Politik
Machiavellis dan Tirani Parlemen
Lasmi Purnawati ; Pengamat Masalah Sosial Politik;
Mahasiswi Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Pertanian Pedesaan IPB
|
SINAR
HARAPAN, 09 Oktober 2014
Pemberlakuan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan
disahkannya UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui DPRD, beberapa waktu
lalu, mengundang keprihatinan mendalam bagi nasib demokrasi di Indonesia.
Inilah titik balik kemunduran atau kemerosotan demokrasi yang selama ini
sudah berjalan baik di era Reformasi.
Sebagai sebuah bangsa, mestinya kita patut bangga karena masyarakat
Indonesia sudah begitu cerdas dan kritis menggunakan hak politiknya. Hal
tersebut tercermin ketika pemilihan presiden (pilpres) lalu. Media sosial
dipenuhi argumentasi dari masyarakat mengenai calon presiden (capres)
pilihannya, bahkan seni dan budaya menjadi instrumen kreatif para generasi
muda yang ikut berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi tersebut. Kondisi ini
merupakan kemajuan yang luar biasa dari sebuah proses demokrasi langsung yang
terjadi di Indonesia.
Sayangnya, indikasi mengebiri dan mengerdilkan kembali peran dan hak
konstitusional rakyat dalam menentukan pemimpin di negeri ini akan terjadi.
Upaya melumpuhkan bahkan mengamputasi kedaulatan rakyat tersebut terlihat
jelas dari wajah machiavellis sebagian politikus yang ada di lembaga
perwakilan rakyat. Ambisi berkuasa dari salah satu kubu dalam lembaga
perwakilan rakyat membentuk sikap dan perilaku menghalalkan segala cara demi
meraih kekuasaan.
Pipres langsung yang dilaksanakan rakyat Indonesia begitu cantik dan
mengundang decak kagum serta rasa hormat negara-negara lain justru hendak
dimandulkan dengan cara memutilasi seluruh aturan perundang-undangan
pemilihan langsung tersebut. Hal ini bukan saja mencederai demokrasi,
melainkan juga bentuk nyata pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat.
Namun bagi para politikus machiavellis, tak penting cara yang dilakukan
akan mengkhianati dan memperkosa hak-hak dan kedaulatan rakyat atau tidak
sebab tujuan akhir dari perjuangan politik mereka adalah kekuasaan.Potret
buram nasib demokrasi di Indonesia ke depan terpampang jelas dari gedung
perwakilan rakyat.
Tirani
Parlemen
Kekalahan kubu Prabowo-Hatta dalam pilpres melatarbelakangi pemikiran
para politikus dari koalisi pendukung Prabowo untuk memgubah tata cara
pilkada, pemilihan pemimpin di lembaga perwakilan rakyat, bahkan ada indikasi
pilpres ke depan juga akan dilakukan melalui MPR.
Koalisi pendukung Prabowo sebagai penggagas amendemen UU Pilkada
tersebut berdalih, pilkada langsung yang selama ini dijalankan kenyataannya
tidak efektif dalam artian berbiaya tinggi dan sering menyebabkan terjadinya
konflik horizontal massa pemilih di tingkat akar rumput.
Koalisi pendukung Prabowo juga membangun argumentasi yang tak kalah
ngotot agar UU MD3 disahkan, yaitu membangun tradisi baru dalam memilih
pemimpin lembaga perwakilan rakyat. Partai pemenang pemilu tidak harus
menjadi pemimpin parlemen, tetapi akan dipilih melalui mekanisme demokratis,
yaitu melalui voting.
Seluruh argumen tersebut memang terdengar indah. Sayangnya, itu
kamuflase dan tipu muslihat semata. Sejatinya yang diperjuangkan adalah
kepentingan partai serta kepentingan para tiran yang menguasai sumber-sumber
kapital pembiayaan politik mereka.
Melihat sepak terjang dan rekam jejak politikus koalisi pendukung
Prabowo, dapat dibaca secara gamblang bahwa motivasi utamanya adalah
menguasai parlemen. Ini karena mereka tidak pernah yakin dan percaya diri
bahwa kubu mereka dapat menjadi pemenang dalam pemilihan langsung.
Demokrasi langsung menjamin suara rakyatlah yang menjadi penentu bagi
setiap calon pemimpin di negara ini. Hal ini berarti, pertarungan menjadi
pemimpin baik di tingkat nasional maupun daerah adalah kemampuan menawarkan
program-program pro rakyat disertai bukti nyata yang telah dilakukan oleh
calon pemimpin atas komitmen tersebut, bukan jargon politik palsu belaka.
Kenyataan ini membuktikan, masyarakat Indonesia adalah rakyat yang
cerdas dan melek politik sehingga kebaikan yang bersifat artifisial dari
seorang calon pemimpin tidak berdaya jual untuk memikat dan mengikat suara
dan kehendak rakyat. Seorang calon pemimpin bangsa semestinya adalah sosok
yang betul-betul memahami kebutuhan rakyat di tingkat bawah. Oleh karena itu,
seorang pemimpin harus bersedia bersentuhan dan berdialog langsung dengan
rakyatnya.
Rupanya modal ini kurang dimiliki pasangan Prabowo-Hatta saat pilpres
lalu. Alih-alih memperbaiki kualitas calon pemimpin dari kubu mereka, koalisi
pendukung Prabowo justru lebih memilih jalan pintas dengan upaya menguasai
parlemen.
Untuk itu, koalisi pendukung Prabowo berusaha keras merapatkan
barisannya dan mencari dukungan partai demokrat dengan menjanjikan jatah
kursi kekuasaan demi mengalahkan koalisi partai pendukung Jokowi-JK dalam
sidang paripurna DPR. Bagi koalisi pendukung Prabowo, menguasai parlemen
menjadi penting sebab dalam kalkulasi politik mereka, dengan menguasai
parlemen, mereka bisa mengendalikan kekuatan politik melalui agenda setting
yang direncanakan.
Kemenangan koalisi pendukung Prabowo yang membawa agenda menegasikan
hak-hak konstitusional dan kedaulatan rakyat berakibat kepada tersanderanya
parlemen oleh praktik-praktik tirani para politikus machiavellis, utamanya
politikus yang terindikasi korupsi yang berkolaborasi dengan barisan
politikus sakit hati yang tak mampu bersaing secara fair di panggung politik.
Tirani parlemen menjadi strategi ampuh bagi mereka guna mengendalikan
kekuatan politik yang ada. Tentu saja hal ini kontra produktif dan melahirkan
paradoks bagi cita-cita Reformasi. Daulat rakyat akan menjadi daulat partai
dan daulat para tiran yang berkekayaan membeli suara politikus yang tanpa
integritas.
Demokrasi
Semu
Upaya mengembalikan pilkada melalui DPR juga (wacana) pilpres melalui
MPR merupakan salah satu agenda memangkas kedaulatan rakyat. Proses demokrasi
melalui lembaga perwakilan rakyat justru menjauhkan bahkan mengasingkan
(alienisasi) rakyat dari proses-proses politik. Demokrasi yang dijalankan
adalah demokrasi semu, demokrasi tanpa roh keadilan, demokrasi yang lumpuh
atau demokrasi yang patologis.
Pilpres yang lalu semestinya menjadi pembelajaran politik berharga bagi
seluruh bangsa, sekaligus catatan yang gemilang dalam sejarah demokrasi
Indonesia. Antusiasme rakyat yang sangat besar disertai keinginan berperan
aktif baik dalam masa kampanye hingga saat pencoblosan di bilik suara menjadi
bukti kesadaran bahwa rakyat adalah penentu bagi kemajuan bangsa.
Semangat dan kepedulian rakyat ini seharusnya dihargai para anggota
dewan yang notabene juga dipilih rakyat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara menjaga kepercayaan dan amanah yang diberikan guna menyejahterakan
kehidupan bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar