Gerakan
Mahasiswa : Antara Problema dan Harapan
Arjuna Putra Aldino ; Kepala divisi Lingkar Studi Pendidikan, Badan
Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Periode 2013-2014
|
INDOPROGRESS,
21 Januari 2015
ERA 1990an
mungkin adalah era dimana gerakan mahasiswa mulai menguat guna menentang
rezim Orde Baru. Sebuah rezim diktatorial yang koruptif dan despotik. Gerakan
mahasiswa mulai ambil peran dengan tuntutan pembentukan pemerintahan yang
demokratis. Gerakan mahasiswa ini berpuncak pada Mei 1998, yang berujung
jatuhnya kekuasaan Soeharto setelah selama 32 tahun berada di singasana.
Sosok Soeharto digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie. Sebuah keanehan memang.
Tuntutan perubahan yang sedemikian menguat hanya menghasilkan reformasi
politik, bahkan hanya mengganti sosok individual.
Namun tak
bisa diremehkan, tuntutan perubahan ini juga sejalan dengan agenda IMF dan
World Bank, sebuah agenda ‘penyesuaian struktural’, proyek kelanjutan
integrasi antara roda ekonomi nasional dengan pusaran perekenomian global
yang semakin keras menuntut ladang yang bebas untuk bergerak. Program ini
dikenal dengan program Structural Adjustment Programmes/SAPs. Program ini
mengusung mekanisme pasar bebas, penghapusan proteksi dan subsidi, penurunan
tarif dan swastanisasi berbagai prasarana sampai pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN).
Kita kembali
melihat keganjilan. Rezim Soeharto yang dulu digadang-gadang sebagai rezim
yang didukung oleh modal multinasional, yang dulu dikenal sangat ramah dengan
investasi asing, namun justru dituntut untuk mundur dari kursi hangatnya. Tak
pelak lagi, alasannya bukan karena Orde Baru pelaksana Pancasila sejati dan
bukan pula ia pemerintahan yang kerakyatan. Namun gelagat rezim Orde Baru tak
lagi relevan dengan perkembangan zaman, tak lagi sesuai dengan kepentingan
strategis para kaum modal multinasional.
Bagi kekuatan
modal multinasional, dominasi militer secara langsung di negara-negara
kolonial mengeluarkan biaya yang terlalu mahal. Kediktatoran menciptakan
aparatus birokratis yang mahal dan masif, dan para ditaktor sendiri punya
tendensi akan kronisme dan kemewahan yang mana hal ini memakan bagian kue
yang harusnya bisa diperas oleh perusahaan-perusahaan multinasional dari
negara-negara dimana rezim kediktatoran itu berkuasa, begitulah Trotsky
menjelaskan. Sehingga model pemerintahan diktatorial sebagai kaki-tangan
kapital global sudah tak lagi relevan dan tak lagi efisien.
Dan ini bukan
rahasia. Di balik kediktatorannya, rezim Orde Baru membangun kroni bisnis
pribadi dengan jalan perburuan rente. Para kroni ini mengendalikan birokrasi,
mempengaruhi kebijakan sampai menyunat APBN untuk kepentingan bisnis
pribadinya. Banyak kebijakan ekonomi yang dikeluarkan rezim Soeharto dengan
menggunakan justifikasi ‘demi kepentingan nasional’, padahal kebijakan
tersebut sejatinya hanya demi menguntungkan kelompok kroni bisnisnya. Ia
bersifat dwimuka, satu muka berupa intervensi negara yang merkantilistik dan
muka yang lain ialah kecenderungan untuk mengontrol ekonomi secara
patrimonialistik. Para elit birokrasi memberikan modal, kontrak, konsesi dan
kredit kepada pengusaha-pengusaha nasional tertentu. Pengusaha kroni ini
beroperasi di bawah proteksi berbagai jaringan kekuasaan pemerintah. Mereka
mempunyai patron dalam kelompok kekuasaan politik-birokrasi dan mereka sangat
bergantung kepada konsesi dan monopoli yang diberikan pemerintah.
Hal inilah
yang menyebabkan timbulnya distorsi dan inefisiensi dalam kehidupan ekonomi.
Hal ini pula yang menyebabkan utang luar negeri swasta dalam skala nasional
yang semula kecil tiba-tiba membengkak sejak 1990-an bahkan melebihi utang
pemerintah. Perilaku para aktor inilah yang diduga sebagai penyebab krisis
dan depresi ekonomi. Banyak investasi dan asset ditarik ke luar negeri
sehingga ekonomi nasional nyaris lumpuh. Bertepatan dengani krisis 1998,
modal multinasional menemukan momentum untuk merombak tata kelola
pemerintahan yang dicemari kroni itu yang banyak merugikan dirinya. Tak lama,
seruan untuk beralih ke dalam pemerintahan yang demokratis diteriakan.
Bagi kekuatan
modal multinasional, demokrasi formal bisa diterima selagi tak mengancam
kepentingan strategisnya. Baginya, demokrasi adalah cara pemerintahan yang
paling ekonomis. Dan Soeharto harus menerima kejatuhannya. Efek terbesar dari
jatuhnya Soeharto secara politik kemudian berdampak pada relasi bisnis di
sekitarnya. Dengan itu, maka kekuatan ekonomi yang dulunya berada di bawah
komandonya ikut tercerai-berai. Namun mereka tak lenyap begitu saja. Ia
bermetamorfosa dengan tuntutan-tuntutan reformasi. Mereka berhasil
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru (demokrasi, desentralisasi,
deregulasi) dan kini menunggangi atau memanipulasi proses reformasi politik
yang sedang berlangsung demi kepentingan mereka sendiri
Sehingga
proses demokratisasi yang berjalan hanya membawa perubahan-perubahan style
yang dangkal, sementara ‘inti struktural’ dari sistem yang lama masih utuh
dengan jalan merelokasi dan mereorganisisasi diri. Mereka tak hanya masih
bercokol kuat, namun kini mereka semakin menguasai segenap infrastruktur
politik yang ada di negeri ini. Bahkan mereka bergerak bebas melakukan
perebutan sumber-sumber ekonomi ke daerah-daerah otonomi. Senada dengan
analisa Jeffrey Winters, politik Indonesia menunjukkan bahwa setelah tahun
1998 secara kasatmata terjadi transisi politik dari model diktator ke
demokrasi, akan tetapi di sisi lain yang tidak terlihat terjadi transisi dari
oligarki jinak menjadi oligarki liar (tak terkendali).
Kekuatan kaum
oligarkis ini mencengkeram seluruh aparatus di berbagai tingkat. Individu
yang berkuasa secara ekonomi dan memiliki jaringan, lebih memiliki kekuatan
daripada institusi legal. Hingga institusi formal kita yang bernama pemilu
dan parlemen sebenarnya hanyalah instrumen ekonomi-politik dari para anggota
oligarki ini. Mereka mengontrol proses politik dengan kekuatan kapital,
sehingga demokrasi kita bermuara pada demokrasi uang. Dan pada praktiknya
sebagian besar hanya mereka yang kaya saja (pemilik modal) yang dapat
berkompetisi untuk memperoleh kursi kekuasaan. Inilah strategi kaum oligarki
ini.
Oligarki
adalah kelas yang sedang merampok negara dalam politik kita hari-hari ini. Ia
merampok sumber daya ekonomi, sekaligus merampok sumber daya politik rakyat.
Bahkan kini mereka mengendalikan media massa yang siap mengobok-obok
kesadaran massa. Mereka menguasi media bukan hanya untuk sekedar urusan
profit, namun untuk mempengaruhi kebijakan publik agar menguntungkan gerak
langkah mereka. Melalui pembangunan opini, manipulasi citra sampai pemilihan
dan framing arus berita yang ada, mereka mengerahkan kesadaran massa agar
sesuai dengan kehendaknya. Begitu kuatnya cengkeraman oligarki ini di dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga gerakan mahasiswa yang menegakan reformasi
seperti tiada arti bahkan terkesan hanya menguntungkan segelintir elit.
Rakyat masih menderita, terjepit oleh kebijakan-kebijakan yang tak adil, yang
terus menerus hendak menjerumuskan dirinya ke lubang kemiskinan struktural.
Dan gerakan mahasiswa kini pun tak menemukan bentuk bahkan mengalami berbagai
krisis dan kehilangan orientasi.
Gerakan
mahasiswa kini tak cukup kuat untuk menghadapi kekuatan politik lama di
tengah situasi politik yang transaksional saat ini. Bentuk dan pola gerakan
perlawanan yang tumbuh secara umum masih merupakan pengulangan bentuk dan
pola gerakan sebelumnya, bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran. Ia
mengarah ke aksi seporadis yang bersifat jangka pendek untuk merespons isu
dan kasus sesaat, atau mengikuti isu dan kasus yang sedang hangat. Bahkan isu
dan kasus banyak yang berhenti di tingkat aktivis saja, belum sampai ke
tingkat basis/massa rakyat.
Gerakan
mahasiswa pun sekarang terlihat semakin jauh dari problem-problem dasar yang
ada di masyarakat. Gagal melakukan pendidikan politik dan propaganda sebagai
upaya penyadaran sehingga setiap orang akan bergerak mengupayakan perubahan.
Kini gerakan mahasiswa serasa tersengal-sengal dalam melakukan penataan gerak
dan kerja agar seluruh jenis peran dan pekerjaan tertata secara kompak dan
bersinergi. Demikian halnya peran dan kerja-kerja garis depan, yakni
melakukan tekanan, lobi dan negosiasi, propaganda terhadap khalayak luas
untuk penggalangan dukungan juga masih bersifat jangka pendek dan sektoral
semata.
Krisis
berbagai dimensi sekarang terjadi, termasuk krisis pengorganisasian dan
sumber daya logistik sehingga memperkecil peluang mengefektifkan konsolidasi
untuk memperluas baik area maupun cakupan gerakan. Tak ada kerja-kerja
pendukung, seperti riset dan pembangunan perangkat-perangkat media agitatif.
Sehingga ia tak berhasil menumbuhkan pengorganisasi yang andal yang memiliki
kapasitas menumbuhkan dan mengembangkan pendidikan penyadaran dan
menggerakkan massa. Kerja-kerja organisasi dan pendidikan kader tak miliki
target dan capaian yang jelas. Seharusnya pengertian pendidikan dalam kerja
pengorganisasian diperluas menjadi sebuah proses belajar yang diwujudkan
dalam kerja-kerja politik yang nyata, terencana, serta jelas target dan
hasilnya. Kejelasan target dan hasil kerja politik di tingkat mana pun sungguh
penting, agar selalu dapat mengukur keberhasilan pengkaderan.
Penetapan
target dan hasil yang realistis, dalam artian bisa dijalankan dan berhasil,
sungguh berarti bagi gerakan mahasiswa, terutama yang langsung melibatkan
basis massa-rakyat. Hal ini penting untuk menjaga terus semangat, sehingga
tak dihantui oleh rasa frustrasi dan pesimistis. Pada titik ini, perencanaan
bersama untuk menetapkan target dan hasil dalam kerja pengorganisasian
sungguhlah penting. Dan gerakan mahasiswa harus segera berbenah diri. Ia
harus segera melakukan proses reorganisasi dan reposisi untuk menyambut
perubahan-perubahan alam politik yang cepat baik di tingkat nasional maupun
global.
Dan gerakan
mahasiswa tak boleh menjauh dari masyarakat. Syahrir pernah berkata dalam
pamfletnya yang berjudul ‘Perjuangan Kita':
bahwa saat
kaum muda ini meluaskan pandangannya kepada dasar-dasar masyarakat telah
tiba, dan pada itu ia harus mengerti, bahwa tenaga perjuangan tidak berpusat
di antara angkatan muda, akan tetapi pada rakyat banyak, terutama pada kaum
buruh yang tersusun serta mempunyai kesadaran yang tajam, pengertian tentang
perjuangan buruh di dunia umum. Jika pemuda-pemudi kita mengerti hal ini, ia
tahu bahwa kedudukannya ada sebagai pahlawan kaum buruh dan kaum tani. Nyata
bahwa anggapan, yang angkatan muda harus memimpin perjuangan kemerdekaan
kita, suatu kekeliruan yang akan dapat merusakan perjuangan kita.
Masihkah ada
harapan bagi gerakan mahasiswa untuk kembali memainkan perannya? Mungkinkah
masih bisa diyakini gerakan mahasiswa sebagai sang penyelamat? Benarkah
mahasiswa adalah agent of change?
Ataukah gerakan mahasiswa tak lebih sekedar kelompok penekan?
Kerja-kerja
kecil yang berarti harus segera diraih. Tantangan semakin berat jika kita tak
terus menerus berjalan, mencerna, dan refleksi diri. Mungkin kita perlu
menengok kembali formasi sosial di dalam kehidupan masyarakat kita dan perlu
pula meneropong perkembangan pergaulan dunia. Sehingga kita mampu
memposisikan gerakan mahasiswa sebagaimana mestinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar