Suu Kyi, Rohingya, dan Pluralisme
Teuku Kemal Fasya ;
Dosen Antropologi FISIP Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe; Pada 2012 menjadi pembicara dalam Forum Lintas
Belajar (Learning Exchange Forum) untuk aktivis pro demokrasi Myanmar di Mae
Sot, Thailand
yang difasilitasi GPPAC-SEA dan
Burma Partnership
|
SATU HARAPAN, 14
April 2016
Pertengahan 2012 lalu
saya menjadi salah seorang pemateri pada pertemuan para aktivis muda Myanmar
di Mae Sot, Thailand. Pertemuan itu difasilitasi oleh The Global Partnership for the Prevention of Armed Conflict in
Southeast Asia (GPPAC-SEA) dan Burma
Partnership (BP) dan melibatkan narasumber dari Aceh, Papua, Timor-Leste
dan Mindanao.
Pertemuan aktivis
perdamaian dan demokrasi itu dihadiri etnis-etnis minoritas seperti Karen,
Mon, Kachin, Pao, Arakan, Shan, dan Karenni. Acara dilaksanakan di Mae Sot,
Thailand utara karena wilayah ini berbatasan langsung dengan Myanmar.
Kegiatan seperti ini pada masa itu tidak mungkin terlaksana di Myanmar, dan
harus “mengungsi” ke daerah terdekat. Para aktivis muda itu harus melewati
jalan tikus untuk bisa menyeberang ke Thailand. Mereka tidak memilih
“jembatan persahabatan” yang kokoh terhubung di antara dua negara.
Dalam pertemuan itu
saya tergelitik mempertanyakan ketidakhadiran perwakilan Rohingnya kepada
aktivis pro demokrasi Myanmar, Khin Ohmar. Dengan hati-hati Ohmar, yang
pernah mendapat penghargaan Anna Lindh dari Swedia, menyatakan bahwa problem
Rohingnya lebih kompleks dibandingkan etnis-etnis minoritas lain.
Pertama, adanya
ketidakpercayaan kelompok etnis Rohingnya atas desain demokratisasi dari
kelompok-kelompok oposisi akan menguntungkan mereka. Kedua, adanya
keterbelahan sikap terhadap Rohingnya sebagai masyarakat tertindas di
Myanmar.
Populasi Rohingnya
sebagian besar tinggal di Negara Bagian Rakhine yang di sana terdapat etnis
Arakan yang juga tertindas oleh rejim junta militer. Problemnya, disamping
bermasalah dengan negara etnis Arakan juga terlibat konflik dengan etnis
Rohingya. Sementara gerakan etnis Arakan semakin terkonsolidasi dengan
kelompok-kelompok etnis lainnya, etnis Rohingnya masih teralienasi dari
solidaritas besar, salah satunya karena alasan agama. Jika membela Rohingnya
secara khusus, maka terjadi fragmentasi politik dan munculnya sentimen
etnis-agama dari kelompok-kelompok minoritas lainnya. Ini menjadi titik
mundur gerakan demokrasi, katanya.
Namun, saya melihat
ada alasan ketiga yang tidak dijelaskan secara eksplisit oleh Ohmar. Seluruh
gerakan demokratisasi di Myanmar berpatron kepada figur Aung San Suu Kyi dan
partai yang dipimpinnya, NLD (National
League for Democracy). Dalam hal ini Suu Kyi masih belum jernih melihat
Rohingnya. Jika kekerasan menimpa etnis-etnis minoritas-Budha, Suu Kyi masih
bersuara dan mengkritik rejim militer. Namun ia tetap sunyi ketika kekerasan
menimpa etnis Rohingya. Itulah alasan kelompok pro demokrasi lainnya di
Myanmar ikut-ikutan menahan diri merespons kasus Rohingnya secara eksesif.
Aung San Suu Kyi,
tokoh Nobel perdamaian 1991 mematung tanpa bahasa atas pelanggaran HAM berat
di Negara Bagian Rakhine. Ia tak bereaksi melihat absennya partisipasi politik
Rohingnya pada pemilu November 2015. Padahal beberapa tokoh Nobel seperti
Dalai Lama dan Bishop Desmond Tutu ikut prihatin atas sikap Suu Kyi itu (http://www.ucanews.com/news/rohingya-crisis-presents-myanmars-nld-with-political-dilemma/73739).
Absurditas Suu Kyi
Sikap Suu Kyi itu
mewakili sisi “ketidaksadaran” terhadap humanisme universal yang seharusnya
dibela tanpa reserve. Maka tidak heran ketika kita membaca petisi
dari aktivis HAM dan pluralisme Indonesia meminta pencabutan gelar Nobel perdamaian
Aung Sang Suu Kyi. Melalui biografi yang baru dirilis awal Maret lalu, The Lady and The Generals : Aung San Suu
Kyi and Burma’s Struggle for Freedom karya Peter Popham, sikap Suu Kyi
terkait Islam dan Rohingnya terlihat bernoda.
Di dalam biografi itu,
Suu Kyi terlihat kesal atas sesi wawancara dengan wartawan BBC, Mishal Husain
tentang Rohingnya. Wawancara itu sendiri terjadi pada 2013. Di akhir
wawancara, nada rasisme mengemuka: “no
one told me I was going to be interviewed by a muslim” (tak seorang pun mengabariku sedang
diwawancarai seorang muslim). Kalimat itu sangat tidak normal apalagi
muncul dari sosok pejuang perdamaian. Ketika saya melihat kembali wawancara
itu, pola komunikasi Suu Kyi penuh dengan argumentasi penyangkalan dan
retorika “lontong sayur”.
Di antara yang paling
kentara adalah penolakan penyebutan pembersihan etnis (ethnic cleansing) untuk kasus Rohingnya. Ia menganggap kekerasan
massal adalah konsekuensi tak terhindarkan akibat iklim ketakutan yang
menyebar di antara dua kelompok. Padahal dalam tiga tahun terakhir tercatat
lebih 140 ribu etnis Rohingnya menjadi korban dan menjadi pengungsi lintas
negara. Mereka menjadi migrasi etnis terbesar setelah fenomena manusia kapal
dari Vietnam.
Atas dasar itu pula
saya memahami ketika tokoh-tokoh pluralisme Indonesia seperti Goenawan
Mohammad, Hamid Basyaib, Nong Darul Mahmada, Didik J. Rachbini, Emerson
Yuntho, Airlangga Pribadi, dll menyatakan
keresahannya dan membuat petisi cukup keras di Change.org. Menurut mereka tindakan diskriminasi kepada muslim
tidak pantas dimunculkan oleh Daw Aung San. Ia tidak layak mempertanyakan
identitas keagamaan siapa pun yang mewawancarainya. Sebagai pejuang
demokrasi, Suu Kyi tak pantas mengeluarkan sikap rasis yang merusak
nilai-nilai demokrasi yang seharusnya menghargai perbedaan keyakinan. Sebagai peraih perdamaian pernyataan rasis
justru membuat perdamaian menjadi semu, memunculkan sikap saling curiga
bahkan konflik (https://www.change.org/p/cabut-nobel-perdamaian-aung-san-suu-kyi?source_location=discover_feed).
Absurditas itu bertemu
secara kontradiktif dengan kemenangan NLD pada pemilu 2015. NLD tidak cukup
sukses merepresetasikan pluralisme dan multikulturalisme di Myanmar. Bukan
hanya tragedi demokrasi akibat tidak adanya perwakilan Rohingnya di parlemen,
tapi juga tidak ada satu pun calon muslim dari NLD. Bahkan Suu Kyi ikut
memperdalam politik diskriminasi dengan melarang wakil ketua NLD, Win Mya
Mya, untuk maju dalam pemilu legislatif. Kemenangan NLD menjadi sejarah
demokrasi baru di Myanmar tapi ditandai dengan cacat pluralisme. Umat
Islam adalah agama minoritas di
Myanmar, tapi menduduki posisi keempat terbanyak (https://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Myanmar).
Masa Depan Pluralisme
Seperti kepak
kupu-kupu yang melahirkan badai, dunia yang teradikalkan saat ini bisa
terjadi dimana-mana, tidak hanya di dunia muslim. Diskriminasi muslim di
Myanmar bisa saja menjadi topan konflik di tempat lain. Ruang publik global
kita sedang sakit oleh aksi-aksi kekerasan dan bisa meruntuhkan tembok-tembok
toleransi yang telah dibangun dengan idealisme oleh tokoh-tokoh besar dunia.
Berkaca dari kasus
ini, Myanmar masih menjadi salah satu negara yang kurang sukses mengelola
potensi multikulturalisme dan pluralisme. Sebagai negara beragam etnis dan agama
(sekitar 137 kelompok etnis dan tujuh kelompok agama), politik dan ekonomi
masih didominasi oleh etnis Burma yang beragama Budha. Pemerintah reformasi
Myanmar harus mampu mengurai sentimen anti-Islam yang semakin meluas di sana.
Kini presiden baru, Htin
Kyaw, menghadapi badai segregasi
politik dan agama, yang bisa menjadi batu sandungan bagi setiap pemerintahan
demokratis di era transisi. Salah satu ujian adalah bagaimana meredam
aksi-aksi separatisme Organisasi-organisasi Etnis Bersenjata (Ethnic Armed Organisations/EAO) dari
etnis-etnis minoritas yang belum mendapatkan keadilan politik dan ekonomi (“Shan State Tension Increases as New
Government Searches for Peace”, www.mizzima.com, 5 April 2016).
Bagi kita di
Indonesia, pengalaman Myanmar bisa menjadi titik refleksi, bahwa kemajuan
demokrasi secara prosedural dan institusional tidak selalu paralel dengan
matangnya pluralisme dan multikulturalisme. Kita bisa belajar untuk tidak
mengimpor ampas-ampas intoleransi, tetap bisa berpikir jernih untuk menolak
gagasan anti-pluralisme, meskipun berasal dari tokoh Nobel sekaliber Aung San
Suu Kyi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar