Robohnya
Kakbah Kami
Faisal Ismail ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 08 Oktober 2014
Pada tahun 1973, pemerintah Orde Baru (Orba) melakukan restrukturisasi
politik yang menghasilkan tiga kekuatan sosial politik, yaitu PPP (Partai
Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia; dalam
perkembangannya PDI ditransformasi menjadi PDIP), dan Golkar (Golongan
Karya).
Khusus tentang PPP, partai ini secara resmi didirikan pada 5 Januari
1973 dan merupakan fusi dari empat partai Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ulama
(NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti),
dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Sebagai partai penyalur aspirasi
umat Islam, PPP memakai lambang Kakbah. Gambar Kakbah dipilih sebagai lambang
PPP atas saran dan usul Kiai Bisri Samsuri yang merupakan kiai senior dan
tokoh penting dalam partai itu.
Sebelum mengusulkan gambar Kakbah sebagai lambang PPP, Kiai Bisri
melakukan salat istikharah , memohon petunjuk kepada Allah untuk memilih
lambang yang cocok bagi PPP. Sebagai hasilnya, Kiai Bisri mengusulkan gambar
Kakbah sebagai lambang PPP dan usul ini disetujui oleh jajaran pimpinan PPP.
Pada 19 Februari 1985, Presiden Soeharto–dengan persetujuan DPR–mengeluarkan
Undang-Undang No 3/1985 yang isinya menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal
bagi partai-partai politik dan Golkar.
Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai pengganti Undang-Undang No 3/1975
(dikeluarkan pada 27 Agustus 1975) yang menyatakan bahwa partai-partai
politik dan Golkar tetap diperbolehkan memakai asas khusus di samping asas
Pancasila. Dengan diberlakukannya UU No 3/1985, semua kekuatan sosial politik
(Golkar, PDI, dan PPP) harus memakai Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Menindaklanjuti kebijakan pemerintah, PPP mengganti asas Islam dengan asas
Pancasila dan juga mengganti lambang Kakbah dengan lambang Bintang. Menyusul
runtuhnya rezim Orba pada 1998 dan munculnya Era Reformasi, PPP kembali
memakai Islam sebagai asasnya dan Kakbah sebagai lambangnya.
Pergolakan
Internal
Di era rezim Orba (1966- 1998), keberadaan PPP (dan PDIP) tak ubahnya
hanya sebagai pelengkap penderita. Sepanjang sejarah Orba, baik PPP maupun
PDIP tidak pernah satu kali pun memenangi pemilu dan perolehan kedua partai
tersebut sangat jauh tertinggal dari Golkar (mesin politik rezim Orba yang
sangat efektif). Melalui Opsus (Operasi Khusus) pimpinan Ali Moertopo, rezim
Orba sering kali melakukan intervensi ke dalam urusan internal PPP dan PDIP,
terutama ketika kedua partai itu hendak melakukan pemilihan pemimpin di arena
muktamar atau kongres.
Caloncalon pemimpin PPP dan PDIP yang vokal dan kritis terhadap rezim
Orba, mereka pasti terdepak dan bisa jadi karier politik mereka tidak
berkembang lagi. Rezim Orba merekayasa pemilihan sehingga terpilih sosok
pemimpin partai yang berpenampilan ”yes-men” terhadap sang rezim. Di bawah
panji-panji dan jargon ”demokrasi Pancasila,” rezim Orba mengintervensi
urusan internal PPP dan PDIP dan praktis kedua partai ini dibonsai dan
dipecundangi dalam setiap Pemilu. Akan halnya PPP, partai ini di era rezim
Orba tidak sepi dari pergolakan internal. Ada beberapa faktor penyebabnya.
Pertama, fusi yang tidak tuntas.
Terutama unsur Muslimin Indonesia (MI) dan unsur NU sulit melakukan
fusi secara tuntas yang disebabkan oleh visi, misi, tradisi, kultur, dan
teologi politik yang tidak sama antara keduanya. Kedua, persaingan dalam
memperebutkan kepemimpinan. Hal ini memanas dan meruncing ketika rezim Orba
(melalui Opsus-nya) ikut campur tangan dan melakukan intervensi dalam
pemilihan pimpinan partai. Rezim Orba merestui para pemimpin yang tidak vokal
dan tidak kritis terhadap kebijakan sang rezim.
Jajaran pimpinan partai yang direstui dan diakui itu disahkan oleh
rezim Orba dengan cara mengeluarkan SK (surat keputusan) yang ditandatangani
oleh presiden. Ketiga, kepentingan politik terutama antara unsur MI dan unsur
NU. Ini dapat dilihat ketika J Naro (ketua umum PPP saat itu) mencoret
sejumlah nama calon legislatif (caleg) dari unsur NU yang dinilai sangat
vokal dan kritis terhadap penguasa rezim Orba. KH Saifuddin Zuhri adalah
salah seorang tokoh dari unsur NU yang namanya dicoret oleh Naro dari daftar
caleg ketika itu.
Robohnya
(Partai) Kakbah
Konflik di tubuh PPP memanas lagi menjelang Pemilu 2014. Suryadharma
Ali (SDA), ketua umum DPP PPP, menghendaki PPP berkoalisi dengan kubu Prabowo
Subianto yang memimpin Koalisi Merah Putih. Dalam suatu kampanye yang
dilakukan Prabowo, SDA hadir dan itu merupakan isyarat bahwa PPP secara pasti
merapat ke kubu Prabowo. Sebagian pimpinan PPP yang lain seperti Emron
Pangkapi dan Romahurmuziy menginginkan PPP berkoalisi dengan kubu Jokowi-JK.
Setelah konflik berlangsung cukup lama dan terasa panas, akhirnya
disepakati PPP berkoalisi dengan kubu Prabowo. Untuk sementara konflik bisa
diredam, tapi tampaknya hal itu belum dapat menyelesaikan masalah secara
tuntas. Aspirasi politik pada sebagian pimpinan PPP yang ingin berkoalisi ke
kubu Jokowi-JK belum padam sama sekali. Dalam rakernas PDIP, Emron Pangkapi
hadir dan hal ini sebagai isyarat dia dan kubunya akan merapat ke kubu
Jokowi-JK. Bagaikan api dalam sekam, konflik di tubuh PPP meledak lagi.
Emron Pangkapi (wakil ketua umum DPP PPP) dan Romahurmuziy (sekjen DPP
PPP) mengeluarkan surat yang isinya memecat SDA dari jabatan ketua umum
partai. Kubu Emron mengatakan bahwa SDA dipecat dari jabatan ketua umum
partai karena SDA tersangkut perkara hukum (ditetapkan KPK sebagai tersangka
terkait dana haji). Dengan memecat SDA, kata kubu Emron, citra PPP menjadi
bersih. SDA pun membalas dengan memecat Emron dan Romahurmuziy dari jabatan
masingmasing. SDA berdalih bahwa yang bisa memecat dirinya adalah forum
muktamar (kongres).
Pemecatan dirinya oleh kubu Emron, kata SDA, adalah ilegal. Di tengah
konflik yang sengit ini, kubu Emron menghendaki agar muktamar PPP dipercepat,
sebaliknya SDA menginginkan m u k t a m a r setelah pelantikan kabinet
Jokowi-JK (direncanakan 23 Oktober 2014). Jika muktamar PPP diselenggarakan
sebelum pelantikan kabinet Jokowi-JK, tuduh DSA, kubu Emron hanya ingin
mendapatkan ”ghanimah” (rampasan perang). Maksudnya, ingin memperoleh jabatan
menteri dalam kabinet Jokowi- JK.
Walaupun sudah diserukan oleh Kiai Maimun Zubair (ketua Majelis Syariah
PPP) agar dilakukan islah (perdamaian) antara kubu Emron dan SDA, tetapi
konflik antara keduanya masih terus berlanjut dan belum terselesaikan. SDA
mengklaim bahwa dirinya adalah korban kezaliman kubu Emron. Karena itu,
secara logika hukum, kata SDA, dia tidak mungkin melakukan islah (perdamaian)
dengan kubu Emron. Predikat ”persatuan” dan lambang ”Kakbah” pada PPP tidak
lagi menyentuh hati nurani para pemimpinnya yang terlibat konflik. PPP bukan
lagi partai persatuan. PPP bukan lagi partai Kakbah. (Partai) Kakbah telah
roboh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar