Serat
Jayengbaya
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
SUARA
MERDEKA, 12 Juli 2014
DI Jawa, Ranggawarsita (1802-1873) pernah menggubah teks sastra parodi
berjudul Serat Jayengbaya. Publik sering menganggap Ranggawarsita pujangga
berpaham mistisisme Islam Jawa. Puisi-puisi gubahannya kerap dikutip untuk
kepentingan politik, spiritualitas, sosial kultural, dan pendidikan, dari
masa ke masa.
Soekarno memberikan penghormatan atas peran dan pengaruh ”sang pujangga
agung”, mewujudkannya melalui peresmian patung kepala pujangga itu di depan
Museum Radya Pustaka Solo, 11 November 1953. Kata Soekarno,’’ Dari
utjapan-utjapan Ranggawarsita itu ternjata bahwa benar-benar Beliau itu pudjangga
rakjat. Bukan pudjangga satu golongan, walaupun Ranggawarsita pegawai
keraton, Beliau bukan pudjangga keraton sadja. Beliau adalah pudjangga
rakjat.’’
Ranggawarsita memang berpredikat pujangga rakyat tapi memiliki empati
kerakyatan (Kamadjaja, Zaman Edan, 1964).
Di keraton, Ranggawarsita mengabdi ke raja namun berpihak ke misi kerakyatan.
Kehidupan di lingkungan kekuasaan justru memberi rangsangan menggubah sastra
berisi kritik, renungan, parodi, dan protes.
Jayengbaya digubah saat Ranggawarsita masih berusia 20-an tahun. Dia
menggunakan tokoh bernama Jayengbaya untuk bermain pengandaian menjalani
hidup dengan kemakmuran, kenikmatan, kebahagiaan, dan popularitas. Pelbagai
keinginan muncul saat Jayengbaya melamun dari hari ke hari. Ia selalu berganti
obsesi peran atau pekerjaan, bergantung keuntungan dan kerugian.
Ada puluhan jenis pekerjaan diinginkan tapi batal akibat
ketakutan-ketakutan mendapat petaka atau kematian. Jayengbaya tak mau
menanggung risiko, berharap selalu mendapat keuntungan. Titik akhir dari
lamunan adalah obsesi menjadi Tuhan. Lamunan memang berujung ke
perkara-perkara tak masuk akal.
Kehadiran Serat Jayengbaya adalah representasi kondisi kehidupan di
Jawa saat berlangsung modernisasi. Ranggawarsita menjadi pengamat, berlanjut
menulis pelbagai lakon manusia menghadapi perubahan zaman. Martabat manusia
ditentukan kesanggupan memiliki kerja dan menampilkan diri dalam kehidupan
sosial. Di Jawa, orang-orang berharapan mendapat pekerjaan pantas, berdalih
nafkah dan kehormatan.
Solo sebagai ”kota modern” bentukan pemerintah kolonial dan kerajaan
mulai bergeliat, memunculkan persoalan pelik dalam urusan politik, sosial,
kultural, ekonomi, agama. Orang-orang
ingin mengalami dan mengartikan zaman modern dengan pekerjaan. Jenis-jenis
pekerjaan lawas telah bertambah dengan keprofesian modern akibat modernisasi.
Agenda bekerja membuat orang bersaing memperebutkan posisi dan harta.
Menjadi
Referensi
Ranggawarsita mengingatkan agar orang-orang mementingkan keselamatan
dan kesusilaan ketimbang mengumbar keserakaham atau kesombongan. Dia
mempersembahkan Serat Jayengbaya supaya orang-orang tak jatuh dalam kerusakan
dan aib. Jayengbaya ingin menjadi dalang, lurah, penjahit, pedagang, penjudi,
pengemis, dan guru. Pelbagai pekerjaan dan peran diinginkan si pelamun.
Pekerjaan mengandung pengertian kewajiban, uang, derita, dan kenikmatan.
Gambaran Jawa abad XIX ada dalam lamunan Jayengbaya. Kesadaran uang,
kelas sosial, gaya hidup mendapat ejekan dramatis dari Ranggawarsita. Zaman
selalu berubah. Pekerjaan sebagai pengabdian, ekspresi kebaikan, laku
kemanusiaan telah berubah menjadi perhitungan untung dan rugi. Pekerjaan tak
menjadi ejawantah kebermaknaan manusia.
Pekerjaan justru membuat manusia abai identitas, etika, religiositas,
dan toleransi sosial.
Serat Jayengbaya tak pudar makna saat dibaca sekarang. Nasihat bercorak
parodi itu masih pantas dipakai sebagai referensi di Indonesia.
Jayengbaya tak mau mati. Pada lamunan berbeda, ia malah ingin menjadi
pengemis dan orang gila. Pengemis dianggap tak memiliki beban bekerja, bisa
makan dari pemberian orang. Pilihan jadi orang gila juga mengandung maksud
bebas berulah tanpa rikuh dengan perintah atau umpatan. Pengemis dan orang
gila adalah predikat ironis saat zaman menguak puja uang dan popularitas.
Ranggawarsita sengaja menampilkan lamunan menjadi pengemis dan orang gila
supaya ada oposisi dari lamunan menjadi pejabat, pedagang, guru.
Sekarang, hasrat bekerja menimbulkan persaingan sengit, dari pilihan
sekolah sampai permainan uang sogokan. Situasi abad XIX tentu berbeda dari
abad XXI. Kita tetap bisa mengingat parodi Ranggawarsita untuk melihat ulah
orang-orang bertaruh diri mendapat pekerjaan dan jabatan. Mereka sudah
menjadi dosen, pengusaha, artis, tapi ingin berlanjut menjadi penghuni gedung
parlemen dan seterusnya.
Pilihan mengandung risiko. Obsesi tak terpenuhi mengakibatkan malu,
miskin dan sebagainya. Mereka mirip Jayengbaya, menginginkan pelbagai peran
dan pekerjaan. Konon, mereka siap menanggung risiko andai gagal pun. L
Mardiwarsito (1988) mengingatkan tentang kebermaknaan Serat Jayengbaya, ’’...berusaha keras mencari kemajuan,
kebahagiaan hidup, tetapi harus bijaksana, menerima nasib dalam kerendahan
hati.” ●
|
MANA NASKAHNYA M
BalasHapusAS