Rupiah
di Tubir Jurang
Anif Punto Utomo ; Direktur Indostrategic Economic Intelligence
|
REPUBLIKA,
02 Oktober 2014
Satu
dekade lalu, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi Presiden
RI, kurs rupiah menguat pada posisi Rp 9.000 per dolar AS. Ada semacam
euforia atas kemenangan SBY yang saat itu mengalahkan incumbent Presiden
Megawati Soekarnoputri. Sebuah awal yang gemilang. Kini, di pengujung
pemerintahannya, rupiah terseok di posisi Rp 12 ribu per dolar AS.
Terdepresiasinya
rupiah disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Keduanya saling
memengaruhi dan saling menguatkan sehingga kurs rupah sulit untuk bertahan
dan terpaksa harus merosot secara konsisten. Memamg, kelunglaian rupiah
tidaklah sendiri. Mata uang kuat seperti euro, misalnya, turun 1,1 persen,
begitu pula yen yang terdepresiasi 1,5 persen.
Faktor
eksternal yang menjadi penyebab adalah kebijakan pemotongan stimulus moneter
(tapering off) oleh the Fed, bank sentralnya Amerika Serikat. Semula, the Fed
mengeluarkan kebijakan quantitative easing dengan memborong obligasi
pemerintah 85 miliar dolar AS per bulan. Setelah dirasa cukup, stimulus
dipangkas menjadi 60 miliar dolar, terus berkurang sampai menjadi 15 miliar
dolar per bulan.
Bersamaan
dengan itu, indikator ekonomi Amerika menunjukkan arah positif. Inflasi bisa
dijinakkan pada kisaran 1,9 persen, ekonomi tumbuh 2,5 persen pada triwulan
II 2014, lapangan kerja yang terserap pun meningkat sehingga pengangguran yag
tadinya 10 persen kini menjadi 6 persen. Itulah mengapa dolar AS kemudian
menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia.
Di sisi
lain, situasi domestik yang menjadi faktor internal memiliki peran yang tak
kalah besarnya dalam melemahnya kurs rupiah karena di sini terkait dengan
terjadinya defisit transaksi berjalan dan membengkaknya utang luar negeri.
Defisit transaksi berjalan terus berlangsung, sementara utang luar negeri
terutama swasta semakin tidak terkontrol.
Sampai kuartal
II 2014 defisit transaksi berjalan mencapai 9,1 miliar dolar AS atau 4,27
persen produk domestik bruto (PDB). Melemahnya harga komoditas primer yang
menjadi unggulan ekspor Indonesia, seperti batu bara, CPO, dan produk
perkebunan lain, menjadikan neraca perdagangan defisit yang ujung-ujungnya
menyumbang terciptanya defisit transaksi berjalan.
Tekanan
terhadap defisit transksi berjalan juga akan terus terjadi manakala harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tetap dipertahankan. Saat ini saja setiap
hari kita mengimpor BBM sebanyak 850 ribu barel sehingga harus membeli dolar
sebanyak 120 juta. Kenaikan harga BBM diyakini akan mengurangi pemakaian BBM
sehingga nilai impornya pun berkurang.
Persoalannya,
pemerintahan yang sekarang tidak berani menaikkan BBM sehingga harus bersabar
menunggu pemerintahan Jokowi-JK. Kenaikan BBM bersubsidi kemungkinan akan
dilakukan November dengan besaran sekitar Rp 3.000 per liter. Kenaikan harus
segera dilakukan, jika tidak, pada November itu pula kuota 46 juta liter akan
habis.
Kenaikan
tersebut diyakini akan memberikan kepercayaan kepada investor bahwa
pemerintah berani untuk tidak populer demi terbangunnya ekonomi nasional yang
kuat. Besarnya subsidi BBM menunjukkan bahwa sebetulnya ekonomi kita rapuh
sehingga dari situlah yang menjadi pemantik tergerusnya rupiah. Kepercayaan
investor berarti akan menarik dana asing masuk.
Faktor
internal kedua yang mengancam rupiah adalah besarnya utang luar negeri (ULN)
dari pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan terutama swasta yang celakanya
utang jangka pendek cukup signifikan. Untuk swasta dorong peningkatan
investasi asing, dan mereka mengambil dana dari negaranya masing-masing.
Pengusaha lokal juga banyak menarik pinjaman asing karena lebih murah.
Menurut
data Bank Indonesia, sampai Juli 2014 total utang luar negeri mencapai
290,566 miliar dolar AS yang terdiri atas 134,156 miliar dolar (pemerintah
dan BI) dan selebihnya 156,410 miliar dolar AS swasta atau sekitar 53,8
persen.
Dari
posisi tersebut yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa utang jangka pendek
--di bawah waktu satu tahun-- yang sebesar 49,7 miliar dolar AS. Dengan
posisi cadangan devisa 110,5 miliar dolar, berarti rasio utang luar negeri
jangka pendek adalah 45 persen. Rasio itu mendekati titik kritis, yakni 50 persen
yang menunjukkan kemampuan negara membayar utang jangka pendek lemah.
Setiap
bulan selalu ada masa jatuh tempo bagi pembayaran utang pokok maupun bunga.
Tetapi, biasanya pembayaran dalam jumlah relatif besar terjadi setiap
triwulan. Dengan begitu pada September ini menjadi waktu yang rawan bagi
posisi rupiah karena dengan banyaknya pembelian dolar, otomatis rupiah akan
makin terdepresiasi.
Menjaga
kurs rupiah ini sangat penting untuk kestabilan ekonomi nasional. Karena,
menurut perhitungan menteri keuangan, setiap rupiah terdepresiasi Rp 100,
maka defisi APBN akan membengkak Rp 2,6 triliun. Kalangan dunia usaha juga
akan terbebani jika rupiah terus terdepresiasi.
Pertengahan
September lalu, pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan BI menyepakati membuat
pedoman transaksi lindung nilai (hedging) untuk kementerian dan BUMN. Pedoman
itu perlu segera direalisasikan karena lindung nilai ini akan mengurangi
pembelian rupiah di pasar spot sehingga rupiah tidak terlalu mudah goyang dan
tekanan terhadap BI berkurang.
Rupiah
harus diselamatkan. Faktor eksternal sebagai salah satu penyebab merosotnya
rupiah tidak bisa kita kendalikan, apalagi tahun depan the Fed berencana
menaikkan bunga dari 1,25 persen menjadi 1,375 persen. Untuk
mengantisipasinya, perlu dilakukan pembenahan iklim investasi, baik investasi
langsung maupun portofolio agar dana asing yang di domestik tidak lari.
Pada
faktor internal, langkah paling krusial adalah mengerem impor BBM yang sangat
menyita devisa. Untuk itu tak ada jalan lain kecuali menaikkan harga BBM
bersubsidi. Kemudian, untuk yang terkait dengan utang luar negeri, semua
peminjam baik pemerintah, BI, maupun swasta diwajibkan untuk melakukan
lindung nilai. Saat ini 67 persen utang asing tanpa lindung nilai.
Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan agar rupiah yang saat ini
sudah berada pada tubir jurang tidak makin tergelincir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar