Rancune
Politiek
Andreas A Yewangoe ; Ketua Umum PGI, 2009 – 2014
|
SATU
HARAPAN, 13 Oktober 2014
Makna dua patah kata dalam bahasa Belanda ini adalah “politik
balas-dendam”. Sesungguhnya “rancune” adalah istilah pinjaman, mungkin dari
bahasa Perancis. Istilah-istilah ini sangat popular, bukan saja di Negeri
Belanda, melainkan juga di negeri-negeri yang berbahasa Belanda, misalnya
Belgia. Dalam setiap perdebatan dan percaturan politik di antara
partai-partai politik, para politisi sering mengingatkan, atau diingatkan
agar tidak terjebak dalam politik balas-dendam itu.
Sebuah mekanisme politik yang sehat biasanya menghindari politik
balas-dendam ini. Kalau ada politisi yang nekad menempuh jalan itu, maka
dengan mudah ia menjadi obyek olok-olok dan/atau bulan-bulanan, bukan saja di
arena politik resmi, misalnya di dewan legislatif, melainkan juga di
media-massa. Ini tentu saja sangat mengerikan, sebab dengan mudah mereka
distigma sebagai kekanak-kanakan, alias belum akil-balig.
Tentu saja ini merupakan tindakan bunuh diri secara politik, sebab
dengan sendirinya politisi macam ini akan dihukum oleh para pemilihnya
sendiri dengan tidak lagi memilihnya dalam pemilu berikutnya. Menurut sebuah
ensiklopedia politik, ciri-ciri dari bentuk-bentuk rancune politiek (politik
balas-dendam) adalah sikap iri-hati terhadap sesuatu yang baik (mungkin saja
yang diusulkan oleh pihak “lawan”), mengenang-ngenang masa lampau yang sangat
idealistis, atau mengemukakan sesuatu yang dianggap ideal di masa depan,
namun tidak mudah mencapainya.
Kesulitan dari pelaksanaan politik yang terlalu banyak mengandung nafsu
balas-dendam adalah, bahwa diskusi-diskusi yang bermutu hampir tidak mungkin
dilakukan. Para politisi seperti ini tidak mampu menyusun
argumentasi-argumentasi yang bisa diverifikasi, bahkan ada kecenderungan
menerapkan kekerasan terhadap kebenaran, serta tidak mampu mendengarkan orang
lain. Dengan melakukan hal-hal seperti itu, maka politik itu sendiri menjadi
tidak bermakna sama-sekali.
Dalam bulan Mei 2014 yang lalu diselenggarakan Pemilu untuk memilih
anggota legislatif di Belgia. Partai
politik “Vlaams-Belang” kalah besar. Dari 12 (duabelas) kursi yang selama ini
dimiliki partai ini, hilang 9 (sembilan) sehingga hanya tersisa 3 (tiga)
kursi saja. Tentu saja kekecewaan besar menimpa partai politik ini.
Kehilangan satu kursi saja sudah sangat berarti, apa lagi sembilan dari
duabelas.
Namun demikian, ketuanya, Gerolf Annemans menemui Ketua Partai
Pemenang, Bart De Wever, mengucapkan selamat dan mendukungnya. Ketika para
wartawan bertanya kepadanya tentang pertemuan itu, ia menjawab: “Wie rancune heeft, moet niet aan politiek
doen” (Siapa yang mempunyai nafsu
balas-dendam, mestinya tidak perlu bermain politik). Selanjutnya ia
mengatakan: “In de politiek moet je
grootmoedig zijn. De Wever heeft ooit het omgekeerde meegemaakt en wie weet
kunnen de rollen ooit nog omkeren” (Di
dalam politik, anda harus selalu optimis/tidak takut. De Wever yang menjadi lawannya
itu, pernah juga mengalami yang sebaliknya, yaitu kalah. Siapa tahu kami juga
akan mengalami yang sebaliknya). Ia kemudian mengumumkan bahwa partainya
akan menjadi partai oposisi: “We zullen
een stevige oppositie voeren. We hebben nog altijd 250.000 kiezers die we met
veel vuur zullen vertegenwoordigen” (Kami
akan melancarkan oposisi yang kokoh. Kami masih mempunyai 250.000 pedukung
yang akan kami wakili dengan penuh semangat.)
Jelas yang ditempuh adalah jalan oposisi, namun ini tidak berarti menjegal
partai pemenang. Oposisi berarti melihat dan menilai sesuatu (misalnya
program pemerintah) dari sudut yang berbeda. Bisa saja usulan-usulan dari
partai oposisi lebih baik, sehingga menjadi alternatif yang masuk akal dan
diambil-alih oleh pemerintah. Pendeknya yang menjadi fokus adalah kepentingan
rakyat. Selain itu, kalah tidak berarti dunia kiamat. Pemilu kali ini kalah,
tetapi empat atau lima tahun lagi bisa saja situasi berbalik. Hal itu sangat
tergantung bagaimana partai yang kalah itu memperbaiki kinerjanya, sehingga
akan diminati lagi oleh rakyat pemilih.
Dalam hari-hari ini kita menyaksikan sebuah pertunjukan politik yang
sangat riuh-rendah di Senayan. Bisa saja hal itu ditafsirkan secara
optimistik sebagai sebuah dinamika politik yang memang harus terjadi. Tetapi
tidak kurang pula yang melihatnya sebagai sebuah pertunjukan yang jauh dari
kedewasaan politik. Ada kecenderungan “rancune politiek” di sana. Dalam
harian Kompas, 7 Oktober 2014 Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof Syafii
Maarif mengatakan, sulit untuk dimungkiri, kemenangan Koalisi Merah Putih
dalam merebut pimpinan DPR dan keputusan pilkada lewat DPRD merupakan upaya
balas dendam atas kekalahan mereka mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
saat bersaing dengan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. “Kalah di pilpres, mereka lalu balas dendam dengan mengambil seluruh
pimpinan DPR. Apapun yang dikatakan, kesan itu tak bisa dihindari.”,
katanya.
Kalau sinyalemen ini benar, maka ada alasan kita pesimis. Kekuasaan,
dengan demikian tidak lagi dipergunakan bagi kepentingan rakyat, melainkan
sekadar memenuhi hasrat sendiri, dalam hal ini rasa balas-dendam itu. Kalau
hanya itu yang terjadi, maka pantaslah rakyat Indonesia sedih, sebab para
politisi yang dihasilkan oleh sebuah pemilu yang sangat mahal itu jauh dari
harapan: yaitu memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat.
Para “wakil rakyat” itu tidak lagi sungguh-sungguh mewakili rakyat,
melainkan diri mereka sendiri. Agar kita tidak terlalu tenggelam di dalam
rasa pesimisme dan kesedihan, maka kepada para politisi di Senayan diserukan
untuk lebih bersikap dewasa dan berakal-sehat. Kita menyerukan agar mereka
siuman, bahwa medan perjuangan mereka bukan hanya Senayan (yang terbatas
ruang-lingkupnya), melainkan seluruh Indonesia yang sangat beraneka-ragam
dengan sekian juta rakyat yang kepentingannya mungkin tidak selalu sama
persis dengan yang diperjuangkan para politisi itu.
Kalau nafsu balas-dendam saja yang memenuhi udara Senayan, maka jangan
menyesal kalau nanti rakyat akan menghukum para politisi tersebut dengan cara
mereka sendiri. Enerji negatif yang dihasilkan dari Senayan akan berbalik
menenggelamkan berbagai ambisi tidak sehat di sana.
Saya kira masih cukup banyak peluang untuk mengingatkan para politisi
di Senayan agar tidak menerapkan “tirani mayoritas”. Salah satunya adalah
mengajak seluruh elemen civil society
(masyarakat berkeadaban) untuk mengawal dan mengawasi penggunaan kekuasaan
tersebut. Kalau tidak Indonesia tidak akan pernah sungguh-sungguh “Bangkit”
dan menjadi “Indonesia Hebat”. Marilah kita berdoa agar bangsa ini tidak
terjerumus ke dalam lingkaran setan nafsu balas-dendam yang tidak akan
habis-habisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar