Menteri
“Profesional” Partai?
Arya Budi ; Peneliti Poltracking Institute
|
KORAN
SINDO, 01 Oktober 2014
Drama paripurna DPR RI terkait RUU Pilkada pada 25-26 September 2014
lalu hampir mengonfirmasi kegagalan komunikasi politik yang dilakukan kubu
Jokowi-JK untuk sekadar membuat “koalisi kurus” menjadi sedikit gemuk.
Beberapa waktu sebelumnya kegagalan dalam komunikasi politik dengan
partai pendukung juga ditunjukkan presiden terpilih Jokowi yang mengumumkan
skema menteri dalam kabinetnya mendatang. Secara kuantitas, jumlah menteri
yang diumumkan Jokowi tempo hari tetap berjumlah 34 menteri dengan rincian: 3
menteri koordinator dan 31 menteri bidang. Komposisi pos menteri 2014-2019
itu adalah 18 menteri profesional (nonpartai) dan 16 menteri “profesional”
partai.
Pada kategori menteri kedua inilah pemerintahan Jokowi-JK perlu
diawasi. Apalagi jika komposisi menteri “profesional” partai ini banyak diisi
lebih banyak oleh PDIP sebagai coalition
leader akibat Jokowi-JK tak mampu membangun koalisi ramping alias minimal winning coalition (Riker, 1962), dan hanya bertahan
dengan “koalisi kurus” saat ini dengan anggota PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan
PKPI.
Selain dukungan parlemen yang lemah, menteri partai juga bisa jadi duri
dalam daging kabinet Jokowi-JK ke depan yang akhirnya berdampak destruktif
pada governability (kemampuan menjalankan pemerintahan) lima tahun ke depan.
Secara simbolik, terminologi menteri “profesional” partai digunakan Jokowi
untuk menyampaikan pesan bahwa sekalipun menteri terkait berasal dari partai,
para menteri “profesional” partai direkrut dan bekerja menggunakan kaidah
profesional terkait kompetensi dan bidang yang dipimpin.
Namun, secara substantif, paling tidak ada empat kualifikasi penting
seorang menteri disebut profesional: 1) menteri tersebut mempunyai kesesuaian
antara pendidikan dan latar belakang bidang atau sektor kerja dengan bidang
kementerian yang dipimpin, 2) seorang menteri harus mempunyai rekam jejak
kepemimpinan terutama dalam proses eksekusi kebijakan, 3) menteri tersebut
sudah teruji integritasnya sehingga bersih dari kasus hukum terutama korupsi,
4) menteri mempunyai komitmen besar untuk merealisasikan tujuan negara untuk
menyelesaikan problem bangsa-negara di bidangnya.
Singkatnya, kesesuaian bidang, leadership
skill, integritas, dan berorientasi
problem-solving adalah empat pilar
penting jika kabinet Jokowi-JK ingin disebut kabinet ahli alias zaken kabinet
. Persoalannya, empat kualifikasi menteri profesional ini hampir selalu
mempunyai kontradiksi dengan menteri partai yang biasanya berakhir dengan
menteri partai minus profesional.
Ada empat kontradiksi kualifikasi profesional versus fakta dan
kecenderungan di lapangan yang meliputi menteri partai ini. Pertama, dalam
banyak kasus pemerintahan Gus Dur, Megawati, SBY menteri partai hanya
profesional pada satu hal: kepemimpinan. Sebagai misal, publik mungkin sampai
sekarang masih sulit memahami keputusan SBY menempatkan kadernya yang pakar
teknologi informasi untuk memimpin kementerian yang mengurus olahraga dan
para atlet.
Karena birokrasi sebagai sebuah “kerajaan” tersendiri, kementerian bisa
saja tetap berjalan sekalipun “salah orang” karena birokrasi di kementerian
bekerja dengan nalarnya sendiri. Kedua, problem integritas hampir selalu
muncul akibat dualisme menteri: pejabat negara sekaligus pejabat partai.
Pemerintahan SBY kecolongan tiga menteri aktifnya dalam tindak pidana korupsi
Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Agama, dan ESDM di mana tiga menteri ini
adalah fungsionaris partai.
AM di Kemenpora adalah sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, SDA
di Kemenag adalah ketua umum PPP, dan JW di Kementerian ESDM adalah
sekretaris Majelis Tinggi Demokrat yang menggantikan AM. Singkat cerita,
problem integritas menteri partai yang “diangkat” oleh KPK ini ekses dari
karakter menteri partai yang berwajah ganda: tunduk pada tugas partai, namun
juga loyal terhadap partai.
Ketiga, menteri partai berada dalam konflik mandat atas dirinya
sehingga problem-solving sebagai sebuah nalar kerja yang seharusnya berpindah
menjadi rentseeking. Survei yang pernah dilakukan Poltracking (Oktober 2013) terhadap menteri-menteri partai
politik pada pemerintahan SBY-Boediono menunjukkan bahwa lebih dari 50%
publik tidak mengetahui program, hasil kerja, dan kinerja menteri partai. Ini
terjadi akibat nalar koalisi yang lebih dominan melekat pada menteri partai.
Model presidensialisme kata Carl J Friedrich (1912-2007) adalah
sebentuk monokratische form der demokratie (bentuk monokrasi dari demokrasi)
karena penekanan dan pemusatan pemerintahan di tangan presiden. Tentu, hal
ini bisa terjadi tanpa ada alasan lain di luar soal relasi kuasa yang sedang
bertumbukan di bawah meja presiden.
Terkait ini, hasil perekaman terhadap banyak studi demokrasi yang
dilakukan Larry Diamond dalam Developing
Democracy towards Consolidation (2003, 160-162) agaknya cukup relevan
dengan potensi kegaduhan politik di Istana (baca: koalisi pemerintahan).
Diamond menyatakan bahwa ada perbedaan perilaku pejabat publik antara yang
ditunjuk (dari atas) dan yang dipilih (dari bawah).
Pejabat publik yang dimandatkan melalui pemilu dengan rakyat memilih
langsung pemimpinnya cenderung akan mencipta perilaku elite atau pejabat
publik terpilih yang lebih bertanggung jawab dan responsif terhadap publik
pemilih dibandingkan yang ditunjuk oleh elite yang lebih tinggi kedudukannya.
Keempat, beda sumber legitimasi presiden dan menteri: dipilih dan
ditunjuk. Tesis Diamond sedikit banyak mengonfirmasi perilaku menteri di
lembaga kepresidenan di Indonesia. Menteri bukanlah pejabat yang dipilih dari
bawah, dia ditunjuk dari atas (baca: presiden). Sekalipun logika “dipilih dan
ditunjuk” menciptakan konsekuensi perilaku politik yang berbeda, elite
pejabat dari dua jalur ini samasama berorientasi ganda.
Pejabat yang memerintah dengan dipilih, menurut Diamond, akan
berperilaku lebih responsif dan pada saat yang sama beratribusi vested
interest soal popularitas untuk mencipta elektabilitas. Sementara pejabat
yang memerintah dengan ditunjuk (baca: menteri partai) akan mengorientasikan
programnya pada pemenuhan kepuasan penunjuk sehingga kerja-kerja maupun aktivitas
selebihnya dimaksudkan untuk mencipta popularitas, tingkat kesukaan, dan
berlanjut pada tingkat elektabilitas.
Artinya, sekalipun perilaku orang yang ditunjuk atasan akan berbeda
dengan orang yang dipilih dari bawah oleh publik, siapa pun pejabatnya akan
berakhir pada ambisi klimaks untuk ikut berkontestasi di pemilu. Artinya,
lembagaKementerian adalah organ-organ negara yang berada di bawah presiden
dan hanya tunduk pada presiden yang mengangkat dan mengadakannya.
Akibat itu, menteri partai tidak sedang duduk bersama untuk
menyelesaikan persoalan bangsa, apalagi bergerak dengan visi yang sama.
Tetapi, menteri partai bekerja untuk menghindari sangsi dan memperoleh
catatan prestasi di kabinet, plus bonus popularitas. Ini terjadi karena
menteri terbagi dalam tiga nalar kerja: 1) pembantu presiden, 2) kader partai
di kabinet, 3) pejabat yang bekerja untuk dirinya sendiri. Kursi menteri tak
ubahnya bisa lebih politis daripada kursi presiden dan wakilnya.
Menteri partai yang jumlahnya 16 orang dari 34 pos menteri bekerja
dengan nalar wakil dan utusan partai sebagai fund-riser partai. Menteri juga
tak lupa bekerja untuk dirinya sendiri. Nalar kerja ini tak jauh dari agenda
elektoral, untuk memastikan dirinya masuk dalam radar partai. Hasilnya, ada
tugas jabatan, tugas kepartaian, dan tugas pencitraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar