Birokrasi dan Partai Politik
Miftah Thoha ;
Guru Besar Ilmu Administrasi
Publik UGM
|
KOMPAS, 15 April
2016
Di dalam pemerintahan
yang demokratis, kehadiran partai politik merupakan suatu yang tidak bisa
dihindari. Indonesia tidak terkecuali, bahkan semenjak kemerdekaan setelah
almarhum Sutan Sjahrir mengusulkan kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta agar
rakyat diberi kewenangan untuk mendirikan partai politik, maka
berdirilahbanyak partai politik di awal kemerdekaan itu.
Usul Sjahrir itu
karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang baru disahkan itu memberikan kekuasaan
yang besar kepada presiden sehingga dikhawatirkan negara yang baru dijajah
fasis Jepang bisa melahirkan kepemerintahan yang fasis.
Semenjak kehadiran
partai politik dalam tata kepemerintahan kita selama ini, belum pernah diatur
bagaimana hubungan kerja keduanya. Partai politik melahirkan jabatan-jabatan
politik yang memimpin tatanan administrasi dan birokrasi pemerintahan. Setiap
pemimpin suatu organisasi dilengkapi oleh kekuasaan untuk menguasai,
mengarahkan semua potensi dalam organisasi tersebut. Partai politik yang
kemudian berkuasa dan mengusaibirokrat atau administrator dalam sistem
administrasibirokrasi pemerintah. Partai politik tiba-tiba datang dalam tata
kepemerintahan dan langsung menduduki posisi sebagai pimpinan administrasi
pemerintahan.
Dahulu, sebelum
datangnya partai politik (baca ilmu politik), ilmu administrasi negara
berdimensi luas meliputi kajian yang dilakukan oleh ilmu politik, yakni
membuat dan merumuskan suatu kebijakan atau policy. Ilmu administrasi negara
adalah suatu kajian yang meliputi tidak hanya melaksanakan suatu kebijakan,
tetapi juga membuat dan merumuskan kebijakan. Setelah ilmu politik
berpengaruh terhadap proses ilmu administrasi negara, ilmu administrasi
negara membatasi lingkup kajiannya hanya pada proses pelaksanaan kebijakan.
Proses perumusan dan
pembuat kebijakan dikaji oleh ilmu politik (Denhardt dan Denhardt, 2009). Sebelum ilmu politik berpengaruh
dan intervensi dalam tata proses administrasi negara, birokrasi administrasi
negara dipimpin atau dikelola oleh birokrat (Max Weber, 1947). Dengan demikian, tata kerja antara politik dan
birokrasi adalah politik yang kemudian dilakukan oleh partai politik memimpin
birokrasi dalam sistem administrasi negara. Politik yang merumuskan kebijakan
dan administrasi birokrasi pemerintahan yang melaksanakan kebijakan. Rumusan
tata kerja seperti itu tidaklah berlangsung sesederhana yang kita bayangkan.
Karena politik dalam
suatu pemerintahan yang demokratisrealisasinya dilakukan oleh partai politik,
aspirasinya bisa berbeda-beda tergantung pada perbedaan masing-masing partai
politik. Posisi pimpinan yang berwenang membuat kebijakan memegang peranan
yang sentral. Pimpinan yang memimpin sumber daya manusia, pimpinan yang
menguasai budget, fasilitas, dan kelengkapan lainnya dan lebih jauh lagi
pimpinan yang menentukan arah organisasi yang dipimpinnya. Maka, sulit
dihindaribirokrasi administrasi negara bisa netral dari politik. Akan tetapi,
di Indonesia semenjak ada UU No 5Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
lembaga birokrasi pemerintah yang dipimpin oleh partai politik dalam jajaran
kabinet yang dipimpin presidensial harus netral dari intervensi politik.
Sekarang pertanyaannya, sampai di mana netralitas birokrasi dari politik itu
bisa diwujudkan sehingga bisa melahirkan sistem meritokrasi
Lelang jabatan
Istilah ini mulai
populer ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI. Ketika itu, Jokowi ingin
melakukan pergantian jabatan secara terbuka bagi para pejabat dan pegawai di
kalangan pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota, sebagai lawan cara pergantian
jabatan sebelumnya yang tidak transparan. Akan tetapi, istilah lelang ini
istilah yang sering dipergunakan dalam usaha perdagangan yang biasa
dipergunakan oleh para pedagang kalau akan memperdagangkan barang
dagangannya.
Istilah ini juga
mempunyai konotasi yang mempertontonkan seluk-beluk permainan yang kurang
baik. Dengan menggunakan lelang jabatan, pejabat politik dengan mudahnya
mengganti jabatan atau pejabat yang tidak disukai. Cara lelang seperti
initidak jauh bedanya dengan cara sebelum UU No 5 Tahun 2014. Dengan berkedok
pergantian jabatan secara terbuka melalui lelang tidak jarang dijumpai
permainan like and dislike terjadi.
Dahulu, ketika partai
politik memimpin pemerintahan di awal kemerdekaan, partai politik ingin
menguasai pemerintah. Kekuasaan menjadi simbol utama dari dedikasi partai
politik dalam memimpin pemerintah. Departemen pemerintah dipimpin atau
diduduki oleh suatu partai politik sehingga seluruh aparat pemerintahan di
departemen itu dikuasai oleh partai politik. Semua potensi departemen dari
sumber daya manusia, sumber daya budget, dan sumber daya lainnya dikuasai
untuk menyiapkan kemenangan pemilu yang akan datang. Jika suatu kementerian
dipimpin oleh menteri dari partai politik tertentu, seluruh departemen itu
dari pucuk pimpinan sampai ke pemerintahan desa dikuasai orang partai itu.
Sekarang, semenjak era
reformasi kehadiran partai politik dalam tata kepemerintahan tidak bisa
berkurang. Sebelum UU No 5 Tahun 2014 disahkan, pimpinan kementerian atau
pimpinan daerah sangat merdeka untuk mengganti pegawai dan pejabat yang tidak
disukai atau tidak mendukung pencalonannya. Pergantian para pejabat yang
berseberangan dengan pimpinan politik yang baru sudah tidak menjadi rahasia
lagi. Setelah UU No 5 Tahun 2014 diberlakukan, yang catatannya harus
dilakukannetralitas, maka dengan slogan lelang jabatan yang diuraikan di muka
pimpinan politik dengan mudah mengganti pejabat yang tidak kalah ramainya dengan
sebelum ada undang-undang itu. Sekarang ini sedang ramai diselenggarakan
pergantian jabatan dengan cara lelang yang dilakukan secara terbuka. Jika
menteri atau kepala daerah berkehendak mengganti semua jabatan birokrasi yang
tidak lagi cocok dengan dia, maka dilakukan lelang jabatan, baik jabatan yang
akan pensiun atau yang belum waktunya pensiun
Pejabat tersebut dalam
jabatannya telah menjabat selama lima tahun. Menurut undang-undang, walaupun
telah menjabat lima tahun, masih potensial dan umurnya masih muda, boleh
mengajukan lagi untuk diuji oleh tim seleksi. Akan tetapi, dengan alasan
potensi dan kompetensi pejabat tersebut menurut penilaian menteri atau kepala
daerah tidak lagi sesuaidengan kemauannya, pejabat tersebut tergusur dari
jabatannya. Netralitas birokrasi dari intervensi politik dari dahulu sebelum
adanya UU No 5 Tahun 2014 sampai sekarang masih belum bergerak maju menuju
tatanan meritokrasi dalam birokrasi pemerintah.
Pejabat negara
Orang-orang parpol
yang memimpin birokrasi pemerintah di pemerintah pusat ataupun di pemerintah
daerah sering disebut sebagai pejabat politik. Dengan demikian, pejabat
tersebut selalu membawa nama partai politiknya dan bahkan membawa aspirasi
partainya sehingga birokrasi dipimpin oleh partai politik. Bahkan, ada partai
politik yang menempatkan orang-orang partainya dalam pemerintahan disebutnya
sebagai petugas partai. Dengan demikian, pejabat politik adalah petugas
partai untuk memerintah pemerintah yang jauh sekali dengan aspirasi
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Pergantian jabatan
dalam birokrasi pemerintah sudah ada ketentuannya, yakni diganti oleh promosi
jabatan dari pejabat di bawahnya. Setiap jabatan dalam birokrasi harus
melalui upaya pendidikan dan pengalaman yang panjang yang memungkinkan
masing-masing pejabat dan calon pejabat mempunyai potensi jabatan yang
diharapkan. Salah satu cara mengevaluasi mereka ialah dengan ujian atau
testing secara tertutup dan terbuka.
Tertutup mengutamakan
calon dari dalam instansinya terlebih dahulu karena mereka sudah melalui
pengaderan. Jika calon dari dalam instansinya sendiri kurang atau tidak ada,
baru mengundang calon yang potensial dari luar instansinya. Ujian atau
testing harus dilakukan oleh panitia seleksi (pansel independen) yang
diangkat dan dilakukan secara transparan. Cara semacam ini diharapkan bisa
mengurangi kecurigaan pergantian jabatan secara like and dislike.
Selama ini, hubungan
kerja yang berlangsung antara pejabat politik dan pejabat birokrasi adalah
hubungan antara atasan dan bawahan. Suatu hubungan yang normal atau hubungan
Weberian dalam setiap bentuk organisasi. Hubungan semacam ini
mengimplementasikan hubungan antara penguasa dan pelaksana yang dikuasai, dan
hal ini membawa pengaruh fungsi birokrasi sebagai subordinasi sebagai mesin
politik dan pelengkap dari eksistensi pejabat politik. Sebagai bawahan dan
pelengkap, kehadiran birokrasi tak bisa ikut berperan menentukan tata politik
pemerintahan yang baik. Model semacam ini dalam teori administrasi publik
disebut executive ascedency.
Untuk menciptakan
tatanan pemerintahan yang mengutamakan meritokrasi, pejabat politik bisa
mengubah cara yang ascendency tersebut dengan cara team work sehingga
melahirkan cara kerja bureaucratic subblation. Dalam cara ini, keahlian dan
profesionalisme pejabat birokrasi diperhatikan sehingga pejabat birokrasi
tidak dianggap sebagai bawahan dan pelengkap yang kurang berperan, melainkan
dijadikan sebagai suatu kekuatan penyeimbang dari kekuatanpejabat politik.
Dengan demikian, hubungan kerja antara birokrasi dan politik tidak terbelah
antara aspirasi partai politik dan keinginan pejabat birokrasi yang
mengharapkan tatanan pemerintahan yang efisien dan rasional. Barangkali
dengan cara semacam ini netralitas birokrasi dari intervensi politik seperti
yang diinginkan oleh Undang-Undang Aparatur Sipil Negara bisa tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar