Profesor untuk Apa?
Hendra Gunawan ; Guru Besar FMIPA ITB
|
KOMPAS,
14 November 2015
Pada akhir tahun 2012
saya menghadiri sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Calcutta
Mathematical Society (CMS), di sebuah gedung sederhana tempat CMS berkantor.
Ada yang berkesan tentang gedung CMS tersebut. Di ruang utamanya terpampang
sejumlah foto para ilmuwan, bukan hanya matematikawan, melainkan juga
fisikawan dan ilmuwan terkemuka dalam bidang lainnya.
Kebanyakan di antara
ilmuwan yang fotonya dipasang bahkan bukan ilmuwan asal India, melainkan
ilmuwan mancanegara. Sebutlah seperti Isaac Newton, Joseph Fourier, dan
Albert Einstein.
Pesan yang ingin
mereka sampaikan dengan memajang foto para ilmuwan ini sangat jelas: para
ilmuwan tersebut merupakan benchmark (acuan) bagi mereka dalam berkarya.
Pemandangan serupa pernah saya jumpai di sebuah perguruan tinggi di Ho Chi
Minh City, Vietnam, yaitu terpampangnya foto tokoh kelas dunia yang telah
berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Perihal profesor
Namun, jika kita
berkunjung ke lembaga-lembaga keilmuan atau perguruan tinggi (PT) di
Indonesia, dan mengamati apa yang dipajang di ruang pertemuan utama mereka,
besar kemungkinan kita akan menemukan foto para mantan pejabat di lembaga
tersebut: entah mantan direktur atau mantan rektor. Demikian juga di ruang
rapat fakultas di perguruan tinggi Indonesia, foto para mantan dekanlah yang
biasanya terpampang. Pesan yang secara tidak langsung disampaikan adalah:
jika ingin menjadi seseorang di lembaga keilmuan atau PT di Indonesia,
jadilah pejabat (struktural).
Jadi, sesungguhnya
tidak mengherankan ketika Agus Suwignyo menulis di Kompas (6/11/2015) tentang
keasyikan profesor dan dosen secara umum dengan tugas-tugas administratifnya.
Bahkan, Agus melanjutkan, cukup banyak profesor berusaha memperoleh posisi
struktural baru setelah menyelesaikan masa tugas suatu jabatan struktural,
bukannya kembali ke laboratorium melaksanakan tugasnya memimpin pengembangan
ilmu pengetahuan.
Terlepas dari
jumlahnya yang sedikit, kinerja para profesor kita dalam pengembangan ilmu
pengetahuan memang menyedihkan, sebagaimana disoroti pula oleh Terry Mart
(Kompas, 11/11/2015). Terry mengusulkan dua solusi untuk mengatasi masalah
ini. Solusi pertama adalah memisahkan jabatan profesor dari sistem
kepangkatan dan remunerasi pegawai. Solusi kedua adalah dengan merealisasikan
jabatan ”profesor paripurna” yang sudah diperkenalkan dalam UU No 14/2005
tentang Guru dan Dosen. Persisnya, pada Pasal 49 Ayat (3) dalam UU tersebut
dinyatakan bahwa ”Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental
lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan
internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.”
Berbicara tentang
profesor, kita tentu tidak bisa lepas dari alasan dan tujuan pengangkatan
seorang profesor di PT. Entah sejak kapan persisnya, alasan pengangkatan
profesor telah mengalahkan tujuannya. Seorang dosen yang telah mengumpulkan
kum 850 atau lebih, dengan proporsi tertentu dalam kegiatan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian masyarakat serta kegiatan lainnya, secara
administratif memang dapat diusulkan untuk menjabat sebagai profesor.
Langkah yang kemudian
dilakukan oleh pihak perguruan tinggi adalah menelaah usulan tersebut secara
administratif pula. Pembahasan tentang apa yang telah dilakukan oleh sang
calon profesor dalam bidang keilmuannya biasanya dikaitkan dengan pemenuhan
persyaratan yang ditetapkan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) yang kini
di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (dulu di
Kemdikbud). Misalnya, apakah yang bersangkutan telah pernah membimbing doktor
dan memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional.
Penelaahan berkas usulan profesor dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari
tingkat fakultas hingga ke kementerian, tetapi hasilnya tetap dipertanyakan.
Saya pernah terlibat
sebagai penelaah berkas usulan profesor di Ditjen Dikti (dulu, sebelum
penggabungan Kemristek dan Ditjen Dikti). Sejauh yang saya amati, tidak
pernah ada penjelasan dari pihak perguruan tinggi, mengapa atau untuk apa
mereka mengusulkan calon profesor tersebut, selain bahwa sang calon telah
memenuhi semua persyaratan yang ditentukan (oleh Ditjen Dikti). Bahkan,
sebagai penelaah, saya tidak punya gambaran berapa banyak profesor yang telah
dimiliki di perguruan tinggi tersebut, dan apa rencana besar yang dimiliki
oleh pihak perguruan tinggi terkait dengan calon profesor yang diusulkannya.
Sayangnya, pihak Ditjen Dikti memang tidak menuntut hal tersebut dari pihak
perguruan tinggi.
Misi perguruan tinggi
Padahal, kalau kita
tengok kembali apa yang telah digagas para pendiri bangsa (antara lain Prof
Soepomo dan Prof Soenaria Kalapaking) dengan perguruan tinggi kita, kita akan
menyadari bahwa peran profesor atau guru besar sangat penting dalam
melaksanakan misi perguruan tinggi. Kalapaking menyatakan bahwa ”baik
buruknya mutu universitas terutama bergantung pada pemilihan orang-orang yang
dijadikan guru besar.”
Saya membayangkan,
setiap PT di Indonesia punya visi dan misi yang jelas dan tajam, yang tidak
hanya tertulis di atas kertas, tetapi benar-benar ingin diwujudkan.
Pengangkatan profesor, dalam hal ini, merupakan bagian dari strategi
perguruan tinggi tersebut guna mewujudkan visi dan melaksanakan misinya.
Seseorang yang telah
mengumpulkan kum 850 memang secara administratif dapat mengajukan diri untuk
diusulkan menjadi profesor. Namun, apabila pihak perguruan tinggi tidak
melihat relevansinya dengan pencapaian visinya, usulan tersebut tidak harus
serta-merta diproses alias ditindaklanjuti.
Sebaliknya, apabila
pihak perguruan tinggi menilai bahwa untuk mencapai visi atau melaksanakan
misinya mereka harus mengangkat seorang profesor, maka—sebagaimana lazim
terjadi di luar negeri— pihak perguruan tinggi akan mengumumkan ”lowongan”
profesor tersebut, bahkan bila perlu secara terbuka, agar diperoleh seorang
profesor terbaik dalam bidang yang ingin dikembangkan di perguruan tinggi
tersebut.
Persoalan seputar
jabatan profesor di Indonesia memang pelik, tetapi kita tidak boleh lupa
dengan alasan dan tujuan pendirian perguruan tinggi. Tampaknya, selama ini
kita luput tentang hal itu. Alhasil, muncullah berbagai persoalan, termasuk
sedikitnya profesor dan—lebih parah daripada itu—rendahnya mutu para profesor
yang ada.
Jadi, kalau Terry Mart
mengusulkan direalisasikannya jabatan profesor paripurna, jangan-jangan tidak
banyak profesor yang memiliki karya monumental yang sangat istimewa, kecuali
jika kita menafsirkannya lain (dan kita memang ahli dalam bermain dengan kata-kata).
Namun, kalau memang ada profesor yang memiliki karya istimewa, saya lebih
berharap pihak perguruan tinggi memajang foto mereka di ruangan penting di
kampusnya. Hal ini untuk memberi pesan kepada para dosen muda dan mahasiswa:
”jika anda ingin menjadi seseorang, lahirkanlah karya yang istimewa.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar