Politik
Bermuka Dua
Moh Ilham A Hamudy ; Peneliti di BPP Kementerian Dalam Negeri
|
REPUBLIKA,
02 Oktober 2014
Dalam
voting pengesahan RUU Pilkada pada Jumat (26/9), Partai Demokrat (PD) telah
memuluskan langkah partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih
(KMP), yang memilih pilkada melalui DPRD, dengan melakukan walk out. Langkah
PD membuat opsi pilkada lewat DPRD meraih kemenangan telak dengan perolehan
suara 226 melawan 135 suara.
Langkah
PD yang "direstui" Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dinilai
banyak pihak sebagai politik bermuka dua. PD dan SBY seolah-olah berusaha
mengakomodasi aspirasi dan kepentingan rakyat, tetapi sebenarnya mereka hanya
melakukan pencitraan yang menguntungkan kepentingan partainya.
Mereka
seakan hadir sebagai penyelamat demokrasi dengan mendukung pilkada langsung
dan mengakomodasi aspirasi rakyat, padahal tidak. Mereka melakukan drama yang
mencitrakan bahwa mereka baik, padahal senyatanya itu hanya pencitraan
belaka.
Bagaimana
tidak, sebelum berangkat ke luar negeri, SBY menjelaskan, ia akan
mempertahankan pilkada langsung oleh rakyat. Tetapi, para petinggi PD
menambahkan 10 butir persyaratan bagi pilkada langsung tersebut. Kesepuluh
butir persyaratan itu bersifat mutlak dan tidak bisa dinegosiasikan.
Mengutamakan komitmen
Sebagai
partai yang memiliki kursi terbanyak di DPR, PD hendak memaksakan persyaratan
itu. Partai-partai KMP yang mendukung pilkada melalui DPRD menolaknya. Tetapi,
partai-partai pendukung pilkada langsung oleh rakyat, yaitu PDIP, PKB, dan
Hanura mengalah dan menyetujui opsi yang ditawarkan PD.
Akan
tetapi, anehnya, setelah opsi PD mendapat dukungan, mereka justru memutuskan walk out dari persidangan. Padahal, jumlah
suara gabungan partai pendukung pilkada langsung ditambah dengan suara PD
yang malam itu dihadiri 130 anggota akan dapat mengalahkan gabungan suara
dari KMP. Dengan PD melakukan walk out,
maka situasi berbalik.
SBY dan
PD berencana mengajukan uji materi terhadap UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Pengajuan itu terkesan lucu, secara hukum SBY tidak memiliki legal
standing yang kuat. Apalagi, saat RUU Pilkada dibahas, sebagai presiden RI,
SBY sudah punya wakil, yaitu Menteri Dalam Negeri.
Sebagai ketua
partai, SBY pun punya sejumlah anggota DPR dari PD yang ikut membahas RUU
itu. SBY seharusnya tidak perlu menggugat UU Pilkada karena dia sesungguhnya
memiliki kekuatan untuk memperjuangkan pilkada secara langsung saat UU
tersebut belum disahkan.
Belakangan,
SBY mengatakan, dia akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU Pilkada yang baru disahkan oleh
DPR. Perppu itu akan diterbitkan setelah ia meneken UU Pilkada.
Namun,
apa pun judul langkah yang akan ditempuh SBY dan PD, nasi sudah menjadi
bubur. RUU Pilkada sudah disahkan. Kita tidak bisa melangkah mundur.
Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan rakyat adalah menggugatnya ke MK.
Gugatan itu harus dilakukan oleh rakyat sendiri, tidak perlu menunggu kebaikan
SBY dan PD untuk menggugatnya. Rakyat pun harus mengambil pelajaran dari
peristiwa itu.
Dalam
politik, komitmen kepada rakyat adalah hal utama. Memainkan politik muka dua
seperti yang dilakoni SBY dan PD sejatinya sama saja dengan bentuk kemunafikan
politik. Kemunafikan selalu menumbuhkan sikap politik yang plin-plan dan
mencla-mencle. Bahkan, dalam bertindak pun tidak segan-segan menempuh
penghalalan segala cara untuk semata-mata kepentingan diri dan kelompoknya.
Rakyat
wajib waspada dan menjauhi politisi dan partai politik yang bermuka dua.
Karena, permainan politik semacam itu adalah kejam. Kekejaman politik bermuka
dua adalah menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan untuk
menumbuhkan harapan dan citra positif di mata rakyat. Rakyat harus menghukum
partai politik dan politisi seperti itu untuk tidak dipilih lagi dalam pemilu
yang akan datang.
Tidak diperkenankan
Terlebih
lagi, secara etika dan teori politik, kemunafikan politik sangatlah dibenci.
Ilmuwan politik dari University of Cambridge, David Runciman, dalam bukunya Political Hypocricy: The Mask of Power,
from Hobbes to Orwell and Beyond (2010) menjelaskan, politik muka dua
merupakan cermin kemunafikan politisi. Di atas panggung politik, para
politisi berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya.
Di luar
panggung politik, kepandaian mereka menampilkan lebih dari satu wajah
menimbulkan potensi tidak dapat dipercaya. Mereka hanya menunjukkan wajah
kebaikan yang diharapkan, sering bukan wajah yang sesungguhnya, untuk
mendapatkan tepuk tangan meriah pendukung dan meredam pengkritiknya. Usaha
memainkan peran seperti itu, menurut Runciman, adalah kemunafikan yang
menyuguhkan penipuan.
Secara
agama kemunafikan itu juga tidaklah diperkenankan. Imam Muslim pernah meriwayatkan
dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, termasuk
orang yang paling buruk adalah orang bermuka dua yang mendatangi mereka
dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka lain."
Nabi bukan hanya mengecam orang yang bermuka dua sebagai orang yang
termasuk dalam jajaran orang-orang terburuk di sisi Allah, melainkan beliau
juga mengancam mereka dengan neraka! Bahkan, dalam riwayat lain disebutkan,
"Barang siapa yang mempunyai dua muka di dunia, maka pada Hari Kiamat
kelak dia akan diberi dua mulut dari api neraka." (HR Abu Dawud dan
Ad-Darimi dari Ammar bin Yasir). Wallahu
a’alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar