosi merupakan proses yang tidak rasional,
tidak efektif, dan lemah dalam pengambilan keputusan yang sarat akan nilai
moral tanggung jawab.
Inilah yang menjadi
penyebab mengapa demokrasi neoliberal mengalami dan menghadapi banyak masalah
ketika diterapkan di negara berkembang yang mayoritas perilaku politik dan
demokrasi masyarakatnya masih reaktif emosional. Terlebih di Indonesia yang
masyarakatnya masih mempercayai mitos, mistis, dan berbagai hal irasional
lain.
Gejalanya bisa dilihat
secara telanjang setiap kali masyarakat diperhadapkan pada momen politik dan
pesta demokrasi. Seolah sikap dan perilaku seperti saling menghujat, mencaci
maki, menjelekjelekkan, memfitnah, bahkan sampai mengafirkan antarpendukung kandidat
telah merupakan sebuah kewajaran yang biasa saja dalam pentas politik.
Politik tampil tak
ubahnya arena tinju yang menyuguhkan pertarungan adu gengsi, harga diri,
kehormatan, identitas kelompok, dan berbagai atribut emosional lainnya. Para
pendukung pun larut dalam euforia dengan keterlibatan emosional yang dalam.
Kinerja otak mereka sepenuhnya berada di bawah kendali norepinefrin yang
membuat mereka sepenuhnya terikat dengan pilihan sikap mereka.
Tak ada ruang kompromi
terlebih negosiasi gagasan. Tak ada lagi pemikiran berkaitan dengan asas
kepantasan dan kelayakan seorang kandidat untuk menjadi pemimpin. Akal sehat
mereka sepenuhnya dikendalikan oleh kesenangan dan kecemasan untuk meraih
kekuasaan politik semata. Yang terpenting kandidatnya menang dan mereka turut
menjadi bagian “orang dekat” yang memiliki akses istimewa terhadap kekuasaan
politik, birokrasi, dan pemerintahan.
Sebuah alam pikir yang
sepenuhnya berorientasi kepuasan semata. Dalam perpaduan seperti yang telah
dijelaskan, pencapaian cita-cita politik dan demokrasi secara lebih
substantif tidak akan pernah mendapatkan kesempatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar