Internasionalisasi Pendidikan Muhammadiyah
Abdul Mu’ti ;
Sekretaris PP Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 31 Juli 2015
Muhammadiyah adalah gerakan yang identik dengan
pendidikan. KH Ahmad Dahlan memulai gerakan pembaharuan Islam melalui
pendidikan.
Pertama, KH Ahmad Dahlan meletakkan model pendidikan agama
nonformal dengan memberikan ceramah agama sebelum rapat resmi Budi Utomo.
Kedua, mengajarkan Islam sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler Sekolah Guru
Yogyakarta dan Sekolah Pamong Praja (OSVIA) Magelang. Selain siswa muslim,
para siswa nonmuslim juga tertarik mengikuti studi Islam (Sudja, 2010).
Ketiga, mendirikan Madrasah QismulArqa di teras rumahnya di Kauman,
Yogyakarta.
Madrasah ini mengajarkan studi agama dan sains modern.
Pendidikan merupakan sarana perubahan sosial yang strategis. Prihatin melihat
segregasi sosial dan split personality yang kronis, KH Ahmad mengambil solusi
konstruktif melalui pendidikan. Menurut KH Ahmad Dahlan, pendidikan yang
dikotomis baik secara kurikuler maupun kelembagaan berkontribusi terhadap
lahirnya sekat-sekat sosial (Arifin, 1987). Sekolah ala Belanda tidak
mengajarkan agama sehingga alumninya awam, bahkan antiagama.
Pendidikan model pesantren yang mengharamkan sains modern
melahirkan ulama yang konservatif dan anti pada kemodernan. Secara kurikuler,
KH Ahmad Dahlan telah meletakkan dasar pendidikan dialogis, tidak memisahkan
studi agama dengan sains. Madrasah Qismul Arqa merupakan institusi pendidikan
baru yang menggabungkan sistem sekolah dan pesantren.
Mengajarkan agama di Budi Utomo, Kweekschool dan OSVIA
merupakan strategi kultural-struktural yang tepat. Mereka adalah kaum elite
yang dihormati dan berpengaruh dalam menggerakkan kaum alit.
Spirit dan Strategi Pembaharuan
Hal yang perlu dipetik oleh insan dan stakeholder
pendidikan adalah spirit pelayanan dan pembaharuan KH Ahmad Dahlan, bukan
formatnya. Dalam banyak hal, Pemerintah Indonesia mengadopsi sistem
pendidikan Muhammadiyah dalam sistem pendidikan nasional. Kementerian Agama
mendirikan madrasah yang di dalamnya diajarkan studi Islam dan sains modern.
Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama
merupakan mata pelajaran wajib yang diajarkan di semua jenjang dan jenis
pendidikan. Pendidikan agama bersifat confessional yang tidak hanya untuk
mengajarkan pengetahuan agama (learning
about religion), tetapi untuk menanamkan iman dan membentuk manusia yang
bertakwa (learning to be). Dikotomi
kelembagaan antara sekolah dan madrasah juga sudah terjadi ketika organisasi
Islam mendirikan sekolah Islam.
Secara administratif, sekolah di bawah pembinaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Secara kurikuler muatan kurikulumnya
sama dengan madrasah di bawah Kementerian Agama. Karena itu Muhammadiyah
harus berusaha menghidupkan spirit pembaharuan pendidikan.
Muhammadiyah dapat terjebak dalam tragedy of the common (Senge: 2012): pendidikan Muhammadiyah ciri
khas dan tidak memiliki keunggulan di atas yang lainnya. Dalam realitas
pendidikan sekarang ini Muhammadiyah masih menjadi institusi pendidikan yang
terbesar setelah pemerintah, tetapi tidak lagi menjadi yang terdepan dan
terbaik. Realitas tersebut harus menjadi kesadaran kolektif bagi para
punggawa pendidikan Muhammadiyah untuk terus melakukan pembaharuan
pendidikan.
Agar tetap bisa menjadi kiblat pembaharuan, fardhu ain bagi para pakar dan
praktisi pendidikan Muhammadiyah untuk terus-menerus mengembangkan model dan
sistem pendidikan yang khas dan genuine. Pengembangan pendidikan holistis
sebagai amanat Muktamar Ke-46 yang belum terumuskan dan terlaksana perlu
diagendakan secara khusus.
Internasionalisasi Pendidikan
Agenda lain yang perlu dilakukan adalah internasionalisasi
pendidikan Muhammadiyah. Banyak sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah
(PTM) yang bertaraf, memiliki reputasi, dan jaringan internasional. Dalam
lima tahun terakhir Muhammadiyah telah memberikan beasiswa kepada lebih dari
250 mahasiswa dari Thailand selatan untuk belajar di beberapa PTM.
Selain program beasiswa, banyak mahasiswa asing yang
menuntut ilmu di PTM. Para alumni PTM dapat menjadi pionir berdirinya
Muhammadiyah di luar negeri, juru bicara, atau agen pembaruan Muhammadiyah.
Program internasionalisasi dapat ditingkatkan di level pendidikan menengah
dan pesantren. Langkah internasionalisasi yang kedua adalah memperkuat dan
memperluas jaringan kerja sama dengan lembaga pendidikan luar negeri.
Beberapa universitas Muhammadiyah terkemuka khususnya
Malang, Yogyakarta, dan Surakarta memiliki joint program dan double degree
dengan perguruan tinggi ternama di USA, Australia, Inggris, Selandia Baru,
dan sebagainya. Sebagai PTM Pembina, UMS, UMM dan UMY bisa membuka jalan bagi
PTM lain. Terkait dengan internasionalisasi manhaj, model gerakan dan kultur
pembaharuannya, perlu dibuka Muhammadiyah corner di perguruan tinggi ternama
di negara-negara Barat dan Timur Tengah.
Pertama, menugaskan dosen dan intelektual Muhammadiyah
untuk mengajar di luar negeri. Kedua, menjadi sponsor para dosen dan peneliti
luar negeri untuk meneliti dan menulis buku tentang Muhammadiyah. Selain
James L Peacocok, Mitsuo Nakamura, Eunsook Jung, dan Greg Fealy belum banyak ahli
Muhammadiyah di level internasional.
Muhammadiyah telah menuliskan nama indah Islam dan
Indonesia melalui kegiatan kemanusiaan dan perdamaian. Islam dan Indonesia
semakin berkibar apabila Muhammadiyah mengepakkan sayap pendidikan di kancah
internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar