Minggu, 22 Juni 2014

Orang Nomor Satu

Orang Nomor Satu

Taufik Ikram Jamil  ;   Sastrawan
KOMPAS, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TENTU saja boleh bila kawan saya, Abdul Wahab yang bertempat tinggal nun jauh di sebuah pulau dalam kawasan Selat Melaka sana, ikut merisaukan suasana pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia tahun 2014 ini. Bukan karena ejek-mengejek atau sudut-menyudut di antara mereka yang bersaing untuk kursi kepresidenan sehingga dapat mengundang kerawanan sosial, tetapi ini berkaitan dengan bahasa.

Apa pasal? Rupanya kita sebagai masyarakat selalu disebut memilih orang nomor satu di negeri ini. Ya, kan, presiden disebut sebagai orang nomor satu, sedangkan wakil presiden disebut sebagai orang nomor dua. Lalu, orang nomor tiga, nomor empat, dan seterusnya siapa serta dengan cara apa kita menentukannya? Begitulah Wahab bertanya dalam SMS yang ia kirim kepada saya melalui telepon genggam.

Setelah membaca untaian SMS Wahab selanjutnya, tahulah saya bahwa kerisauan kawan lama ini baru terungkap sekarang hanya disebabkan momen—maklumlah, bangsa ini sedang sibuk memilih presiden dan wakil presiden.

Frase ”memilih orang nomor satu” itu sebenarnya acap kali didengar di daerah, malahan berkali-kali setiap tahun setelah Orde Baru tumbang. Seiringan dengan Reformasi, pemegang jabatan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, ketika memilih gubernur, masyarakat pun disebut memilih orang nomor satu di provinsi itu. Begitu juga memilih bupati dan wali kota disebut memilih orang nomor satu di kabupaten maupun di kota bersangkutan. Sebutan ”orang nomor dua” diperuntukkan bagi wakil gubernur atau wakil bupati maupun wakil wali kota, persis dengan gelar yang melekat pada wakil presiden.

Meski tidak asing dalam konvensi bahasa, sebutan ”orang nomor satu” merisaukan Wahab karena menyangkut nilai makna yang terkandung dalam kumpulan kata tersebut. Disebut orang nomor satu di Indonesia, hal itu bermakna sebagai pemegang urutan teratas dari sekitar 250 juta penduduk di negeri ini. ”Menjadi pertanyaan, apakah mereka memang berada teratas dalam dimensi kemanusiaan atau orang?” kata Wahab.

Wahab menulis bahwa dimensi orang berkaitan dengan banyak hal seperti religiositas, sosial, kesenian, bahasa, politik, dan ekonomi. Dengan sebutan ”mencari orang nomor satu”, kesannya adalah bahwa mereka yang dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden seperti dinobatkan melebihi orang lain dalam dimensi mereka sebagai orang.

Dia kemudian menulis, ”Kalau berkaitan dengan posisi pemerintahan atau jabatan, kenapa tidak disebutkan bahwa kita sedang mencari pemegang jabatan nomor satu di Indonesia untuk pemilihan presiden, begitu seterusnya sampai ke daerah. Aku pikir sebutan pejabat nomor satu lebih tepat karena ukurannya jelas, yakni pejabat atau pemegang jabatan. Presiden, gubernur, bupati, wali kota itu kan nama-nama jabatan?”

Singkatnya Wahab tidak berkenan bahwa presiden disebut sebagai orang nomor satu di negeri ini. Begitu juga gubernur, bukan orang nomor satu di provinsi, dan bupati atau wali kota bukanlah orang nomor satu di kabupaten serta di kota tertentu. Mereka adalah pejabat nomor satu di sebuah negara bagi presiden, pejabat nomor satu di provinsi untuk gubernur, dan seterusnya dan seterusnya. Suai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar