Kamis, 02 Oktober 2014

Menteri “Profesional” Partai?

Menteri “Profesional” Partai?

Arya Budi  ;   Peneliti Poltracking Institute
KORAN SINDO,  01 Oktober 2014

                                                                                                                       


Drama paripurna DPR RI terkait RUU Pilkada pada 25-26 September 2014 lalu hampir mengonfirmasi kegagalan komunikasi politik yang dilakukan kubu Jokowi-JK untuk sekadar membuat “koalisi kurus” menjadi sedikit gemuk.

Beberapa waktu sebelumnya kegagalan dalam komunikasi politik dengan partai pendukung juga ditunjukkan presiden terpilih Jokowi yang mengumumkan skema menteri dalam kabinetnya mendatang. Secara kuantitas, jumlah menteri yang diumumkan Jokowi tempo hari tetap berjumlah 34 menteri dengan rincian: 3 menteri koordinator dan 31 menteri bidang. Komposisi pos menteri 2014-2019 itu adalah 18 menteri profesional (nonpartai) dan 16 menteri “profesional” partai.

Pada kategori menteri kedua inilah pemerintahan Jokowi-JK perlu diawasi. Apalagi jika komposisi menteri “profesional” partai ini banyak diisi lebih banyak oleh PDIP sebagai coalition leader akibat Jokowi-JK tak mampu membangun koalisi ramping alias minimal winning coalition (Riker, 1962), dan hanya bertahan dengan “koalisi kurus” saat ini dengan anggota PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan PKPI.

Selain dukungan parlemen yang lemah, menteri partai juga bisa jadi duri dalam daging kabinet Jokowi-JK ke depan yang akhirnya berdampak destruktif pada governability (kemampuan menjalankan pemerintahan) lima tahun ke depan. Secara simbolik, terminologi menteri “profesional” partai digunakan Jokowi untuk menyampaikan pesan bahwa sekalipun menteri terkait berasal dari partai, para menteri “profesional” partai direkrut dan bekerja menggunakan kaidah profesional terkait kompetensi dan bidang yang dipimpin.

Namun, secara substantif, paling tidak ada empat kualifikasi penting seorang menteri disebut profesional: 1) menteri tersebut mempunyai kesesuaian antara pendidikan dan latar belakang bidang atau sektor kerja dengan bidang kementerian yang dipimpin, 2) seorang menteri harus mempunyai rekam jejak kepemimpinan terutama dalam proses eksekusi kebijakan, 3) menteri tersebut sudah teruji integritasnya sehingga bersih dari kasus hukum terutama korupsi, 4) menteri mempunyai komitmen besar untuk merealisasikan tujuan negara untuk menyelesaikan problem bangsa-negara di bidangnya.

Singkatnya, kesesuaian bidang, leadership skill, integritas, dan berorientasi problem-solving adalah empat pilar penting jika kabinet Jokowi-JK ingin disebut kabinet ahli alias zaken kabinet . Persoalannya, empat kualifikasi menteri profesional ini hampir selalu mempunyai kontradiksi dengan menteri partai yang biasanya berakhir dengan menteri partai minus profesional.  

Ada empat kontradiksi kualifikasi profesional versus fakta dan kecenderungan di lapangan yang meliputi menteri partai ini. Pertama, dalam banyak kasus pemerintahan Gus Dur, Megawati, SBY menteri partai hanya profesional pada satu hal: kepemimpinan. Sebagai misal, publik mungkin sampai sekarang masih sulit memahami keputusan SBY menempatkan kadernya yang pakar teknologi informasi untuk memimpin kementerian yang mengurus olahraga dan para atlet.

Karena birokrasi sebagai sebuah “kerajaan” tersendiri, kementerian bisa saja tetap berjalan sekalipun “salah orang” karena birokrasi di kementerian bekerja dengan nalarnya sendiri. Kedua, problem integritas hampir selalu muncul akibat dualisme menteri: pejabat negara sekaligus pejabat partai. Pemerintahan SBY kecolongan tiga menteri aktifnya dalam tindak pidana korupsi Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Agama, dan ESDM di mana tiga menteri ini adalah fungsionaris partai.

AM di Kemenpora adalah sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, SDA di Kemenag adalah ketua umum PPP, dan JW di Kementerian ESDM adalah sekretaris Majelis Tinggi Demokrat yang menggantikan AM. Singkat cerita, problem integritas menteri partai yang “diangkat” oleh KPK ini ekses dari karakter menteri partai yang berwajah ganda: tunduk pada tugas partai, namun juga loyal terhadap partai.

Ketiga, menteri partai berada dalam konflik mandat atas dirinya sehingga problem-solving sebagai sebuah nalar kerja yang seharusnya berpindah menjadi rentseeking. Survei yang pernah dilakukan Poltracking (Oktober 2013) terhadap menteri-menteri partai politik pada pemerintahan SBY-Boediono menunjukkan bahwa lebih dari 50% publik tidak mengetahui program, hasil kerja, dan kinerja menteri partai. Ini terjadi akibat nalar koalisi yang lebih dominan melekat pada menteri partai.

Model presidensialisme kata Carl J Friedrich (1912-2007) adalah sebentuk monokratische form der demokratie (bentuk monokrasi dari demokrasi) karena penekanan dan pemusatan pemerintahan di tangan presiden. Tentu, hal ini bisa terjadi tanpa ada alasan lain di luar soal relasi kuasa yang sedang bertumbukan di bawah meja presiden.

Terkait ini, hasil perekaman terhadap banyak studi demokrasi yang dilakukan Larry Diamond dalam Developing Democracy towards Consolidation (2003, 160-162) agaknya cukup relevan dengan potensi kegaduhan politik di Istana (baca: koalisi pemerintahan). Diamond menyatakan bahwa ada perbedaan perilaku pejabat publik antara yang ditunjuk (dari atas) dan yang dipilih (dari bawah).

Pejabat publik yang dimandatkan melalui pemilu dengan rakyat memilih langsung pemimpinnya cenderung akan mencipta perilaku elite atau pejabat publik terpilih yang lebih bertanggung jawab dan responsif terhadap publik pemilih dibandingkan yang ditunjuk oleh elite yang lebih tinggi kedudukannya.

Keempat, beda sumber legitimasi presiden dan menteri: dipilih dan ditunjuk. Tesis Diamond sedikit banyak mengonfirmasi perilaku menteri di lembaga kepresidenan di Indonesia. Menteri bukanlah pejabat yang dipilih dari bawah, dia ditunjuk dari atas (baca: presiden). Sekalipun logika “dipilih dan ditunjuk” menciptakan konsekuensi perilaku politik yang berbeda, elite pejabat dari dua jalur ini samasama berorientasi ganda.

Pejabat yang memerintah dengan dipilih, menurut Diamond, akan berperilaku lebih responsif dan pada saat yang sama beratribusi vested interest soal popularitas untuk mencipta elektabilitas. Sementara pejabat yang memerintah dengan ditunjuk (baca: menteri partai) akan mengorientasikan programnya pada pemenuhan kepuasan penunjuk sehingga kerja-kerja maupun aktivitas selebihnya dimaksudkan untuk mencipta popularitas, tingkat kesukaan, dan berlanjut pada tingkat elektabilitas.

Artinya, sekalipun perilaku orang yang ditunjuk atasan akan berbeda dengan orang yang dipilih dari bawah oleh publik, siapa pun pejabatnya akan berakhir pada ambisi klimaks untuk ikut berkontestasi di pemilu. Artinya, lembagaKementerian adalah organ-organ negara yang berada di bawah presiden dan hanya tunduk pada presiden yang mengangkat dan mengadakannya.

Akibat itu, menteri partai tidak sedang duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan bangsa, apalagi bergerak dengan visi yang sama. Tetapi, menteri partai bekerja untuk menghindari sangsi dan memperoleh catatan prestasi di kabinet, plus bonus popularitas. Ini terjadi karena menteri terbagi dalam tiga nalar kerja: 1) pembantu presiden, 2) kader partai di kabinet, 3) pejabat yang bekerja untuk dirinya sendiri. Kursi menteri tak ubahnya bisa lebih politis daripada kursi presiden dan wakilnya.

Menteri partai yang jumlahnya 16 orang dari 34 pos menteri bekerja dengan nalar wakil dan utusan partai sebagai fund-riser partai. Menteri juga tak lupa bekerja untuk dirinya sendiri. Nalar kerja ini tak jauh dari agenda elektoral, untuk memastikan dirinya masuk dalam radar partai. Hasilnya, ada tugas jabatan, tugas kepartaian, dan tugas pencitraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar