Kerja
Keras, Cerdas, Wirausaha
Kristi Poerwandari ; Penulis Kolom “PSIKOLOGI” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
03 Januari 2016
Memasuki tahun 2016,
kita perlu mengingatkan diri mengenai sangat pentingnya bekerja keras
sekaligus cerdas. Masyarakat Ekonomi ASEAN, ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area), dan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), meski namanya adalah
"masyarakat" dan "kerja sama", sesungguhnya bicara
mengenai persaingan di pasar bebas dunia.
Pasar bebas dunia
memungkinkan badan usaha dan pekerja dari luar masuk ke Indonesia, dan orang
Indonesia bila mau, bisa saja membuat usaha atau bekerja di negara lain.
Jadi, bahkan di negara sendiri, kita juga harus berkompetisi dengan pekerja
asing yang ingin mencari peruntungannya, atau dengan badan usaha yang
dibangun oleh pihak asing.
Meski mungkin kita
tidak suka, ini hal niscaya dan tak terelakkan. Kita dapat memilih, untuk
bersikap pasif saja, tidak mau direpotkan oleh antisipasi yang rumit dan
berharap semua akan baik-baik saja. Atau mulai merasa cemas tanpa tahu apa
yang harus dilakukan. Atau menyiapkan diri untuk menghadapi. Untuk pilihan
terakhir, itu berarti berpikir mengenai kewirausahaan.
Menyadari sangat
pentingnya mendorong kewirausahaan, Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Inggris
menyusun panduan pendidikan wirausaha di perguruan tinggi (2012). Eksplisit
dituliskan bahwa wirausaha perlu dilihat sebagai suatu pilihan karier agar
usaha-usaha baru dapat dihadirkan oleh orang-orang muda.
"Enterprise awareness"
Agar wirausaha
efektif, pertama-tama kita perlu memiliki kesadaran akan tempat kerja sebagai
entitas yang harus terus aktif bergerak untuk berproduksi dan mengembangkan
diri.
Mungkin ada pekerja
yang banyak mengeluh, menuntut kenaikan gaji dan berbagai fasilitas, tetapi
sesungguhnya tidak memberi nilai tambah bagi tempat kerjanya. Mereka menuntut
hak tetapi tidak paham kewajibannya, bersikap pasif, enggan berinisiatif,
selalu menghitung untung rugi, merasa tidak pantas untuk turun lapangan
mengerjakan tugas-tugas yang kurang bergengsi. Orang-orang seperti ini jelas
tidak memiliki enterprise awareness dan jadi beban biaya untuk perusahaan.
Barangkali tidak semua
orang dapat menjadi wirausaha yang berhasil, tetapi setidaknya, kita perlu
menyadarkan pekerja bahwa siapa pun yang ada dalam tim harus memberikan nilai
tambah bagi tim dan tempat kerjanya.
Kesadaran akan tempat
kerja sebagai entitas yang harus terus aktif berproduksi dapat ditumbuhkan,
misalnya dengan mengembangkan minat dan belajar tentang skala usaha yang
berbeda-beda, peran dari usaha kecil dalam industri, serta peran kehadiran
kewirausahaan sosial dalam masyarakat. Orang muda disadarkan mengenai
perbandingan antara sikap menunggu dan pasif saja sebagai pegawai atau
pencari kerja, dengan kreativitas dan keberanian untuk membuka usaha, dan
bagaimana kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi.
Set berpikir wirausaha
ditumbuhkan dengan mengajak orang muda meneliti diri sendiri: sejauh mana
telah memiliki hal-hal yang dibutuhkan untuk berwirausaha, misalnya motivasi,
disiplin diri, dapat berpikir kreatif, dan memindahkan ide menjadi suatu hal
yang dilaksanakan secara konkret? Bagaimana pula toleransi terhadap
ketidakjelasan, risiko, dan kegagalan?
Dalam membangun usaha
diperlukan kontak dan jaringan. Lembaga pendidikan perlu melibatkan alumni
dan pengusaha yang telah berhasil, sementara individu perlu mengembangkan
jaringan sosialnya. Bagi yang ekstrover dan senang bergaul, ini mungkin lebih
mudah. Tetapi yang introver tetap dapat berlatih mengembangkan dan
mengekspresikan minat sosialnya. Misalnya mengirim surat elektronik ucapan
terima kasih setelah berkenalan di tempat pertemuan, menelepon untuk
menyampaikan ucapan selamat ulang tahun, atau audiensi menemui pejabat baru
di tempat mitra kerja.
Dalam lembaga
pendidikan, mahasiswa yang lebih senior dapat membuat kelompok dukungan bagi
yang yunior. Sementara itu, alumni dapat banyak membantu memberikan bimbingan
dalam keterampilan komunikasi, presentasi, hingga menyediakan tempat praktik.
Literasi keuangan dan bisnis
Tidak jarang niat
untuk berwirausaha sudah ada bahkan tinggi, dan kerja yang dilakukan juga
sudah banyak, misalnya dengan membuat produk. Mungkin kita sendiri pernah
mengalaminya. Tetapi usaha berhenti karena tidak ada yang memasarkan, tidak
tahu harus dipasarkan ke mana, atau yang dibuat ternyata tidak sesuai dengan
selera masyarakat. Atau kita ditipu orang. Akhirnya malah merugi.
Karena itu, dalam
kurikulum pendidikan, perlu ada kuliah pengantar tentang bagaimana
kewirausahaan dapat tumbuh, menggunakan teori-teori kunci untuk mengupayakan
benang merah penjelasan. Perlu ditekankan bahwa pembangunan usaha itu
memerlukan keterampilan mempekerjakan orang-orang lain. Bila tidak, itu
berarti kita akan kelelahan bekerja keras sendiri, dan tidak meluaskan
lapangan kerja bagi sesama yang membutuhkan.
Kita perlu
merencanakan lebih spesifik bidang yang akan ditekuni serta berbagai tuntutan
pengembangan usaha dan estimasi keuangannya. Estimasi keuangan menjelaskan
bahwa wirausaha yang dipilih akhirnya haruslah memiliki sasaran yang jelas
dan produk yang ditawarkan atau dihasilkan memang sungguh dibeli atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Harus ada yang
merancang strategi pemasaran dan yang di garda depan haruslah yang memang
pandai menjual. Bila tidak, kita malah merugi, produk tertumpuk di gudang dan
tidak laku lagi dijual karena selera atau kebutuhan pasar telah berubah.
Bagaimanapun, kadang kala mengalami kerugian menjadi salah satu pembelajaran
penting yang tak terhindarkan.
Akhirnya, semua pihak
yang terlibat harus terikat pada aturan manajemen yang jelas dan disepakati
bersama. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah agar kita tidak main terabas,
melanggar hak orang lain, ataupun merusak lingkungan. Etika berbisnis,
termasuk di dalamnya mengembangkan usaha yang ramah lingkungan, tetap perlu
menjadi landasan kerja kita. Selamat
tahun baru dan selamat berwirausaha. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar