Penguatan
Pengawasan Koperasi
Susidarto ; Praktisi Perbankan, Mantan Pengurus Koperasi
|
SUARA
MERDEKA, 12 Juli 2014
SALAH satu penyebab kemunculan banyak koperasi papan nama, koperasi
gadungan/ palsu (koperasi pseudo), bahkan koperasi gelap adalah masih
lemahnya fungsi pengawasan, baik internal maupun eksternal. Banyak koperasi
belum memiliki badan pemeriksa independen (internal). Kalaupun ada, fungsi
itu belum optimal. Terlebih pengawasan eksternal dari Kemenkop dan UKM sangat
lemah. Mereka lebih bertindak reaktif, bukan proaktif. Intinya, koperasi di
Indonesia belum optimal terawasi.
Padahal fungsi pengawasan sangatlah penting. Dewan pengawas atau
pemeriksa menjadi ujung tombak mendeteksi ketidakwajaran operasional
koperasi. Bahkan, mampu mendeteksi dini berbagai bentuk penyimpangan keuangan
dan kenakalan pengurus (fraud).
Mereka ibarat ìpolisiî internal sehingga bisa meminimalisasi praktik
petualangan yang hanya ingin meraih keuntungan di balik aktivitas koperasi.
Kehadiran dewan pemeriksa atau pengawas dapat membatasi ruang gerak petualang
koperasi.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan belum berfungsinya badan pemeriksa
secara optimal. Pertama; belum tumbuh kesadaran pentingnya pengawasan. Hal
ini terjadi akibat banyak koperasi terbentuk secara top down. Berbeda dari
pola bottom up mengingat sebuah
koperasi memang tumbuh dari bawah karena menjadi kebutuhan para anggota.
Terutama untuk menghadapi ancaman (baik tengkulak maupun pemburu rente
lainnya).
Adapun koperasi palsu biasanya dibentuk oleh oknum atau petualang, dan
kemudian baru mencari anggota. Mengingat memang tujuannya berbeda, koperasi
palsu tersebut biasanya tidak memerlukan kehadiran pengawas, yang dianggap
membatasi akan ruang gerak mereka untuk ’’bermanuver’’.
Penguatan pengawasan internal menjadi penting karena tuntutan zaman.
Urgensi keberadaan pengawas koperasi terlihat dari keharusan nama mereka
masuk dalam akta pendirian. Bahkan, UU tentang Koperasi juga menyinggung
persyaratan jajaran pengawas secara lengkap, termasuk tugas dan fungsinya.
Berdasarkan regulasi tersebut, independensi pengawas lebih dipertajam. Bahkan
dewan pengawas berwenang meminta bantuan akuntan publik untuk mengaudit
keuangan.
Kedua; keterbatasan anggota badan pemeriksa. Kalaupun beberapa koperasi
sudah memiliki dewan pemeriksa, mutu dan tingkat kemampuan anggota badan
tersebut sangat terbatas. Hal ini terkait dengan kekurangsadaran akan arti
penting kehadiran pengawasan koperasi, sehingga kualitas SDM diabaikan atau
dinomorsekiankan.
Ada kecenderungan, anggota yang berkualitas dijadikan pengurus,
sementara ’’sisanya’’ dijadikan dewan pengawas (pemeriksa). Bahkan tak jarang
pengawas dipandang hanya sebagai kedudukan kehormatan sehingga keanggotaannya
pun disediakan bagi orang-orang terpandang di lingkungannya. Jadi, ada
kemungkinan mereka tak memiliki kemampuan yang memadai untuk menjadi
pengawas.
Ketiga; keahlian dan alat perlengkapan anggota pengawas sangatlah
terbatas. Terkait dengan persoalan ini adalah tidak tersedianya SDM yang
memiliki keahlian audit dan tidak adanya alat yang memadai. Alat yang
diperlukan adalah ketersediaan laporan pembukuan (keuangan) yang memadai.
Risiko
’’Fraud’’
Selama ini, banyak koperasi menyusun laporan keuangan secara
asal-asalan. Terbatasnya tenaga terampil koperasi, terutama di bidang
keuangan (akibat keterbatasan kemampuan remunerasi karyawan), mengakibatkan
kemunculan laporan keuangan yang alakadarnya,
jauh dari akuntabilitas. Bahkan sering tidak terpikirkan untuk
menyusun laporan keuangan.
Dengan kondisi peralatan yang sangat tidak memadai maka hampir mustahil
bagi dewan pengawas untuk melaksanakan tugas dengan baik. Mereka justru
sering terjebak bukan dalam auditing,
melainkan sering dimintai tolong ikut menyusun laporan keuangan koperasi (reporting) yang semestinya dilakukan
manajer keuangan.
Kondisi semacam ini jelas tidak sehat karena fungsi auditing akhirnya
menjadi bias. Dalam kondisi semacam ini, bukan tidak mungkin justru tercipta
kemunculan kerawanan-kerawanan yang bisa memancing tindak kejahatan (fraud). Untuk itu, koperasi harus
menyiapkan badan pengawas juga mempunyai personel berkompeten untuk menyusun
administrasi pembukuan (keuangan).
Dengan kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengawasan koperasi akan
lebih optimal, terutama dari eksternal, yang selama ini tidak ada. OJK
memiliki organ untuk mengawasi lembaga keuangan nonbank (khususnya lembaga
keuangan mikro), dalam hal ini koperasi simpan pinjam, yang selama ini banyak
melakukan fraud. Penguatan pengawasan koperasi, baik dari sisi internal
maupun eksternal, merupakan keniscayaan dalam waktu dekat.
Tidak ada kata terlambat. Gerakan koperasi harus mulai memikirkan arti
pentingnya kehadiran pengawas. Mungkin awalnya bisa dilakukan bersama-sama,
melalui koperasi sekunder (beberapa koperasi) sehingga biayanya pun bisa
ditanggung secara kolektif. Caranya juga dengan membentuk pengawasan koperasi
kolektif. Co-operative auditing
association merupakan jalan keluarnya. Mereka inilah yang nantinya
memeriksa secara lebih mendalam koperasi-koperasi peserta. Dengan pola
semacam itu, kendala biaya dapat teratasi. Dirgahayu ke-67 koperasi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar