Politik
Tanpa Suara Hati
Benny Susetyo ; Pemerhati Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 10 Oktober 2014
Keputusan mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) kepada DPRD
sangat menyesakkan dada. Bukan hanya warga Indonesia, dunia internasional
juga cukup terkejut atas fenomena politik yang sering diistilahkan sebagai
“kemunduran demokrasi” ini.
Sisi ironis lain dalam peristiwa di Senayan, pekan lalu, adalah semua
rakyat dengan mata telanjang disuguhi teladan cara politik kekuasaan
dimainkan. Tanpa rasa bersalah, elite-elite menepuk dada bahwa mereka
berjuang demi rakyat. Saat ambisi politik dan kekuasaan hanya berorientasi
“asal aku menang”, tanpa disadari mereka telah menjadikan rakyat semesta
sebagai korban.
Persoalan utama yang ada di depan mata para elite adalah perampasan hak
politik rakyat menjadi terlupakan akibat ambisi para elite demi kepentingan
segolongan orang. Negeri ini seperti kumpulan para boneka yang tak berpendirian
dan mudah digerakkan para elit ke sisi yang menguntungkan segolongan pihak.
Politik
Pragmatis
Tak dimungkiri, Reformasi masih menyisakan elite-elite yang tidak puas.
Politik pun berkembang menjadi pragmatis. Atraksi para elite politik semakin
bervariasi dan terkadang susah ditebak ke mana arahnya.
Tetapi dari berbagai macam perilaku elite dewasa ini, satu pertanyaan
penting yang seharusnya tetap diajukan, hasrat merebut kekuasaan itu
diperuntukkan kepentingan siapa? Jawabannya, rakyat tetap dijadikan lipstik
belaka. Ini sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya, Orde Baru.
Negosiasi, aliansi, pembentukan poros, dan berbagai penjajakan politik
dilakukan berbagai kelompok atas nama rakyat. Karena ambisi yang sama kepada
politik kekuasaan, kelompok yang sebelumnya berseberangan bisa dengan mudah
bertemu atas nama “momentum politik”. Begitu pula kelompok yang sebelumnya
menjalin kerja sama erat bisa, dapat bercerai dengan mudah
Ini melahirkan politik partai di Indonesia cenderung mati-matian membela
kepentingan kelompoknya dan melalaikan kepentingan rakyat. Mereka ingin
berada dalam posisi yang menguntungkan, bahkan bila perlu, dengan cara
merugikan kelompok lain.
Model pragmatisme politik tercermin dalam pola perilaku politik yang
terjadi saat ini. Para elite bisa melompat ke sana kemari tanpa memedulikan
idealisme untuk memperjuangkan kepentingan umum.
Idealisme membela rakyat hanya manis di bibir dan tidak pernah terbukti
dalam kenyataan. Dalam konteks pragamatis, visi politik bisa sangat mudah
diubah bila tidak sesuai keadaan sesaat. Hal yang dipikirkan kaum pragmatis
hanyalah–seperti hukum ekonomi–meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Idealisme politik mudah digadaikan atau
dihilangkan sama sekali jika ternyata itu hanya menghasilkan “kekalahan”.
Pola
Pikir Pedagang
Begitulah para elite berpola pikir seperti kaum pedagang. Politik yang
seharusnya adalah upaya menata kehidupan bersama secara lebih baik, tidak
dipedulikan. Setiap kelompok selalu berpikir dan mencari cara menyalahkan
kelompok lain. Hal yang lebih menggelikan, setiap kelompok seolah merasa
yakin bahwa berbagai persoalan bangsa ini hanya bisa dipecahkan oleh
kelompoknya sendiri.
Dilihat dari sikap pragmatis kelompok politik, dapat dilihat
kecenderungan yang lebih menonjolkan kepentingan elite daripada kepentingan
rakyat. Tanpa disadari; pola, budaya, sikap, dan perangai politik seperti
inilah yang teru-menerus menggerus dunia politik kita. Akibatnya dapat
ditebak, dengan mudah deal politik selalu identik dengan keuntungan; serta
keuntungan identik dengan duit. Intinya, ujung-ujungnya adalah uang dan
kekuasaan.
Ketika politik dijalankan dengan mengabaikan hati nurani dan hanya
menjadikan rakyat sebagai kambing hitam dan kamuflase tindakan-tindakannya,
kekuasaan tidak akan pernah menghasilkan perubahan bagi kehidupan rakyat.
Pilkada diserahkan kembali ke DPRD? Kita tak bisa membayangkan yang
sudah dibangun bertahun-tahun lalu akan musnah sedemikian mudah. Alasan
politik uang yang menggurita akibat pilkada langsung adalah alasan
dibuat-buat seolah-olah semua orang tidak tahu bahwa bila pemilu dilakukan
oleh parlemen, politik uang tersebut akan menjadi lebih sehat.
Tak sadar sebagai pelayan rakyat, anggota dewan sudah memerankan diri
sebagai penggawa kerajaan zaman dulu yang enggan dikritik. Mereka ingin
disebut priyayi yang dalam analisis Geertz dikatakan sebagai kelas masyarakat
paling tinggi, hidup serbaberkecukupan, dan selalu ‘memajaki’ rakyat dengan
berbagai cara. Mereka ingin disanjung, meski berbuat tidak benar. Mereka
ingin dihormati, walau perilakunya sering bertentangan dengan moralitas
kemanusiaan.
Politik paham priyayi ini hidup menggurita di segenap lini pemerintahan
dari daerah hingga pusat. Kita hidup dalam sebuah zaman ketika demokrasi,
objektivitas, dan rasionalitas disanjung-sanjung, tapi kepatuhan dan
keterpaksaan secara tidak masuk akal dipraktikkan. Sebagai elite politik,
mereka tak sadar bahwa tindak-tanduk dan perilakunya selalu menjadi bahan
pergunjingan masyarakat.
Intinya, rakyat tertipu memiliki wakil rakyat yang demikianl; tertipu
dan berulang kali, tertipu memiliki pelayan yang suka mencuri uang rakyatnya
sendiri. Inilah lingkaran kegelapan yang mewarnai kehidupan politik yang
mencerminkan betapa nurani kita sebagai bangsa telah sirna dari muka Bumi Ibu
Pertiwi ini.
Para elite kita bagaikan singa sirkus yang lihai memerankan tipu
muslihat yang membuai dan menipu penonton.
Elite politik seharusnya memegang teguh gagasan keutamaan publik dalam
perjuangan di republik ini. Ini menjadi dasar bagi seorang pemimpin agar
dalam bertindak memiliki arete.
Cicero dalam Des Res Publica I (XXV 39) menyatakan, ”Res publica res
populi, populus autem non omnis hominum coetus qua-qua modo congregatus, sed
coetus multitudinis iuris consensus et utilitatis communione sociatus.” Dalam
kalimat ini terdapat unsur-unsur hakiki bila sebuah kebersamaan yang disebut
sebagai republik terus berlangsung. Makna republik berakar kepada kata res
publica yang memuat kata coetus
(perkumpulan), congregatus
(keterhimpunan), consensus
(kesepakatan, kesaturasaan), utilitas (kemanfaatan, kegunaan, kepentingan,
kebaikan mutu, communia (persekutuan, kebersamaan). Republik dengan demikian
identik dengan segala hal milik umum (res
publica), milik rakyat (res populi).
Kesadaran ini harus menjadi fokus bagi siapa pun pemimpin Indonesia ke
depan. Ia harus mampu menawarkan agenda yang jelas bagi perubahan masyarakat.
Dengan memusatkan kesadaran itu, kita tidak lagi tertimpa masalah seperti
sekarang, ketika banyak agenda demokrasi justru terlupakan, malah melahirkan
kebijakan yang mematikan kedaulatan rakyat.
Politik bukan semata-mata alat berkuasa, melainkan harus menggunakan
suara hati. Berpolitik tanpa suara hati cenderung mengalami disorientasi. Publik
merindukan hadirnya sosok elite yang bertindak dari hati mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar