Kamis, 22 Januari 2015

Jokowi di Simpang Jalan

Jokowi di Simpang Jalan

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
KORAN TEMPO, 21 Januari 2015

                                                                                                                       


Tidak ada makan siang yang gratis. Ini ungkapan populer di Barat. Kalau di sini, yang populer sekarang adalah "tak ada kandidat presiden yang gratis".

Siapa yang disindir? Tentu Joko Widodo, presiden ketujuh negeri ini. Ia menjadi calon presiden dalam pemilu pada tahun lalu karena ditunjuk oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Padahal Jokowi-begitu nama presiden ini disingkat-bukan kader yang menjadi pengurus pusat PDIP. Bahkan, ia belum pernah menjadi anggota DPR. Ia menelikung sejumlah kader partai, termasuk Megawati sendiri. Kongres PDIP sudah menetapkan bahwa calon presiden hanya bisa keluar dari saku Megawati, dan banyak orang menduga ia sendirilah yang bakal maju. Ternyata Mega menyerahkan prospek tersebut kepada Jokowi.

Memang betul Jokowi berhasil merangkul banyak relawan. Tanpa dukungan relawan, sulit Jokowi menang. Namun, tanpa tiket dari partai politik, tak ada orang sehebat apa pun di negeri ini yang bisa menjadi calon presiden. Sebab, calon presiden independen tak dibolehkan undang-undang.

Jokowi memang beruntung. Namun tidak ada yang gratis. Ia harus membayarnya. Bukan hanya kepada PDI Perjuangan, tapi juga kepada partai politik yang berkoalisi dengan PDIP. Dengan cara apa Jokowi membayar? Sudah pasti dengan barter jabatan, baik suka maupun tak suka, diakui maupun tidak.

Jadi, sesungguhnya Jokowi tak bisa berjalan secara independen. Hak prerogatif presiden hanya ada dalam kata-kata formal. Cara Jokowi menunjuk menteri jelas merupakan upaya membayar utang. Puan Maharani, anak Megawati, menjadi salah satu menteri koordinator. Tentu sulit dibantah bahwa sejatinya Jokowi memang "tak bisa membantah". Repotnya lagi, Jokowi tak punya basis di partai mana pun. Ia juga harus membayar utang kepada partai-partai koalisi. Tong kosong berbunyi nyaring kalau Jokowi mengatakan menteri yang ia angkat jauh dari urusan transaksional, apalagi tanpa syarat.

Sepanjang orang yang diangkat tak tercela, publik masih bisa bertenggang rasa sambil berharap mudah-mudahan kinerjanya baik. Namun tidak demikian ketika Jokowi mengajukan calon Kepala Polri ke DPR. Komisaris Jenderal Budi Gunawan sudah diketahui secara umum punya kasus rekening gendut. Budi Gunawan adalah mantan ajudan Megawati, dan tak seujung kuku pun orang bisa percaya bahwa ia bukan titipan Megawati. Hal ini bisa dilihat dari ngototnya Megawati dan kader-kader PDI Perjuangan membela Budi Gunawan, bahkan ketika Budi sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jokowi membatalkan pelantikannya, meski DPR tetap setuju.

Jokowi berada di simpang jalan. Melantik Budi Gunawan berarti menghina korps polisi. Seorang Kapolri aktif kelak akan mengenakan baju oranye KPK. Relawan Jokowi pun pasti meradang. Jika Budi tidak dilantik, Jokowi bakal terus digoyang DPR, baik oleh koalisi PDIP yang mendukungnya maupun koalisi Gerindra yang beroposisi. Sebagai jawaban atas dua pilihan sulit itu, Jokowi menunjuk Wakil Kapolri sebagai pelaksana tugas Kapolri, padahal Kapolri-nya tidak ada. Bagaimana mungkin pejabat yang belum dilantik tiba-tiba "dianggap bermasalah" sehingga harus digantikan oleh pelaksana tugas?

Ke mana menteri-menteri politik dan hukum Jokowi? Tak ada tanda-tanda mereka menyarankan agar Jokowi menarik pencalonan Budi Gunawan begitu KPK memberikan status tersangka. Para menteri itu terjebak dalam pilihan membela partai atau menyelamatkan Jokowi. Dengan kondisi ini, Jokowi lebih baik mulai menata basis politik yang riil. Sulit memang, tapi boleh dicoba dengan kesabaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar