Bersumpah dan Berjihad
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS,
14 November 2015
Dari daftar peserta
Kongres Pemuda II Oktober 1928, tidak banyak tokoh asal pesantren. Tidak
berarti saat itu para santri dan ulama tidak merasakan semangat Sumpah
Pemuda. Mereka tidak banyak hadir karena belum banyak bergaul dengan
pemuda-pemudi lain yang mengambil pendidikan nonpesantren, yang memprakarsai
kongres.
Kalangan pesantren
mulai banyak terlibat dalam pergerakan kemerdekaan secara nasional saat
pembentukan MIAI, Lasykar Hisbullah, BPUPKI, dan PPKI. Peran pesantren
betul-betul berarti saat dicetuskannya Resolusi Jihad oleh para ulama
Nahdlatul Ulama di bawah pimpinan KHA Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Resolusi itu memicu semangat pemuda Jawa Timur untuk membantu TNI melawan
tentara Sekutu. Peran ini hampir terkubur akibat pengabaian para penulis buku
sejarah, bahkan seorang guru besar ilmu sejarah di Surabaya, akhir 2011,
mengatakan, bahwa Resolusi Jihad adalah legenda, bukan fakta sejarah.
Saya meminta guru-guru
sejarah di sekolah/madrasah Pesantren Tebuireng untuk mencari arsip koran
yang terbit akhir Oktober 1945, karena Resolusi Jihad difatwakan 22 Oktober
1945. Kalau di koran tersebut ada berita tentang Resolusi Jihad, maka
Resolusi Jihad adalah fakta sejarah. Kalau berita itu tidak ada, maka itu
adalah legenda.
Mereka mencari di
Perpustakaan Nasional dan Universitas Leiden. Dalam waktu singkat sudah ada
kepastian adanya berita tentang Resolusi Jihad di koran yang terbit akhir
Oktober 1945. Kami lalu menulis buku tentang proses terwujudnya Resolusi
Jihad, yang terbit 2013.
Film Sang Kyai (2013)
menginformasikan pada masyarakat luas tentang peran para ulama dan santri
dalam perjuangan kemerdekaan. Hari Santri adalah bentuk penghargaan
pemerintah terhadap sumbangsih pesantren kepada bangsa dan negara, baik dalam
perjuangan fisik maupun pendidikan. Pesantren adalah lembaga pendidikan
tertua yang mencerdaskan bangsa jauh sebelum berdirinya sekolah Belanda
(1840-an). Akan lebih baik apabila penghargaan itu disertai upaya peningkatan
mutu pesantren yang selama ini terabaikan.
Memang pada 1945 masih
ada sedikit perbedaan antara konsep bangsa dan negara menurut kalangan
pesantren dan kelompok Islam dengan konsep menurut kelompok Pancasila, tetapi
itu tidak mengurangi makna kebangsaan. Kita bersyukur bahwa partai dan ormas
Islam telah menerima Pancasila sekitar 30 tahun lalu, walau kini muncul
kembali kelompok yang ingin mendirikan negara berdasar Islam.
Reaktualisasi
Jihad saat ini
semangatnya sama dengan jihad tahun 1945, tetapi wujudnya berbeda. Kalau dulu
berperang melawan penjajah, kini berperang melawan diri sendiri, berjuang
memperbaiki akhlak kita, berjuang melawan penjajahan dalam bentuk lain, yaitu
kebodohan, penjajahan ekonomi, dan ketidakadilan sosial, supaya bisa
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam mereaktualisasi
Sumpah Pemuda, perlu disadari bahwa mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia, mengandung makna bahwa tanah yang satu itu harus dimanfaatkan untuk
seluruh rakyat Indonesia bukan segelintir pengusaha yang menguasai tanah
jutaan hektar. Juga mengandung makna bahwa tanah yang satu kita rawat supaya
jangan menyengsarakan rakyat, seperti kebakaran hutan.
Mengaku berbangsa yang
satu, bangsa Indonesia, mengandung makna bahwa bangsa Indonesia harus
mempunyai nasib yang sama, harus terpenuhi kebutuhan dasar mereka, sesuai
amanah UUD. Bebas dari diskriminasi dan bebas dari kemiskinan.
Dengan memegang teguh
Sumpah Pemuda, terutama oleh para pemimpin di semua tingkatan, kita akan
mampu mewujudkan Pancasila. Sehingga tidak ada lagi yang mengatakan negara
Pancasila ternyata gagal.
Saat ini, Sumpah
Pemuda yang ketiga adalah sumpah yang paling mampu kita jalani, walaupun ada
sejumlah catatan. Bahasa Indonesia amat menentukan dalam pembentukan dan
perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Membaca naskah Pembukaan UUD 1945
dan batang tubuhnya, kita menyaksikan bahwa bahasa Indonesia telah berhasil
menjadi bahasa resmi kenegaraan dalam merumuskan cita-cita kemerdekaan dan
aturan-aturan dasar kehidupan negara Indonesia.
Bahasa Indonesia telah
berjasa membentuk jiwa kebangsaan rakyat Indonesia dan mencerdaskan anak
bangsa. Bahasa Indonesia berhasil menjadi media bagi Bung Karno dan kawan-kawan
untuk menyampaikan pesan politik kepada rakyat.
Bahasa Indonesia telah
berhasil menjadi bahasa komunikasi sehari-hari, menjadi bahasa kebudayaan,
dan menjadi media bagi ribuan penyair dalam mengungkap perasaan mereka.
Beberapa di antaranya mencapai tingkat internasional, seperti Chairil Anwar,
Amir Hamzah, Rendra, Taufik Ismail, Zawawi Imron, dan Sapardi Djoko Damono.
Juga berhasil menjadi
sarana bagi sastrawan dalam menulis karya-karya mereka termasuk mereka yang
terkenal di dunia internasional, seperti Pramoedya Ananta Toer, Mochtar
Lubis, Romo Mangun, Ahmad Tohari. Juga bagi generasi masa kini, seperti
Laksmi Pamuntjak, Andrea Hirata, Habiburrahman, Dee Lestari, Eka Kurniawan.
Bahasa Indonesia juga
menjadi media ekspresi WR Supratman, Ismail Marzuki, Alfred Simanjuntak, Koes
Bersaudara, Ebiet G Ade, Gombloh, mengungkapkan kecintaannya pada Tanah Air.
Bahasa Indonesia telah
dipelajari di 45 negara dan ada rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia untuk
menjadikannya bahasa ASEAN. Cita-cita mulia itu membutuhkan banyak persyaratan,
termasuk merawat bahasa Indonesia dengan baik. Itu perlu dilakukan dalam
bentuk pengajaran yang baik di sekolah, teladan oleh para pemimpin di segala
tingkatan, danjuga dalam penggunaan sehari-hari oleh masyarakat.
Banyak pemimpin yang
suka menggunakan kata asing, padahal kata padanan dalam bahasa Indonesia
mudah dicari. Kita juga menyaksikan fakta bahwa bahasa asing, terutama
Inggris, sudah diajarkan sejak di sekolah dasar. Untuk itu, keluarga perlu
membiasakan anak berbahasa Indonesia dengan baik di rumah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar