Mengharap Terobosan (Baru) NU dan Muhammadiyah
Taufiq R Abdullah ;
Anggota FPKB DPR RI;
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU
Periode 1999–2010
|
KORAN
SINDO, 01 Agustus 2015
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menggelar perhelatan tahunan pada waktu yang
hampir bersamaan. Muktamar Ke-33 NU digelar pada 1- 5 Agustus 2015 di
Jombang, Jawa Timur. Adapun Muktamar ke-47 Muhammadiyah digelar pada 3-6
Agustus 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan. Inilah peristiwa penting dalam
sejarah gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Publik Indonesia dan dunia
tentu menunggu keputusan dan terobosan yang akan diambil kedua organisasi
terbesar tersebut.
Dengan mengusung tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia”, tampaknya NU hendak menegaskan posisinya
sebagai elemen bangsa yang konsisten mengembangkan Islam yang bercorak
Indonesia yang moderat dan rahmatan lil alamin. Adapun Muhammadiyah dalam
muktamar ini mengusung tema “Gerakan Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan”.
Dengan tema ini Muhammadiyah seakan ingin menunjukkan
sebagai pionir gerakan Islam pembaruan yang penting dalam pembangunan di
Indonesia. Perhelatan dua organisasi tersebut mengandung makna penting bagi
perjalanan bangsa kita. Sebagaimana kita ketahui, Muhammadiyah dan NU adalah
dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang terlahir sebagai organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, peran keduanya
sangat penting mulai dari perintisan kemerdekaan dan revolusi Indonesia,
pembangunan nasional, proses reformasi politik, dan seluruh perubahan sosial
yang terjadi di hampir semua bidang. Dengan peran tersebut, keduanya merupakan
representasi civil society
(masyarakat sipil) yang penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Sebagai gerakan civil
society, perjalanan Muhammadiyah dan NU dalam sejarah Indonesia juga tak
lepas dari dialektika. Perjalanan panjang kedua organisasi Islam terbesar
ini, senantiasa diwarnai kooperasi dan kompetisi (fastaqul khoirot). Muhammadiyah dan NU memiliki romantisme masa
lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif.
Sebagai contoh, sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926
merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis meski
bukan satu-satunya alasan (Bruinessen,
1994). Dengan dialektika yang panjang dalam sejarah Indonesia itu,
Muhammadiyah dan NU menjadi aktor penting dalam perubahan politik dan gerakan
sosial di Tanah Air.
Karena itu, dapat dimengerti jika persaingan ini pada
akhirnya juga merambah ke dalam praksis gerakan. Menurut Pramono U Tanthowi,
paling tidak ada dua aspek yang membedakan konsep civil society dalam perspektif Muhammadiyah dan NU, yakni
motivasi dan pendekatan, sehingga pada akhirnya memengaruhi perbedaan hasil
akhir dan daya tahan masing-masing konstruksi civil society.
NU dan Muhammadiyah telah tampil menjadi kekuatan civil society yang penting dalam
sejarah kebangsaan dan kenegaraan kita. Dalam memainkan peran keumatan itu,
Muhammadiyah memang terkesan lebih praktis, sementara NU lebih tampak
idealis.
Meskipun dengan pilihan dan pendekatan yang berbeda, peran
kemasyarakatan yang dimainkan keduanya telah melengkapi dan memperkuat
pencapaian tujuan kemerdekaan dan cita-cita proklamasi. Bahwa untuk mengurus
bangsa yang besar ini negara tidak bisa sendirian, tetapi membutuhkan
partisipasi dan kontribusi kekuatan masyarakat sipil.
Tantangan dan Terobosan Baru
Dengan posisi yang sedemikian strategis, peran dan
kontribusinya harus terus diperkuat. Terlebih menghadapi tantangan kebangsaan
dan kenegaraan yang kian kompleks. Kini, setelah 17 tahun reformasi,
Indonesia masih dirundung berbagai masalah dan tantangan yang tidak ringan.
Tantangan itu antara lain berupa tingkat kemiskinan dan
pengangguran yang masih tinggi, khususnya di perdesaan, degradasi karakter
bangsa yang terus terjadi, tindakan intoleransi dan kekerasan yang masih
subur. Di sisi lain, kita juga menghadapi pelemahan kedaulatan bangsa kita di
berbagai bidang, terutama bidang ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam.
Di luar itu, kita juga dihadapkan pada tantangan eksternal
yang sangat mengerikan. Sebagai konsekuensi dari globalisasi, Indonesia masuk
dalam Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) dan ASEAN Community pada 2015
ini. Jika kita siap, pasar bebas akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk
menjadi negara maju.
Namun, jika tidak siap, hal itu akan menjadi bencana besar
karena Indonesia akan terlindas. Untuk itu agenda besar bangsa kita adalah
mempersiapkan masyarakat agar memiliki daya saing ekonomi dan sumber daya di kancah
regional dan global. Itu semua menjadi tantangan penuntasan agenda reformasi
dan pembangunan nasional yang hingga kini masih jauh panggang dari api.
Berbagai soal yang buntu dan lama tak terpecahkan (bottle neck) menjadi tantangan
pembangunan nasional kita. Dan, tentu, seluruh elemen bangsa ini harus
terlibat menyelesaikannya. Sebagai kekuatan civil society terpenting, NU dan
Muhammadiyah dituntut terlibat secara signifikan dalam menghadapi tantangan
kebangsaan di atas.
Di sinilah muktamar dua organisasi besar tersebut menemukan
momentumnya. Keputusan dan terobosan penting harus dihasilkan melalui
perhelatan muktamar kedua organisasi berpengaruh tersebut. Setidaknya ada
empat terobosan NU dan Muhammadiyah yang ditunggu masyarakat dan bangsa
Indonesia. Pertama, memperkuat peran organisasi dalam melakukan kaderisasi
calon pemimpin masa depan yang berkualitas dan visioner.
Dengan kaderisasi kepemimpinan baru yang dilahirkan oleh
NU-Muhammadiyah, dimungkinkan mereka akan dapat melakukan perubahan besar
negara kita. Kedua, meneguhkan visi kebangsaan dengan mempertegas arah
gerakan, baik dalam ideologi keagamaan maupun sikap kebangsaan.
Dengan penegasan itu NU dan Muhammadiyah harus menjadi
penyokong utama pembangunan kedaulatan bangsa, baik kedaulatan politik,
kedaulatan ekonomi maupun kedaulatan budaya. Penegakan kedaulatan ini
merupakan bentuk dari perjuangan perlawanan kolonialisme masa kini.
NU dan Muhammadiyah harus berani menjaga sumber daya alam
dan kedaulatan negara, termasuk ketergantungan ekonomi dengan bangsa asing.
Ketiga, meningkatkan peran- peran keumatan di berbagai bidang strategis. NU
dan Muhammadiyah harus terlibat lebih sistematis dalam pembangunan nasional
di berbagai bidang.
Di samping melanjutkan peran serta dalam pengembangan
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan, NU dan Muhamadiyah dituntut
untuk terlibat aktif dalam memperkuat karakter masyarakat dan generasi muda
serta membangun sumber daya manusia yang berdaya saing dalam pertarungan
global.
Keempat, NU dan Muhammadiyah juga harus segera memantapkan
rumusan pemikiran Islam moderat dan rahmatan lil alamin untuk dikampanyekan
dalam kancah pergaulan internasional. Ikhtiar ini diharapkan akan semakin
meningkatkan peran global keduanya,
terutama dalam memelopori perdamaian dunia dan pembentukan
tata dunia yang lebih adil. Barangkali dengan terobosan- terobosan strategis
inilah muktamar yang digelar dua organisasi besar ini akan bermakna, baik
untuk Indonesia maupun dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar