Target
Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak
Dina Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 08 Oktober 2014
Umumnya isu peningkatan kesehatan ibu dan anak dianggap sebagai urusan
praktisi dan ahli di bidang medis dan layanan kesehatan publik. Pandangan itu
keliru karena penanganan mutu layanan ibu dan anak telah menjadi sorotan
perhatian para praktisi diplomasi dan politik.
Hal ini terutama karena target perbaikan layanan kesehatan ibu dan anak
merupakan bagian dari komitmen negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa(PBB) dalam Millennium Development Goals (MDGs).
MDGsadalahbentukperhatiandan upaya saling bantu antarnegara dan dengan
mitranya dalam berbagai hal. Di antaranya mengurangi dan menangani problem
kemiskinan dan kelaparan, kurangnya akses pendidikan dasar, ketidakberdayaan
perempuan, kematian dan kurangnya tingkat kesehatan ibu anak, problem HIV/AIDS,
malaria dan penyakit lain, serta perbaikan lingkungan hidup.
Waktu dicanangkan pada tahun 2002, MDGs ditargetkan untuk tercapai pada
2015. Hasilnya, meskipun ada target MDGs yang relatif tercapai seperti
pengurangan angka kemiskinan, secara umum ada kesenjangan antarnegara dalam
pencapaian target. Selain itu, ada lebih banyak negara yang gagal memenuhi
target, termasuk Indonesia. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia
menunjukkan angka kematian ibu meningkat sejak 2007, dari 228 per 100.000 kelahiran
menjadi 359 per 100.000 kelahiran di tahun 2012.
Untuk angka kematian anak, survei 2012 menunjukkan kematian anak di
bawah usia 5 tahun per 100.000 kelahiran hidup turun menjadi 40, tetapi ini
masih lebih tinggi dari target 32 per 100.000 kelahiran hidup atau target
MDGs 23 per 100.000 kelahiran hidup. Tambahan lagi, laporan Riskesdas 2013
dari Kementerian Kesehatan menunjukkan kasus kurang gizi pada balita
tergolong tinggi (lebih dari 30%) di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua
Barat.
Selain itu, ternyata ada banyak balita Indonesia mengalami gangguan
pertumbuhan badan sehingga lebih pendek dari tinggi badan seharusnya
(stunting), bahkan mencapai 50% di NTT. Data tersebut sangat memprihatinkan
karena ternyata akar masalahnya bukan semata urusan medis. Ada persoalan
sosial dan politik yang patut mendapatkanperhatiankhusus. Pertama, kalau saja
penduduk Indonesia punya akses yang sama dalam hal layanan kesehatan yang
bermutu, dengan tenaga kerja medis yang andal dan memadai dari segi jumlah
serta sebaran, situasi Indonesia akan lebih baik.
Hal ini terkait dengan data bahwa problem utama kematian ibu melahirkan
di Indonesia ternyata adalah pendarahan pascamelahirkan, pre-eclampsia, dan
infeksi. Sejumlah studi tentang hal ini menunjukkan komplikasi semacam itu
sesungguhnya dapat terdeteksi selama masa kehamilan bila tenaga medisnya
terlatih untuk mengenali masalah sedini mungkin dan mengantisipasinya dengan
baik. Untuk kematian balita, jika bayi dan ibu punya akses informasi dan
layanan memadai pascakelahiran, sejumlah kasus infeksi dan gangguan kesehatan
dapat dihindari.
Kedua, kalau saja penduduk Indonesia punya akses yang sama terkait
gizi, tak perlu ada kasus anemia dan pendarahan pada ibu atau anak-anak yang
rentan penyakit dan mengalami stunting. Hal ini menyangkut kebijakan pangan
serta pendidikan/penyuluhan dan lapangan kerja bagi orang tuanya. Ketiga,
kalau saja semua penduduk Indonesia punya akses yang sama pada air bersih dan
sarana sanitasi serta kesehatan lingkungan, sejumlah penyakit dan kematian
akibat infeksi dapat terhindari. Ketiga persoalan tadi tidak bisa semata
disikapi praktisi kesehatan.
Sebab ketersediaan akses kesehatan, tenaga medis, sarana air bersih dan
sanitasi, serta gizi adalah dampak dari bentuk kebijakan pemerintah, yakni
terkait penyediaan jaminan sosial, kecukupan alokasi dana untuk kegiatan
promotif preventif dalam anggaran belanja kesehatan, serta bentuk insentif
bagi pemerintah daerah dan swasta untuk merespons perkembangan permintaan
(demand) dari masyarakat. Di tataran diplomasi, patut disadari pula ada
desakan dari negara-negara tetangga melalui kerja sama ASEAN untuk
mengembangkan program layanan kesehatan lintas batas negara. Para tenaga
medis dari negara-negara tetangga bisa memberikan layanan bagi pasien di Indonesia.
Dalam kerangka integrasi kawasan untuk membentuk Masyarakat Ekonomi
ASEAN, sektor industri kesehatan termasuk dalam sektor yang diprioritaskan
untuk didahulukan integrasinya sebelum tahun 2015. Untuk itu sedang didorong
harmonisasi standar layanan kesehatan, model registrasi, evaluasi, dan
monitoring, serta dibukanya sejumlah kesepakatan rekrutmen tenaga medis dari
negara tetangga. Artinya problem di Indonesia telah menjadi peluang bagi
negara-negara lain untuk menawarkan jasanya dalam memperbaiki situasi.
Padahal seperti tadi sudah disampaikan, akar masalahnya justru di dalam
negeri, yakni pada kelambanan mengembangkan sistem jaminan sosial,
memperbaiki akses gizi bagi ibu dan anak, serta sarana air bersih dan
sanitasi. Dalam satu penelitian saya bersama dua ekonom, Faisal Basri dan
Gatot Arya Putra, ditemukan selama periode 10 tahun terakhir tidak terjadi
perbedaan kebijakan terkait kesehatan dibandingkan periode kepresidenan
terdahulu. Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan tidak bertambah. Akibatnya,
ruang gerak untuk perbaikan layanan sangatlah terbatas.
Meskipun ada peningkatan jumlah imunisasi, peningkatan tersebut lebih
rendah dibandingkan masa-masa terdahulu. Dalam pengamatan saya, pemerintah
pusat gagal membangun kerja sama dengan pemerintah daerah dalam mendesakkan
efektivitas sejumlah program, khususnya terkait akses infrastruktur dan
fasilitas kesehatan. Akibatnya, otonomi daerah kerap dijadikan alasan bagi
keduanya untuk menerima saja kurang optimalnya layanan kesehatan primer.
Padahal masih banyak kecamatan di Indonesia yang tidak punya pus-kesmas dan
kalaupun ada, tenaga medis dan alat-alat kesehatannya jauh dari lengkap.
Dari sana dapat disimpulkan peningkatan kesehatan ibu dan anak di
Indonesia sangatlah tergantung pada komitmen pemerintah. Semoga dorongan dari
negara-negara tetangga, baik yang ingin menarik pasien Indonesia untuk
berobat ke negaranya ataupun yang ingin menempatkan tenaga medisnya di klinik
dan rumah sakit di Indonesia, membuka mata pemerintah di segala tingkatan
bahwa kita tak punya banyak waktu untuk membenahi layanan kesehatan di
Indonesia. Semoga pembenahan itu menjadi prioritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar