Kamis, 22 Januari 2015

Gerakan Mahasiswa : Antara Problema dan Harapan

Gerakan Mahasiswa : Antara Problema dan Harapan

Arjuna Putra Aldino  ;   Kepala divisi Lingkar Studi Pendidikan, Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Periode 2013-2014
INDOPROGRESS, 21 Januari 2015

                                                                                                                       


ERA 1990an mungkin adalah era dimana gerakan mahasiswa mulai menguat guna menentang rezim Orde Baru. Sebuah rezim diktatorial yang koruptif dan despotik. Gerakan mahasiswa mulai ambil peran dengan tuntutan pembentukan pemerintahan yang demokratis. Gerakan mahasiswa ini berpuncak pada Mei 1998, yang berujung jatuhnya kekuasaan Soeharto setelah selama 32 tahun berada di singasana. Sosok Soeharto digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie. Sebuah keanehan memang. Tuntutan perubahan yang sedemikian menguat hanya menghasilkan reformasi politik, bahkan hanya mengganti sosok individual.

Namun tak bisa diremehkan, tuntutan perubahan ini juga sejalan dengan agenda IMF dan World Bank, sebuah agenda ‘penyesuaian struktural’, proyek kelanjutan integrasi antara roda ekonomi nasional dengan pusaran perekenomian global yang semakin keras menuntut ladang yang bebas untuk bergerak. Program ini dikenal dengan program Structural Adjustment Programmes/SAPs. Program ini mengusung mekanisme pasar bebas, penghapusan proteksi dan subsidi, penurunan tarif dan swastanisasi berbagai prasarana sampai pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Kita kembali melihat keganjilan. Rezim Soeharto yang dulu digadang-gadang sebagai rezim yang didukung oleh modal multinasional, yang dulu dikenal sangat ramah dengan investasi asing, namun justru dituntut untuk mundur dari kursi hangatnya. Tak pelak lagi, alasannya bukan karena Orde Baru pelaksana Pancasila sejati dan bukan pula ia pemerintahan yang kerakyatan. Namun gelagat rezim Orde Baru tak lagi relevan dengan perkembangan zaman, tak lagi sesuai dengan kepentingan strategis para kaum modal multinasional.

Bagi kekuatan modal multinasional, dominasi militer secara langsung di negara-negara kolonial mengeluarkan biaya yang terlalu mahal. Kediktatoran menciptakan aparatus birokratis yang mahal dan masif, dan para ditaktor sendiri punya tendensi akan kronisme dan kemewahan yang mana hal ini memakan bagian kue yang harusnya bisa diperas oleh perusahaan-perusahaan multinasional dari negara-negara dimana rezim kediktatoran itu berkuasa, begitulah Trotsky menjelaskan. Sehingga model pemerintahan diktatorial sebagai kaki-tangan kapital global sudah tak lagi relevan dan tak lagi efisien.

Dan ini bukan rahasia. Di balik kediktatorannya, rezim Orde Baru membangun kroni bisnis pribadi dengan jalan perburuan rente. Para kroni ini mengendalikan birokrasi, mempengaruhi kebijakan sampai menyunat APBN untuk kepentingan bisnis pribadinya. Banyak kebijakan ekonomi yang dikeluarkan rezim Soeharto dengan menggunakan justifikasi ‘demi kepentingan nasional’, padahal kebijakan tersebut sejatinya hanya demi menguntungkan kelompok kroni bisnisnya. Ia bersifat dwimuka, satu muka berupa intervensi negara yang merkantilistik dan muka yang lain ialah kecenderungan untuk mengontrol ekonomi secara patrimonialistik. Para elit birokrasi memberikan modal, kontrak, konsesi dan kredit kepada pengusaha-pengusaha nasional tertentu. Pengusaha kroni ini beroperasi di bawah proteksi berbagai jaringan kekuasaan pemerintah. Mereka mempunyai patron dalam kelompok kekuasaan politik-birokrasi dan mereka sangat bergantung kepada konsesi dan monopoli yang diberikan pemerintah.

Hal inilah yang menyebabkan timbulnya distorsi dan inefisiensi dalam kehidupan ekonomi. Hal ini pula yang menyebabkan utang luar negeri swasta dalam skala nasional yang semula kecil tiba-tiba membengkak sejak 1990-an bahkan melebihi utang pemerintah. Perilaku para aktor inilah yang diduga sebagai penyebab krisis dan depresi ekonomi. Banyak investasi dan asset ditarik ke luar negeri sehingga ekonomi nasional nyaris lumpuh. Bertepatan dengani krisis 1998, modal multinasional menemukan momentum untuk merombak tata kelola pemerintahan yang dicemari kroni itu yang banyak merugikan dirinya. Tak lama, seruan untuk beralih ke dalam pemerintahan yang demokratis diteriakan.

Bagi kekuatan modal multinasional, demokrasi formal bisa diterima selagi tak mengancam kepentingan strategisnya. Baginya, demokrasi adalah cara pemerintahan yang paling ekonomis. Dan Soeharto harus menerima kejatuhannya. Efek terbesar dari jatuhnya Soeharto secara politik kemudian berdampak pada relasi bisnis di sekitarnya. Dengan itu, maka kekuatan ekonomi yang dulunya berada di bawah komandonya ikut tercerai-berai. Namun mereka tak lenyap begitu saja. Ia bermetamorfosa dengan tuntutan-tuntutan reformasi. Mereka berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan baru (demokrasi, desentralisasi, deregulasi) dan kini menunggangi atau memanipulasi proses reformasi politik yang sedang berlangsung demi kepentingan mereka sendiri

Sehingga proses demokratisasi yang berjalan hanya membawa perubahan-perubahan style yang dangkal, sementara ‘inti struktural’ dari sistem yang lama masih utuh dengan jalan merelokasi dan mereorganisisasi diri. Mereka tak hanya masih bercokol kuat, namun kini mereka semakin menguasai segenap infrastruktur politik yang ada di negeri ini. Bahkan mereka bergerak bebas melakukan perebutan sumber-sumber ekonomi ke daerah-daerah otonomi. Senada dengan analisa Jeffrey Winters, politik Indonesia menunjukkan bahwa setelah tahun 1998 secara kasatmata terjadi transisi politik dari model diktator ke demokrasi, akan tetapi di sisi lain yang tidak terlihat terjadi transisi dari oligarki jinak menjadi oligarki liar (tak terkendali).

Kekuatan kaum oligarkis ini mencengkeram seluruh aparatus di berbagai tingkat. Individu yang berkuasa secara ekonomi dan memiliki jaringan, lebih memiliki kekuatan daripada institusi legal. Hingga institusi formal kita yang bernama pemilu dan parlemen sebenarnya hanyalah instrumen ekonomi-politik dari para anggota oligarki ini. Mereka mengontrol proses politik dengan kekuatan kapital, sehingga demokrasi kita bermuara pada demokrasi uang. Dan pada praktiknya sebagian besar hanya mereka yang kaya saja (pemilik modal) yang dapat berkompetisi untuk memperoleh kursi kekuasaan. Inilah strategi kaum oligarki ini.

Oligarki adalah kelas yang sedang merampok negara dalam politik kita hari-hari ini. Ia merampok sumber daya ekonomi, sekaligus merampok sumber daya politik rakyat. Bahkan kini mereka mengendalikan media massa yang siap mengobok-obok kesadaran massa. Mereka menguasi media bukan hanya untuk sekedar urusan profit, namun untuk mempengaruhi kebijakan publik agar menguntungkan gerak langkah mereka. Melalui pembangunan opini, manipulasi citra sampai pemilihan dan framing arus berita yang ada, mereka mengerahkan kesadaran massa agar sesuai dengan kehendaknya. Begitu kuatnya cengkeraman oligarki ini di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga gerakan mahasiswa yang menegakan reformasi seperti tiada arti bahkan terkesan hanya menguntungkan segelintir elit. Rakyat masih menderita, terjepit oleh kebijakan-kebijakan yang tak adil, yang terus menerus hendak menjerumuskan dirinya ke lubang kemiskinan struktural. Dan gerakan mahasiswa kini pun tak menemukan bentuk bahkan mengalami berbagai krisis dan kehilangan orientasi.

Gerakan mahasiswa kini tak cukup kuat untuk menghadapi kekuatan politik lama di tengah situasi politik yang transaksional saat ini. Bentuk dan pola gerakan perlawanan yang tumbuh secara umum masih merupakan pengulangan bentuk dan pola gerakan sebelumnya, bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran. Ia mengarah ke aksi seporadis yang bersifat jangka pendek untuk merespons isu dan kasus sesaat, atau mengikuti isu dan kasus yang sedang hangat. Bahkan isu dan kasus banyak yang berhenti di tingkat aktivis saja, belum sampai ke tingkat basis/massa rakyat.

Gerakan mahasiswa pun sekarang terlihat semakin jauh dari problem-problem dasar yang ada di masyarakat. Gagal melakukan pendidikan politik dan propaganda sebagai upaya penyadaran sehingga setiap orang akan bergerak mengupayakan perubahan. Kini gerakan mahasiswa serasa tersengal-sengal dalam melakukan penataan gerak dan kerja agar seluruh jenis peran dan pekerjaan tertata secara kompak dan bersinergi. Demikian halnya peran dan kerja-kerja garis depan, yakni melakukan tekanan, lobi dan negosiasi, propaganda terhadap khalayak luas untuk penggalangan dukungan juga masih bersifat jangka pendek dan sektoral semata.

Krisis berbagai dimensi sekarang terjadi, termasuk krisis pengorganisasian dan sumber daya logistik sehingga memperkecil peluang mengefektifkan konsolidasi untuk memperluas baik area maupun cakupan gerakan. Tak ada kerja-kerja pendukung, seperti riset dan pembangunan perangkat-perangkat media agitatif. Sehingga ia tak berhasil menumbuhkan pengorganisasi yang andal yang memiliki kapasitas menumbuhkan dan mengembangkan pendidikan penyadaran dan menggerakkan massa. Kerja-kerja organisasi dan pendidikan kader tak miliki target dan capaian yang jelas. Seharusnya pengertian pendidikan dalam kerja pengorganisasian diperluas menjadi sebuah proses belajar yang diwujudkan dalam kerja-kerja politik yang nyata, terencana, serta jelas target dan hasilnya. Kejelasan target dan hasil kerja politik di tingkat mana pun sungguh penting, agar selalu dapat mengukur keberhasilan pengkaderan.

Penetapan target dan hasil yang realistis, dalam artian bisa dijalankan dan berhasil, sungguh berarti bagi gerakan mahasiswa, terutama yang langsung melibatkan basis massa-rakyat. Hal ini penting untuk menjaga terus semangat, sehingga tak dihantui oleh rasa frustrasi dan pesimistis. Pada titik ini, perencanaan bersama untuk menetapkan target dan hasil dalam kerja pengorganisasian sungguhlah penting. Dan gerakan mahasiswa harus segera berbenah diri. Ia harus segera melakukan proses reorganisasi dan reposisi untuk menyambut perubahan-perubahan alam politik yang cepat baik di tingkat nasional maupun global.

Dan gerakan mahasiswa tak boleh menjauh dari masyarakat. Syahrir pernah berkata dalam pamfletnya yang berjudul ‘Perjuangan Kita':

bahwa saat kaum muda ini meluaskan pandangannya kepada dasar-dasar masyarakat telah tiba, dan pada itu ia harus mengerti, bahwa tenaga perjuangan tidak berpusat di antara angkatan muda, akan tetapi pada rakyat banyak, terutama pada kaum buruh yang tersusun serta mempunyai kesadaran yang tajam, pengertian tentang perjuangan buruh di dunia umum. Jika pemuda-pemudi kita mengerti hal ini, ia tahu bahwa kedudukannya ada sebagai pahlawan kaum buruh dan kaum tani. Nyata bahwa anggapan, yang angkatan muda harus memimpin perjuangan kemerdekaan kita, suatu kekeliruan yang akan dapat merusakan perjuangan kita.

Masihkah ada harapan bagi gerakan mahasiswa untuk kembali memainkan perannya? Mungkinkah masih bisa diyakini gerakan mahasiswa sebagai sang penyelamat? Benarkah mahasiswa adalah agent of change? Ataukah gerakan mahasiswa tak lebih sekedar kelompok penekan?

Kerja-kerja kecil yang berarti harus segera diraih. Tantangan semakin berat jika kita tak terus menerus berjalan, mencerna, dan refleksi diri. Mungkin kita perlu menengok kembali formasi sosial di dalam kehidupan masyarakat kita dan perlu pula meneropong perkembangan pergaulan dunia. Sehingga kita mampu memposisikan gerakan mahasiswa sebagaimana mestinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar