Perlawanan
Ahok
Joko Riyanto ;
Alumnus
Fakultas Hukum
Universitas
Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
KORAN
TEMPO, 16 September 2014
Wakil
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mengundurkan diri
dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Alasannya, ia tak sependapat
dengan sikap politik Gerindra yang mendukung pilkada lewat DPRD. Bagi Ahok,
Gerindra mengingkari kepercayaan masyarakat. Idealisme politik Ahok telah
dicederai oleh partai politik.
Perlawanan
Ahok menimbulkan "kemarahan" di jajaran pemimpin Gerindra. Ahok
dibilang tak tahu terima kasih, bahkan Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon,
menuding Ahok tak beretika, tak berkontribusi untuk Gerindra, dan "kutu
loncat". Meski dikecam oleh partainya, Ahok tak ciut nyali. Ahok justru
menegaskan bahwa lebih baik jadi "kutu loncat" ketimbang jadi
"kutu busuk". Ahok juga mengatakan tidak akan loncat ke partai
lain. Ahok ingin berfokus mengurus Jakarta dan tak mau direcoki oleh
tetek-bengek urusan partai.
Dalam
iklim demokrasi, perlawanan Ahok terhadap jalan politik partai politik tidak
salah. Sebab, perlawanan Ahok didasari pada kehendak rakyat dan konstitusi.
Di sisi lain, para politikus Gerindra juga punya hak untuk menilai
pengunduran diri Ahok tidak sesuai dengan etika politik dan mengkhianati
Gerindra. Namun, dalam konteks permasalahan Ahok dengan Gerindra, haruslah
dilihat kepentingan yang jauh lebih besar, yaitu kepentingan rakyat. Pilihan
politik Ahok membuktikan bahwa ia mengutamakan kepentingan rakyat daripada
kepentingan golongan. Hal ini sesuai dengan prinsip dan nilai Pancasila, di
mana Pancasila menjadi dasar ideologi partai yang harus dijunjung tinggi.
Perlawanan
Ahok merupakan implementasi penolakan oligarki di level partai politik. Ahok
tidak rela jika daulat rakyat dirampas oleh segelintir elite politik dengan
berkedok atas nama rakyat, demokrasi, dan penegak konstitusi. Perlawanan Ahok
justru memperlihatkan kualitas dan integritas seorang politikus dan pemimpin
yang memperoleh mandat rakyat.
Perlawanan
Ahok secara substansial sudah tepat. Sikap Ahok sesuai dengan yang diucapkan
oleh Manuel Luis Quezon Molina, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944), "Kesetiaanku kepada partai berakhir
ketika kesetiaanku kepada negara dimulai." Ahok, yang berasal dari
golongan minoritas, Tionghoa dan Kristen, menunjukkan figur pemimpin
interpersonal yang menerjemahkan suasana batin rakyat dengan bahasa politik
populis serta dengan pola pikir yang out
of the box, namun konkret. Perlawanan Ahok justru menjadi batu uji para
politikus Senayan dalam menyusun RUU Pilkada, apakah untuk kepentingan bangsa
atau alat politik "balas dendam"?
Pengunduran
diri Ahok sebagai politikus Gerindra adalah hak politik yang konstitusional.
Posisi Ahok saat ini masih kuat. Sebab, tidak ada pelanggaran hukum yang
dilakukan dan aturan yang mengatur recall. Meski demikian, Gerinda dan
Koalisi Merah Putih dipastikan akan "menjegal" setiap kebijakan dan
program Ahok. Saya sarankan, Ahok lebih cermat dan cerdas menghadapi
musuh-musuhnya. Dalam memimpin Jakarta, Ahok perlu merangkul semua kalangan,
mengedepankan komunikasi dialog, dan bersikap terbuka dengan rakyat.
Perlawanan Ahok jangan berhenti di sini, masih banyak "kutu busuk"
dan penyimpangan terhadap demokrasi serta konstitusi yang harus dilawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar