Momentum Kesadaran Teknokratis Muhammadiyah
M Muchlas Rowi ;
Aktivis Muhammadiyah
|
KORAN
SINDO, 01 Agustus 2015
Dalam belantara diskursus dan pewacanaan kebangsaan,
terutama ketika mendekati pemilu atau pun ajang muktamar, Muhammadiyah kerap
diperhadapkan dengan adanya dua desakan, baik berasal dari publik maupun
kadernya sendiri.
Desakan agar Muhammadiyah mulai melek secara politik di
satu sisi, dan di sisi lain desakan agar Muhammadiyah tetap pada khitahnya
dengan berada pada jalur dakwah kultural. Dua hal ini pun terkadang makin
ramai diperbincangkan, manakala kader-kader Muhammadiyah harus dihadapkan
dengan kenyataan bahwa kian minimnya jumlah kader persyarikatan yang masuk
dalam kontestasi politik dan pemerintahan.
Sementara, bila realitas yang terjadi adalah sebaliknya,
di mana kader-kader persyarikatan berbondong-bondong ikut dalam kontestasi
politik dan pemerintahan, maka kondisi tersebut disebut-sebut sebagai
pertanda dari “runtuhnya gerakan kultural Muhammadiyah.”
Posisi tersebut seakan menjadi badai krisis pemikiran dan
kritik paradigmatik yang menerpa dan menghujam Muhammadiyah. Karena
menurutnya, sejak awal berdiri Muhammadiyah telah menahbiskan diri sebagai
gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Lompatan Kuantum
Secara epistemologi-ontologis, Muhammadiyah merupakan
sebuah gerakan sosial-keagamaan yang lahir dari hasil penalaran wahyu dan
realitas lokal sejak Ahmad Dahlan, yang lahir sebagai sedimentasi pengetahuan
yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar kritis atas tradisi lokal
yang despotic dan chaos.
Oleh karena itu, dalam belantara diskursus dan pewacanaan
kebangsaan, Muhammadiyah harus tetap pada khitah nya dengan berada pada jalur
dakwah kultural. Mengabdi untuk kepentingan bangsa dengan mengayomi semua
partai politik dengan posisi yang sama selama bertujuan untuk mendorong amar
maamar maruf nahi munkar ke arah gerakan politik.
Kritikan ini untuk sementara bisa diterima terutama dengan
alasan godaan politik memang akan menimbulkan lompatan kuantum dalam
Muhammadiyah; dari kesadaran hermeneutis menuju kesadaran teknokratis. Dari
penciptaan makna secara kultural menuju penciptaan makna secara teknis.
Namun perlu diingat, satu hal dengan perubahan ini bukan
berarti Muhammadiyah akan kehilangan makna dan memunculkan kefanaan
muatanmuatan tradisi dakwah kultural. Sebaliknya perubahan ini akan membawa
Muhammadiyah menjadi semakin dekat kepada tujuan dakwah amar maamar maruf
nahi munkar. Sebagai produk modernitas Muhammadiyah seharusnya dipandang
sebagai lembaga/ ormas yang tidak bebas nilai dan final.
Karena walau bagaimanapun, Muhammadiyah yang berakar dari
proyek geneologinya KH Ahmad Dahlan, hanyalah sebagai daur ulang klaim-klaim
revivalisme Islam yang dimamahbiakkan Muhammad Abduh dan Jamaludin al-Afghani
puluhan tahun silam yang merujuk pada klaim Arruju ila al-QurAr-ruju ila al- Quran wa as-Sunnah.
Klaimklaim yang diperkenalkan pada masa pencerahan yang
tentu saja agar mudah diatur, diadministrasi dan mudah dikontrol oleh
kekuatan asing. Klaim keislaman yang dihegemoni menjadi sebuah wajah yang
tetap eksotis, spiritual, mistis, kultural dan lemah.
Sang Timur (baca: Islam) yang dikehendaki the other adalah
Islam yang baik, tetap mistis, moderat, kultural dan tentu saja dalam bahasa
subversif adalah bodoh atau apa yang dikenal dalam bahasa Lacan sebagai Islam
yang dipaksa untuk melakukan identifikasi diri, subjektivikasi dan becermin
dalam cermin eksistensi (the mirror
stage), identifikasi diri menuju Islam yang sebenarnya, menuju Islam yang
kultural dan Islam yang moderat dan lemah.
Identifikasi diri yang memudahkan barat untuk mengontrol
Sang Timur. Identifikasi diri memunculkan multikulturalisme pragmatis,
purifikasi Islam, pencerahan islam ataupun arabisasi Islam. Bahasa
purifikasi, pemurnian Islam adalah bahasa yang paling disukai the other
karena Islam hasil purifikasi meniscayakan muslim yang baik; bebas dari
takhayul, bidbidah dan khurafat tapi lemah spirit perlawanannya.
Karena itu, hasil purifikasi yang mengarah pada
fundamentalisme tentu saja tidak dikehendaki, karena mengancam alih-alih yang
mengarah pada radikalisme dan bahkan terorisme Dalam iklim demokrasi,
kekuatan Islam politik merupakan yang paling ditakuti oleh siapa pun dalam
dunia ini, maka tak heran bila Samuel P Huntington dalam bukunya Who Are We?
Mengatakan, “Islam
is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and
it has done at least twice” Bahwa hanya Islamlah yang dapat menjadi
ancaman bagi keberlangsungan peradaban Barat. Tengoklah bagaimana partai FIZ
di Aljazair, Hizbullah di Palestina, partai keadilan di Turki, atau bahkan
partai-partai Islam di negeri kita sendiri harus mengalami perlakuan yang
sangat tidak demokratis atau bahkan anarkistis hanya untuk menggagalkan
kemenangan partai-partai Islam dalam proses demokrasi.
Penggerak Kemajuan Zaman
Di era kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah
sebetulnya telah mulai bermetamorfosa menjadi sebuah gerakan Islam yang
meskipun menghendaki adanya purifikasi Islam (al-tajrid) namun juga
menghendaki adanya gerakan pembaharuan (al-Tajdid), seperti keberhasilan
dalam melakukan jihad konstitusi berupa gugatan terhadap UU Migas dan UU
Sumber Daya Air.
Dalam konteks kebangsaan, persyarikatan Muhammadiyah jelas
telah melakukan lompatan kuantum yang tentu saja belum mampu dilakukan oleh
gerakan Islam lainnya. Pada dasarnya, ada tiga prosedur yang perlu ditempuh
dalam pelaksanaan syariat Islam dus juga tujuan Muhammadiyah. Pertama adalah
prosedur ilmiah, melalui proses rasionalisasi dan objektivikasi.
Muhammadiyah sejak awal tentunya sudah melakukan itu.
Kedua , kontekstualisasi budaya dan masyarakat, ini pun telah menjadi sesuatu
yang sama sekali tidak asing dan telah dilewati oleh Muhammadiyah. Ketiga ,
harus diperjuangkan secara demokratis. Dalam perjuangan demokratis tersebut,
tentu diperlukan perjuangan politik dan pembuktian-pembuktian secara empiris
dan teknis.
Berpolitik hanyalah sebuah alat, substansinya adalah
tujuan baldathun toyyibathun warobbun ghafur. Munculnya kesadaran teknokratis
memang bukanlah ide baru dalam Muhammadiyah tapi tetap harus dihadapi secara
arif dan bijaksana. Kemunculannya bisa saja melahirkan kader- kader baru yang
akan menjadi pendulum dan pendobrak peradaban atau melahirkan
generasi-generasi Muhammadiyah dan Islam yang malah melemahkan diri sendiri.
Karena walau bagaimanapun, kesadaran politis akan memaksa
dirinya untuk melakukan identifikasi kultural yang meniscayakan
multikulturalisme, karena akan lebih banyak bersentuhan dengan
golongangolongan lain yang juga memiliki kesadaran yang sama. Problem
identitas dan ideologi tentu saja harus segera diselesaikan Muhammadiyah,
karena bila tidak kesadaran politis hanya akan mengarah pada pragmatisme.
Sementara, bila pragmatisme menjadi motivasi utama, maka
tentu saja Muhammadiyah bukan saja kehilangan makna tapi juga kehilangan
legitimasi dan eksistensi. Dan oleh karena itu, sebagaimana kata Robert
Spencer, “Kemajuan spiritual dan material terikat secara dialektis, dan bahwa
interaksi seperti itu menjadi penggerak kemajuan peradaban” atau Islam
berkemajuan dalam bahasa Muhammadiyah saat ini.
Kesadaran politis, kesadaran ilmiah dan kesadaran historis
harus menjadi semacam triumvirat kesadaran; satu sisi saja hilang dari ide
gerakan Muhammadiyah maka praktis tidak lagi menjadi triumvirat; alih-alih
perubahan yang terbentuk malah kehancuran yang di ambang mata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar