Tabayun
Akhiri Polemik Tuhan Membusuk
Ahmad Sahidah ;
Dosen
Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
|
JAWA
POS, 12 September 2014
TULISAN
M. Anwar Djaelani (JP, 10/9/2014) layak ditimbang terkait dengan kritik tajam
terhadap penjelasan Masduri tentang isu tema Oscaar (Orientasi Cinta Akademik
dan Almamater) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Hanya, secara
sederhana dosen STAIL Hidayatullah itu merumuskan Tuhan Membusuk sebagai tema
yang kebablasan untuk dijadikan tema di sebuah perguruan tinggi Islam. Dengan
lugas, MAD menyusun cerita bahwa tema itu tak segagah kenyataan bahwa acara
orientasi lebih memperlihatkan wajah bengis mahasiswa senior terhadap adik
kelasnya. Lalu, pertanyaan retoriknya, adakah itu kosmopolitan?
Hanya,
MAD tak membaca dengan utuh opini Masduri (JP, 5/9/2014). Dia tak membela
panitia seakan-akan juru bicara, tapi mencoba menghadirkan bagaimana membaca
tema dari kemungkinan sisi lain. MAD menyebut Tuhan Membusuk tanpa
menghadirkan penegasan selanjutnya di awal kalimat opini. Padahal, pernyataan
dari fundamentalisme ke kosmopolitanisme bisa menerangkan kata majemuk
tersebut. Tuhan akan membusuk (yang ini sama dengan sifat-sifat mustahil
Tuhan, seperti mati sebagai keadaan yang berlawanan dengan sifat wajib hayat
dalam tradisi Asy’ari) apabila kewujudan Tuhan diringkus oleh kepentingan
manusia untuk berkuasa atas nama-Nya. Karena itu, kosmopolitanisme adalah
jalan keluar dari fundamentalisme.
Sebagai
mahasiswa lulusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga, saya bisa memahami mengapa ada kecenderungan mahasiswa strata 1
dari jurusan itu gemar menyodorkan isu-isu menantang. Betapapun tema itu
tampak gagah, sebenarnya bisa menjadi gerowong
apabila panitia yang mengusulkan tema tersebut tak bisa menyediakan jawaban
yang lebih panjang. Bagaimanapun, dengan mudah ia tak lebih dari slogan atau
jargon yang mudah disalahpahami laksana sumbu mercon pendek yang akan mudah
meledak apabila disulut. Nyatanya, ketika saya menulis status di Facebook
terkait dengan isu itu, tanggapan dari kawan-kawan jelas menyesalkan
ketergesaan bertaruh dengan slogan.
Tafsir
Masduri
membela tema itu sebagai hak intelektual mahasiswa. Dengan mengungkapkan ketergesaan
orang ramai mengkritik tema, tanpa menyebut secara lengkap, sehingga salah
tafsir mudah merebak. Hanya, kita perlu menelusuri mengapa kontroversi
tersebut cepat membiak? Sebab, media sosial mengunggah spanduk kegiatan. Dari
situlah bermula kritik dan celaan. Sebagai ide, tentu ia bisa hadir di dunia
akademik. Apa lacur sebuah kalimat yang panjangnya sedengusan napas itu
menyentuh akal budi khalayak yang berbeda nalar dan tingkat pemahaman?
Karena
itu, langkah Abd A’la sebagai rektor membekukan kegiatan mahasiswa yang
terkait dengan orientasi adalah tepat. Semestinya, jika mahasiswa setia
dengan filsafat, mereka tidak hanya mengumbar kebebasan berpikir, tetapi juga
keutamaan atau virtue dalam lema Aristoteles, filsuf Yunani. Menurut pemikir
yang menulis Politics tersebut,
orang yang baik (phronimos) adalah
orang yang tahu hal baik dan melakukannya pada waktu yang tepat serta
lingkungan yang sesuai (Thomas R.
Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction, 2006: 124). Dengan
mengabaikan khalayak, penutur sejatinya asyik berbicara dengan sendirinya,
yang tentu saja sebuah kegilaan.
Hanya,
penyederhanaan MAD terhadap hubungan langsung antara tema dan perlakuan tidak
manusiawi mahasiswa senior terhadap mahasiswa junior tampak lancung. Dengan
tema yang vulgar itu, panitia secara semena-mena melanggar agama, misalnya
jatah istirahat siang hanya 15 menit sehingga mahasiswa tak bisa menunaikan
salat dengan leluasa. Semestinya kita perlu mengurai tema dalam pelbagai
sudut pandang. Kegemaran mahasiswa untuk memungut ide gila dalam filsafat
memang tak terelakkan karena latar belakang mereka yang sudah akrab dengan
praktik keagamaan normatif. Mereka jelas ingin keluar dari pemahaman
keagamaan yang kaku dan mengurai kegundahannya.
Tradisi
Merujuk
pada pengertian kosmopolitan Immanuel Kant, filsuf Jerman, sebagai keadaan
masyarakat yang menyepakati adanya komunitas moral tunggal, sejatinya dia
mengandaikan masyarakat madani Muhammad. Di sini, masyarakat Madinah hidup
dengan aman dan sejahtera apabila hak-hak masyarakat yang ada di dalamnya
diakui secara setara. Piagam Madinah jelas menempatkan hak-hak Yahudi,
Kristen, dan Islam tanpa diskriminasi. Andai tema itu bisa mengungkap
cita-cita ideal negara Madinah dengan bahasa yang jauh lebih lugas, mungkin
kontroversi tak akan berbuah laporan kelompok
garis keras kepada pihak kepolisian.
Sejatinya,
jika mahasiswa sadar akan hal itu, tentu mereka bisa menghadirkan tema
alternatif yang tidak berisiko dihujat, dicerca, dan diserang oleh kelompok
lain. Betapapun mempunyai kebebasan, kaum cerdik-pandai itu mesti menimbang
apa yang ditegaskan oleh C. Wright Mills bahwa kebebasan bukan hanya terkait
dengan dari (from), yakni manusia
bisa berbuat apa saja, tetapi untuk (for)
yang menekankan pentingnya memeriksa lagi tindakan-tindakan provokatif yang
bisa memancing respons yang tidak perlu.
Tentu
di ruang yang terbatas mahasiswa dan dosen bisa membahas sebuah tema secara
bebas seraya bertujuan mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat bagi
masyarakat luas. Alih-alih bisa diterima di tengah masyarakat, mahasiswa yang
begajulan tidak mempunyai peluang untuk menyampaikan pesan-pesan kritis
keagamaan karena dianggap tak patuh pada garis akidah. Karena itu, sebagai
pembaca filsafat, mereka mesti kembali kepada arti dasar kata ini, yaitu philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Betapa tidak arif melesakkan kata-kata
bersayap tanpa menimbang kepekaan masyarakat luas.
Hanya,
langkah Pejuang
Ahlussunnah Waljamaah Garis Lurus dan Front
Pembela Islam untuk menyeret mahasiswa ke ranah hukum jelas menunjukkan
iktikad buruk. Semestinya kasus itu tak berbuah tuntutan, tetapi
pertanggungjawaban intelektual mahasiswa. Bagaimanapun, tema tersebut hanya kegenitan yang acap
dialami oleh kaum terpelajar untuk bersolek agar memantik perhatian khalayak.
Dari sini, ruang debat ilmiah yang sehat adalah jalan keluar. Ketika ada
satu kelompok yang merasa menjadi wakil kebenaran, dengan sendirinya dunia
pengetahuan akan mati. Jika tabayun
mungkin, maka ini adalah jalan yang dikehendaki oleh tradisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar