Senin, 03 Agustus 2015

Momentum Kesadaran Teknokratis Muhammadiyah

Momentum Kesadaran Teknokratis Muhammadiyah

M Muchlas Rowi ;  Aktivis Muhammadiyah
                                                  KORAN SINDO, 01 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam belantara diskursus dan pewacanaan kebangsaan, terutama ketika mendekati pemilu atau pun ajang muktamar, Muhammadiyah kerap diperhadapkan dengan adanya dua desakan, baik berasal dari publik maupun kadernya sendiri.

Desakan agar Muhammadiyah mulai melek secara politik di satu sisi, dan di sisi lain desakan agar Muhammadiyah tetap pada khitahnya dengan berada pada jalur dakwah kultural. Dua hal ini pun terkadang makin ramai diperbincangkan, manakala kader-kader Muhammadiyah harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa kian minimnya jumlah kader persyarikatan yang masuk dalam kontestasi politik dan pemerintahan.

Sementara, bila realitas yang terjadi adalah sebaliknya, di mana kader-kader persyarikatan berbondong-bondong ikut dalam kontestasi politik dan pemerintahan, maka kondisi tersebut disebut-sebut sebagai pertanda dari “runtuhnya gerakan kultural Muhammadiyah.”

Posisi tersebut seakan menjadi badai krisis pemikiran dan kritik paradigmatik yang menerpa dan menghujam Muhammadiyah. Karena menurutnya, sejak awal berdiri Muhammadiyah telah menahbiskan diri sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Lompatan Kuantum

Secara epistemologi-ontologis, Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan sosial-keagamaan yang lahir dari hasil penalaran wahyu dan realitas lokal sejak Ahmad Dahlan, yang lahir sebagai sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar kritis atas tradisi lokal yang despotic dan chaos.

Oleh karena itu, dalam belantara diskursus dan pewacanaan kebangsaan, Muhammadiyah harus tetap pada khitah nya dengan berada pada jalur dakwah kultural. Mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik dengan posisi yang sama selama bertujuan untuk mendorong amar maamar maruf nahi munkar ke arah gerakan politik.

Kritikan ini untuk sementara bisa diterima terutama dengan alasan godaan politik memang akan menimbulkan lompatan kuantum dalam Muhammadiyah; dari kesadaran hermeneutis menuju kesadaran teknokratis. Dari penciptaan makna secara kultural menuju penciptaan makna secara teknis.

Namun perlu diingat, satu hal dengan perubahan ini bukan berarti Muhammadiyah akan kehilangan makna dan memunculkan kefanaan muatanmuatan tradisi dakwah kultural. Sebaliknya perubahan ini akan membawa Muhammadiyah menjadi semakin dekat kepada tujuan dakwah amar maamar maruf nahi munkar. Sebagai produk modernitas Muhammadiyah seharusnya dipandang sebagai lembaga/ ormas yang tidak bebas nilai dan final.

Karena walau bagaimanapun, Muhammadiyah yang berakar dari proyek geneologinya KH Ahmad Dahlan, hanyalah sebagai daur ulang klaim-klaim revivalisme Islam yang dimamahbiakkan Muhammad Abduh dan Jamaludin al-Afghani puluhan tahun silam yang merujuk pada klaim Arruju ila al-QurAr-ruju ila al- Quran wa as-Sunnah.

Klaimklaim yang diperkenalkan pada masa pencerahan yang tentu saja agar mudah diatur, diadministrasi dan mudah dikontrol oleh kekuatan asing. Klaim keislaman yang dihegemoni menjadi sebuah wajah yang tetap eksotis, spiritual, mistis, kultural dan lemah.

Sang Timur (baca: Islam) yang dikehendaki the other adalah Islam yang baik, tetap mistis, moderat, kultural dan tentu saja dalam bahasa subversif adalah bodoh atau apa yang dikenal dalam bahasa Lacan sebagai Islam yang dipaksa untuk melakukan identifikasi diri, subjektivikasi dan becermin dalam cermin eksistensi (the mirror stage), identifikasi diri menuju Islam yang sebenarnya, menuju Islam yang kultural dan Islam yang moderat dan lemah.

Identifikasi diri yang memudahkan barat untuk mengontrol Sang Timur. Identifikasi diri memunculkan multikulturalisme pragmatis, purifikasi Islam, pencerahan islam ataupun arabisasi Islam. Bahasa purifikasi, pemurnian Islam adalah bahasa yang paling disukai the other karena Islam hasil purifikasi meniscayakan muslim yang baik; bebas dari takhayul, bidbidah dan khurafat tapi lemah spirit perlawanannya.

Karena itu, hasil purifikasi yang mengarah pada fundamentalisme tentu saja tidak dikehendaki, karena mengancam alih-alih yang mengarah pada radikalisme dan bahkan terorisme Dalam iklim demokrasi, kekuatan Islam politik merupakan yang paling ditakuti oleh siapa pun dalam dunia ini, maka tak heran bila Samuel P Huntington dalam bukunya Who Are We?

Mengatakan, “Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice” Bahwa hanya Islamlah yang dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan peradaban Barat. Tengoklah bagaimana partai FIZ di Aljazair, Hizbullah di Palestina, partai keadilan di Turki, atau bahkan partai-partai Islam di negeri kita sendiri harus mengalami perlakuan yang sangat tidak demokratis atau bahkan anarkistis hanya untuk menggagalkan kemenangan partai-partai Islam dalam proses demokrasi.

Penggerak Kemajuan Zaman

Di era kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah sebetulnya telah mulai bermetamorfosa menjadi sebuah gerakan Islam yang meskipun menghendaki adanya purifikasi Islam (al-tajrid) namun juga menghendaki adanya gerakan pembaharuan (al-Tajdid), seperti keberhasilan dalam melakukan jihad konstitusi berupa gugatan terhadap UU Migas dan UU Sumber Daya Air.

Dalam konteks kebangsaan, persyarikatan Muhammadiyah jelas telah melakukan lompatan kuantum yang tentu saja belum mampu dilakukan oleh gerakan Islam lainnya. Pada dasarnya, ada tiga prosedur yang perlu ditempuh dalam pelaksanaan syariat Islam dus juga tujuan Muhammadiyah. Pertama adalah prosedur ilmiah, melalui proses rasionalisasi dan objektivikasi.

Muhammadiyah sejak awal tentunya sudah melakukan itu. Kedua , kontekstualisasi budaya dan masyarakat, ini pun telah menjadi sesuatu yang sama sekali tidak asing dan telah dilewati oleh Muhammadiyah. Ketiga , harus diperjuangkan secara demokratis. Dalam perjuangan demokratis tersebut, tentu diperlukan perjuangan politik dan pembuktian-pembuktian secara empiris dan teknis.

Berpolitik hanyalah sebuah alat, substansinya adalah tujuan baldathun toyyibathun warobbun ghafur. Munculnya kesadaran teknokratis memang bukanlah ide baru dalam Muhammadiyah tapi tetap harus dihadapi secara arif dan bijaksana. Kemunculannya bisa saja melahirkan kader- kader baru yang akan menjadi pendulum dan pendobrak peradaban atau melahirkan generasi-generasi Muhammadiyah dan Islam yang malah melemahkan diri sendiri.

Karena walau bagaimanapun, kesadaran politis akan memaksa dirinya untuk melakukan identifikasi kultural yang meniscayakan multikulturalisme, karena akan lebih banyak bersentuhan dengan golongangolongan lain yang juga memiliki kesadaran yang sama. Problem identitas dan ideologi tentu saja harus segera diselesaikan Muhammadiyah, karena bila tidak kesadaran politis hanya akan mengarah pada pragmatisme.

Sementara, bila pragmatisme menjadi motivasi utama, maka tentu saja Muhammadiyah bukan saja kehilangan makna tapi juga kehilangan legitimasi dan eksistensi. Dan oleh karena itu, sebagaimana kata Robert Spencer, “Kemajuan spiritual dan material terikat secara dialektis, dan bahwa interaksi seperti itu menjadi penggerak kemajuan peradaban” atau Islam berkemajuan dalam bahasa Muhammadiyah saat ini.

Kesadaran politis, kesadaran ilmiah dan kesadaran historis harus menjadi semacam triumvirat kesadaran; satu sisi saja hilang dari ide gerakan Muhammadiyah maka praktis tidak lagi menjadi triumvirat; alih-alih perubahan yang terbentuk malah kehancuran yang di ambang mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar