Apakah RI Perlu Kebijakan Luar Negeri?
René L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 15 April
2016
Dugaan jika para
pejabat Indonesia tak memiliki kapasitas melindungi kepentingan dan
kedaulatan Indonesia mendapat pembenaran. Pernyataan Sekretaris Kabinet
Pramono Anung seusai bertemu Song Tao, Kepala Departemen Internasional Partai
Komunis Tiongkok (PKT), seperti diberitakan Kompas (14/4), jelas tidak
mewakili kepentingan RI menyelesaikan persoalan kapal pencuri ikan KM Kway Fey
di perairan Natuna, akhir Maret.
Tidak bijak kalau
Pramono menyatakan insiden KM Kway Fey adalah kesalahpahaman kepada pejabat
PKT, walaupun Song Tao menyandang pangkat menteri di negaranya. Urusan
kewenangan di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang menjadi hak Indonesia
sesuai UNCLOS 2918 tidak bisa dibicarakan di tingkat partai yang datang ke
Indonesia karena diundang PDI Perjuangan.
Persoalan kedaulatan
di kawasan Kepulauan Natuna dan perairan di sekitarnya tidak bisa selesai
dengan "disalahpahami", karena kewenangan masalah ini ada di
tingkat pemerintah negara. Pramono pun tidak bisa seenaknya mengatakan
"garis batas dan tradisi yang ada" selesai dengan "saling
menghormati". Sebab, pelanggaran ZEE dan pencurian ikan punya
konsekuensi nilai dan norma hukum nasional dan internasional.
Yang mengherankan,
tidak ada masukan para birokrat Kementerian Luar Negeri maupun diplomat
kepada Presiden Joko Widodo mengenai masalah ini. Kalau penjelasan Sekkab
menyederhanakan "penyelesaian" kapal pencuri ikan KM Kway Fey,
untuk apa kita perlu kebijakan luar negeri? Untuk apa ada Kemlu dan
menterinya kalau resonansi kebijakan luar negeri Indonesia tidak tecermin
dengan benar dan diplomatis?
Yang menjadi
pertanyaan, kenapa Sekkab menihilkan pernyataan Menteri Luar Negeri Retno LP
Marsudi tentang protes pelanggaran di kawasan ZEE, pelanggaran penegakan
hukum Indonesia, dan pelanggaran kedaulatan laut di sekitar Kepulauan Natuna?
Apa karena investasi RRT ke Indonesia yang diperkirakan mencapai sekitar 30
miliar dollar AS, kita "selesaikan" insiden pelanggaran pada
tingkat PKT tanpa "permintaan maaf" atau sanksi hukum
internasional?
Song Tao mengepalai
Departemen Internasional Sentral Komite (Senkom) PKT dengan pangkat menteri.
Sebagai organ partai, departemen ini berfungsi sebagai lembaga penelitian dan
pengembangan masalah internasional, usulan kebijakan pengarahan, maupun
pertukaran kerja sama partai di luar negeri.
Dalam posisi ini, Song
Tao dalam kapasitasnya bisa usulkan "maaf" atau
"menyesalkan" insiden Natuna. Bagi Indonesia, ketegasan perlu
disampaikan setidaknya menyangkut apa yang diinginkan dari hubungan RI-RRT,
kenapa RRT memperlakukan penegak hukum Indonesia seperti insiden Natuna, dan
apakah RRT menganggap RI sebagai "lawan" terkait klaim Laut
Tiongkok Selatan?
Harus diingatkan,
hubungan RI-RRT tak bisa dilaksanakan di bawah pelecehan nilai dan norma
hukum nasional dan internasional. Persoalan harus diselesaikan berdasarkan
batas delimitasi wilayah laut RI-RRT, sebagai jaminan agar insiden ini tidak
terulang lagi.
Artinya, RRT tentukan
koordinat kedaulatannya, termasuk di mana sebenarnya potongan sembilan garis
putus-putus yang diklaim sebagai wilayah hak sejarah dan kedaulatan RRT.
Beijing pasti menolak karena mengubah konstelasi geopolitik di Laut Tiongkok
Selatan.
Atau, perundingan
bilateral (antarnegara, bukan partai) mencapai kesepakatan pengakuan RRT atas
batas ZEE hak laut Indonesia. Melalui pengakuan ini, dipastikan tak ada lagi
insiden kapal pencuri KM Kway Fey. RI-RRT bisa bekerja di bidang perikanan,
menjamin kelestarian dan kesinambungan keamanan pangan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar