Mundur
Tak Gentar
Anton Kurnia ;
Penulis
|
KORAN
TEMPO, 15 September 2014
Belakangan
ini kita diganggu oleh wacana sebagian anggota DPR dan politikus-terutama
dari partai-partai pendukung koalisi Merah Putih-yang ingin merevisi
Undang-Undang Pilkada. Mereka berharap kepala daerah tak lagi dipilih secara
langsung, melainkan dipilih oleh para anggota DPRD.
Wacana
ini serentak mendapat kecaman dan tentangan dari berbagai elemen masyarakat.
Di media sosial, pernyataan tak setuju begitu marak. Bahkan, beredar petisi
menolak wacana yang dianggap merampas hak politik rakyat dan langkah mundur
dalam berdemokrasi itu. Sejumlah kepala daerah yang dianggap berprestasi dan
terpililih melalui pemilihan langsung oleh rakyat pun menyatakan
ketaksetujuan mereka secara terbuka, misalnya Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Namun
reaksi paling keras dan tegas dinyatakan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta yang tak lama lagi akan dilantik menjadi
gubernur. Pada 9 September lalu, dia menyatakan akan mundur dari partainya,
Gerindra, jika wacana perubahan UU Pilkada itu terus digulirkan. Esok
harinya, dia benar-benar melaksanakan ucapannya. Dia membuktikan diri bukan
seorang tukang gertak penebar omong kosong. Dia menyerahkan surat pengunduran
dirinya dari Gerindra dan mengembalikan kartu keanggotaan partai yang ia
miliki.
Langkah
tegas Ahok ini jelas merupakan tamparan bagi Gerindra. Ahok berkata,
"Saya akan buktikan tanpa dukungan partai pun saya akan didukung oleh
rakyat." Sebelumnya, dengan logika sederhana, dia membuat pernyataan
yang menohok dan sepantasnya membuat malu orang-orang partai yang sibuk
kasak-kusuk mencari keuntungan bagi kelompoknya meski dengan jalan mengorbankan
hak-hak rakyat. "Kalau saya dipilih DPRD, maka tiap hari cuma mikir
bagaimana caranya baik-baikin DPRD. Bukannya mikirin rakyat jadinya, tapi
malah mikirin DPRD."
Argumentasi
para pendukung perubahan UU Pilkada bahwa pemilihan oleh DPRD akan menghemat
dana triliunan rupiah kurang tepat karena bukan itu substansi persoalan yang
ada. Rakyat berhak memilih dan menilai langsung para pemimpinnya. Hak politik
rakyat untuk memilih dan dipilih dilindungi konstitusi. Selain itu,
menyerahkan hak pilih rakyat untuk diwakili para anggota parlemen yang
terbukti korup justru membuka peluang kian parahnya politik uang.
Yang
mendesak perlu dibenahi justru Undang-Undang Partai Politik agar partai
politik bisa menjadi representasi aspirasi politik rakyat banyak, bukan
kendaraan politik dan ekonomi segelintir orang demi mengeruk kekayaan negara
melalui legitimasi parlementer. Adapun untuk menangkal politik uang, yang
harus dilakukan adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Pemilihan
langsung juga akan menghambat tumbuhnya feodalisme, di mana hanya para
politikus tertentu atau orang-orang yang punya kedekatan sosial-ekonomi
dengan elite partai yang bisa dicalonkan sebagai kepala daerah. Kita
membutuhkan para pemimpin tegas, berani, dan lurus seperti Ahok dan Jokowi. Pemimpin
yang bisa dipilih secara langsung oleh rakyat, berasal dari rakyat (bukan
elite partai), peka terhadap permasalahan rakyat, dan mau bekerja keras untuk
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar