Bisnis
Kekerasan
Achmad Fauzi ;
Aktivis
Multikulturalisme
|
KORAN
TEMPO, 16 September 2014
Layaknya
mafia, lalu lintas perdagangan dan bisnis di Tanah Air kini banyak
menggunakan jasa keamanan (baca: preman). Tujuannya, supaya sektor usaha yang
digeluti memiliki posisi tawar dan disegani banyak orang. Padahal sisi gelap
kehidupan preman tidak bisa dilepaskan dari kejahatan dan pelanggaran
ketertiban umum.
Preman
berasal dari bahasa Belanda, yakni vrijman, yang artinya orang bebas,
merdeka. Di Indonesia, preman dikonotasikan menjadi manusia bebas yang tak
beraturan. Simaklah rentetan peristiwa penagihan utang oleh debt collector
yang sempat menghebohkan jagat publik. Atau perebutan lahan parkir, klub
malam, dan konflik perjudian antargeng yang berdarah-darah.
Di
Jakarta saja, kini harga keamanan sudah semakin mahal. Di kawasan Tugu Monas,
yang terletak di depan istana kepresidenan, misalnya, aksi premanisme yang
berakibat tragis pernah terjadi. Juru parkir tewas karena dibakar oleh
anggota TNI hanya karena uang "jatah preman" yang dia setorkan
dinilai kurang. Aparat yang seharusnya menjalankan tugas melindungi
masyarakat dan menjaga keamanan justru menjadi bagian organik dari jaringan
premanisme. Ini sangat keterlaluan.
Kabar
terbaru, sedikitnya 16 pemuda yang diduga preman ditangkap aparat gabungan
Polda Metro Jaya lantaran menduduki lahan di kawasan waduk Ria Rio yang
notabene menjadi aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tindakan mereka
sangat meresahkan. Beberapa senjata tajam disita polisi, seperti sabit,
samurai, pisau, dan linggis kecil. Aksi premanisme di ruang publik telah
mencapai derajat mengkhawatirkan. Perlu didalami, siapa dalang dari tindakan
premanisme tersebut dan apa motifnya. Tindakan tegas adalah pilihan tepat.
Tanpa
disadari, di negeri ini premanisme tersebar di berbagai sektor kehidupan.
Ruang publik digelayuti trauma dan kengerian mendalam karena preman
berkeliaran tanpa kontrol. Kelompok preman telah membangun bisnis kekerasan
berkedok jasa pengamanan demi mencari keuntungan ekonomi. Sektor-sektor
strategis, seperti penagihan utang, penjagaan pasar dan tempat hiburan, serta
pengamanan lahan sengketa dan parkir, dikuasai oleh para preman yang
berafiliasi dengan kelompok tertentu. Bahkan tak jarang preman menjadi
pembunuh bayaran guna menghabisi nyawa seseorang atau kelompok atas
permintaan pihak tertentu.
Disinyalir
bisnis kekerasan tersebut semakin kuat dan menjamur karena pelaku dilindungi
oleh oknum aparat untuk tujuan tertentu. Bahkan bisa saja mereka bekerja sama
dengan poros kekuatan politik.
Fenomena
bisnis keamanan tersebut acap kali menimbulkan gesekan dan keributan
antarkelompok preman, karena perebutan lahan kekuasaan. Akibatnya, masyarakat
dihantui rasa takut dan resah karena di semua lini disesaki oleh aksi
premanisme. Jika kekerasan telah menjadi lahan bisnis, sifat manusia sebagai
makhluk ekonomi yang rakus tidak terbantahkan. Ia tak lagi mempedulikan adab,
aturan hukum, dan kepentingan umum. Inilah paradoks pembangunan sistem
ekonomi-politik paling nyata yang mempengaruhi perilaku manusia, di mana
martabat manusia dijadikan sebagai salah satu alat produksi sistem kapitalis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar