Efisiensi
dan Efektivitas Kedutaan Besar RI
Jeffrie Geovanie ;
Mantan
Anggota Komisi I DPR Sub-Komisi Luar Negeri
|
KORAN
TEMPO, 16 September 2014
Terpilihnya
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai Presiden-Wakil Presiden
RI diharapkan bisa mengakhiri praktek pemborosan anggaran di semua sektor
penyelenggara negara dan birokrasi pemerintahan. Salah satu sektor yang harus
dilakukan efisiensi besar-besaran adalah Kementerian Luar Negeri, terutama
dalam penempatan dan pengelolaan kedutaan di negara-negara sahabat. Efisiensi
yang dimaksud bukan dengan cara mengurangi anggaran kementerian, tapi dengan
melakukan restrukturisasi dan refungsionalisasi kelembagaan perwakilan RI di
luar negeri.
Perombakan
perlu dilakukan pada dua sektor. Pertama, sektor struktural kelembagaan,
menyangkut institusi dan birokrasi yang ada dalam kedutaan, dan kedua, sektor
sumber daya manusia (SDM), yang ditempatkan sebagai duta besar berikut
staf-stafnya. Pada kedua sektor ini, sepanjang sejarah berdirinya Kementerian
Luar Negeri RI, belum pernah dilakukan audit secara menyeluruh.
Sejauh
ini, ada sekitar 160 lebih kedutaan RI yang tersebar di berbagai negara dan organisasi
internasional, dengan dipimpin oleh 99 duta besar yang di antaranya merangkap
beberapa kedutaan. Untuk negara dengan tingkat kekayaan yang masih di bawah
rata-rata, bila dibandingkan dengan negara-negara besar lainnya di dunia,
jumlah kedutaan yang dimiliki Indonesia jelas terlampau banyak. Hanya Amerika
Serikat, Rusia, Jepang, dan Cina yang jumlah kedutaannya relatif sama dengan
Indonesia. Sedangkan negara-negara maju, seperti Jerman, Inggris (Britania
Raya), Prancis, Belanda, Italia, Spanyol, Belgia, Austria, Norwegia, Kanada,
Australia, dan Singapura, jumlah kedutaan mereka jauh di bawah Indonesia.
Artinya,
ada inefisiensi luar biasa di sektor struktur kelembagaan diplomatik kita.
Begitu pun pada sektor SDM-nya, meskipun sudah banyak perangkapan, 99 duta
besar itu bukanlah jumlah yang efisien. Inefisiensi ini berdampak ganda, satu
sisi ada penghamburan uang negara di kedutaan-kedutaan yang posisi dan
peranannya tidak begitu penting baik secara politik maupun ekonomi bagi
Indonesia, di sisi lain, ada kekurangan anggaran di kedutaan-kedutaan yang
memiliki posisi dan peranan yang vital dan strategis.
Karena
itu, perlu ada terobosan bagi Jokowi-JK untuk merestrukturisasi kedutaan kita
agar bisa lebih efisien dan efektif bekerja. Beberapa kedutaan yang tidak
punya kepentingan langsung dan mendesak-baik secara politik maupun
ekonomi-dengan masa depan Indonesia, ada baiknya dihapus atau dialihfungsikan
untuk kepentingan yang lebih tepat. Untuk negara-negara yang secara
geopolitik memiliki kesamaan, seperti negara-negara yang berada di Afrika
yang jumlahnya puluhan, negara-negara Amerika Latin, dan negara-negara
Semenanjung Balkan, tidak perlu masing-masing punya kedutaan.
Beberapa
negara di antaranya, dengan diwakili Konsul Jenderal, sudah dianggap memadai,
atau bisa juga diwakili seorang atase kementerian yang disesuaikan dengan
pembidangan yang dibutuhkan. Bahkan di beberapa negara yang dinilai tidak
penting peranannya bagi Indonesia, cukup diwakili seorang honorary counselor yang diambil dari
ekspatriat atau warga negara Indonesia yang hidup berkecukupan (mapan) dan tinggal di negara tersebut.
Para honorary counselor, karena dipilih dari WNI yang sudah berkecukupan,
mereka tidak perlu digaji, hanya dengan diberi surat kuasa untuk mewakili RI
saat menghadiri acara-acara penting dan kenegaraan, mereka tentu sudah cukup
bangga dan senang.
Menempatkan
duta besar dengan pertimbangan semata-mata untuk menjalin hubungan historis
(menyangkut nostalgia masa lalu yang sudah tak lagi relevan) sudah waktunya
diminimalkan. Apalagi hanya semata-mata pertimbangan politik untuk
mendapatkan suara dalam pengambilan keputusan di sidang-sidang organisasi
internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang sama sekali
bukan alasan yang urgen.
Dalam
salah satu sesi debat calon presiden, Jokowi pernah mengungkapkan perlunya
memaksimalkan peran duta besar, terutama dalam bidang ekonomi. Menurut
Jokowi, diplomasi bidang ekonomi tidak kalah penting dengan diplomasi
politik. Duta besar merupakan pemasar bagi produk-produk ekonomi, baik
manufaktur maupun ekonomi kreatif. Dengan cara seperti inilah dunia mengenal
Indonesia dengan baik, sebagai negara yang mampu memproduksi barang-barang
yang layak beli, yang kualitasnya tidak kalah dengan barang-barang produk
negara-negara maju yang sudah menguasai pasar dunia.
Di
negara-negara yang menampung banyak tenaga kerja Indonesia (TKI), seperti
Malaysia, Hong Kong, Korea Selatan, dan negara-negara Timur Tengah, peranan
kedutaan juga perlu ditingkatkan, terutama untuk mengadvokasi agar TKI punya
daya tawar yang tinggi, tidak mudah terkena kasus-kasus hukum.
Itulah
beberapa hal penting guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas kedutaan
besar RI di luar negeri. Tidak mudah dilakukan, tapi dengan niat baik dan
kerja keras, semua bisa dilakukan. Political will dari pemerintah (Jokowi-JK)
akan menjadi kunci yang menentukan keberhasilan upaya ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar