Selasa, 21 April 2015

Kontekstualisasi Warisan Pemikiran KAA

Kontekstualisasi Warisan Pemikiran KAA

Wildan Sena Utama  ; Mahasiswa Pascasarjana di Leiden University, Belanda; Menulis tesis tentang KAA
MEDIA INDONESIA, 18 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAHUN ini Indonesia memperingati 60 tahun perayaan Konferensi Asia Afrika (KAA) secara besar-besaran di Bandung dan Jakarta. Peringatan KAA penting dilakukan sebagai sebuah kontekstualisasi pemikiran bukan sekadar sebagai selebrasi atau romantika masa lalu.Peringatan terhadap KAA berarti menerapkan kembali ide-ide besar yang digaungkan para pemimpin Asia-Afrika di Bandung, 60 tahun yang lalu.

Konferensi Bandung 1955, atau yang lebih dikenal publik Indonesia sebagai Konferensi Asia Afrika, merupakan peristiwa monumental yang diingat masyarakat Indonesia sebagai sebuah momen yang menandakan peran aktif Indonesia sebagai salah satu aktor utama Dunia Ketiga pada periode 1950-an. 

Dalam sejarah dunia, untuk pertama kalinya negara-negara Asia dan Afrika, baru merdeka, setengah merdeka dan belum merdeka, berhasil dikumpulkan dalam satu meja untuk mendiskusikan isu-isu dunia di tengah berkecamuknya Perang Dingin.KAA merupakan suatu momen historis yang penting bagi dunia saat itu dan setelahnya karena dia memberikan visi alternatif melampaui pandangan dua blok besar yang bertikai saat itu. Kekuatan Dunia Ketiga pada waktu ini berkumpul untuk mempromosikan terciptanya tatanan dunia yang lebih adil, humanis, dan damai dengan melawan segala bentuk subjugasi neokolonialisme/ imperialisme dan menghargai hak asasi manusia segala bangsa. 

Kontekstualisasi pemikiran atau ide-ide yang dibawa dalam KAA penting untuk selalu didiskusikan kembali.

Latar belakang munculnya KAA tidak muncul sekadar sebagai respons dari Dunia Ketiga untuk menjadi penyeimbang dua kekuatan besar yang bertarung pada masa itu, Amerika Serikat dengan demokrasi liberal dan kapitalismenya dan Uni Soviet dengan totalitarian dan komunismenya. Ide-ide yang digaungkan para pemimpin Asia-Afrika seperti penentuan nasib sendiri, hak asasi manusia, dan perdamaian dunia sebetulnya telah berakar kuat dalam jaringan solidaritas gerakan antikoloniasme dan antiimperialisme Asia-Afrika yang telah terbentuk sejak awal abad ke-20 ketika negara-negara Asia-Afrika masih dikolonisasi Kerajaan Eropa. Persamaan nasib dari bangsa-bangsa yang tertindas oleh kekuatan imperial Eropa inilah yang mendorong terciptanya solidaritas dan terbentuknya secara gradual network gerakan antiimperialisme dan antikolonialisme global Asia-Afrika.

Dalam pidato pembukaan KAA di Bandung, berjudul `Let a New Asia Africa Be Born', Soekarno mengingatkan kembali peran penting Konferensi Liga Antiimperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussels 1927 sebagai sebuah fondasi terbentuknya aliansi solidaritas dari negara-negara Asia-Afrika. Pada konferensi itu, untuk pertama kalinya para tokoh pergerakan masa depan Asia-Afrika seperti Moh Hatta dari Indonesia dan Jawaharlal Nehru dari India mengadakan kontak pertama dan membicarakan isu-isu tentang imperialisme di negara masing-masing asal mereka. Dalam tulisannya di Indonesia Merdeka, majalah milik Perhimpunan Indonesia, Hatta mengatakan, “Belum pernah sebelumnya dunia mengadakan konferensi seperti yang pernah diadakan di sini (Brussels).“

Nehru sendiri begitu terpengaruh oleh konferensi itu. Dia mengatakan, “Brussels membantu dirinya untuk memahami problem-problem kolonial dan negara dependen.“ Kemudian dia mengakui Brussels memberikan inspirasi bahwa kontak `terhadap bermacam-macam gerakan antikolonial akan mendorong terciptanya pemahaman yang lebih baik terhadap problem dan kesulitan masing-masing serta akan mempererat hubungan yang akan membawa kesuksesan bagi semua'.

Di sinilah pertama kalinya dia mempunyai ide untuk membentuk sebuah `Federasi Asiatik'. Ide tentang terbentuknya federasi Asia dan jaringan yang sudah terjalin di antara negara-negara kolonial inilah yang memuluskan langkah Nehru untuk menyelenggarakan Asian Relations Conference di New Delhi pada 1947. Bagi para sejarawan, konferensi tersebut merupakan langkah penting pembangunan kerja sama negara-negara Asia yang nanti muncul kembali pada periode Perang Dingin di bawah nama Colombo Five yang merupakan inisiator di belakang penyelenggaraan KAA.

Relasi yang sudah terjalin di bawah payung pergerakan global antikolonialisme dan imperialisme memudahkan negara-negara Asia-Afrika untuk berkumpul kembali di Bandung mendiskusikan isu-isu yang begitu dekat dan diperjuangkan sejak mereka berada di bawah penindasan sistem imperialisme Eropa. Hasil KAA yang disebut sebagai Dasasila Bandung berisi pemikiran tentang penentuan nasib sendiri, hak asasi manusia, demokrasi, dan perdamaian dunia. Itulah manifestasi dari raison d'etre kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika.

Kontekstualisasi

Tahun ini di bawah konsepsi South-South Cooperation, Indonesia memperingati 60 tahun berlangsungnya KAA. Konsep South-South itu, atau yang sering disebut juga sebagai Global South atau Third World, sangat pas untuk merepresentasikan kekuatan baru dari negara-negara di belahan selatan dunia yang membawa pesan-pesan pemikiran dari KAA 60 tahun yang lalu. Semenjak terjadinya krisis ekonomi di Eropa dan Amerika serta naiknya kekuatan dunia baru di Selatan, seperti India, Tiongkok, dan Indonesia, keseimbangan geopolitik lama yang terbentuk pasca-Perang Dingin sudah begitu bergeser.

Itulah sebabnya sudah saatnya Global South mulai memainkan momentum peran aktif sebagai aktor baru dalam politik dunia.

Pada masa sekarang, pemikiran KAA bagi dunia masih sangat relevan. Peran aktif dari Global South inilah yang begitu ditunggu dalam menyelesaikan sejumlah permasalahan penting terkait dengan perdamaian dunia, seperti konfl ik Suriah, Yaman, dan Irak. Konsep perdamaian dunia yang digagas Dasasila Bandung dengan menolak segala bentuk peperangan masih terasa relevan hingga saat ini.

Terkait dengan penentuan nasib sendiri, peran dari Global South pun sangat penting untuk membantu kemerdekaan rakyat Palestina. Sampai sekarang kita masih melihat intervensi politik dan militer dari kekuatan Barat dan Timur dalam mencampuri urusan dalam negeri negara-negara Timur Tengah yang seharusnya berhak menentukan nasib mereka sendiri. Di samping itu, Indonesia tidak boleh melupakan problem internal sendiri terkait dengan isu-isu HAM. 
Sampai saat ini diskriminasi dan kekerasan masih saja terjadi terhadap etnik-etnik dan kelompok agama minoritas di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar