Selasa, 03 Juni 2014

Kecamuk dalam Damai

Kecamuk dalam Damai

Achmad Fauzi  ;   Alumnus UII Yogyakarta
TEMPO.CO,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X  baru saja menerima penghargaan dari Jaringan Antariman Indonesia sebagai tokoh peduli kebebasan beragama (23/5). Sebagai kepala daerah, Sultan dinilai memiliki komitmen besar melindungi  hak asasi kaum minoritas melalui  program non-diskriminatif dan menunjang terciptanya kondisi kebebasan beragama. Kebijakan Sultan seolah menjadi antitesis dari menjamurnya peraturan daerah di beberapa tempat yang cenderung diskriminatif dan menindas kelompok agama tertentu. Misalnya ihwal pendirian tempat ibadah, pengusiran kelompok tertentu yang difasilitasi pemda, dan sebagainya.

Yogyakarta juga dianggap sebagai miniatur kota perdamaian karena keberhasilannya mengelola konflik horizontal  secara adil serta memberi jaminan konstitusional bagi seluruh penganut agama dan kepercayaan untuk melaksanakan ibadah, tanpa intimidasi. Dua kepala daerah lainnya yang turut memperoleh penghargaan antara lain Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin dan Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arif.

Namun, tak berselang lama, iklim toleransi di DIY terusik oleh peristiwa penyerangan rumah Direktur Penerbitan Galang Press, Julius Felicianus, di Kecamatan Ngaglik, Sleman (29/5). Ikatan kebinekaan terberai. Sekelompok preman berjubah secara membabi-buta menyerang jemaah yang sedang melakukan doa rosario menggunakan potongan besi dan alat setrum. Beberapa anggota jemaah terluka, wartawan, termasuk Julius Felicianus.

Kejadian ini mengindikasikan bahwa di zona yang notabene memiliki tingkat toleransi dan kesantunan berbudaya tinggi juga tersimpan bara intoleransi yang siap meledak setiap saat. Ada kecamuk dalam damai. Hal inilah yang dikhawatirkan Sultan ketika menerima penghargaan di Sentani, Papua, beberapa waktu lalu. Sultan mengatakan multikultularisme adalah fenomena yang alami di Indonesia. Sehingga jangan hanya dipahami dari aspek positifnya. Sisi gelap reformasi, yaitu munculnya kelompok masyarakat yang cenderung intoleran dan antidemokrasi, juga harus diwaspadai segenap unsur pimpinan dan masyarakat.

Kini, Sri Sultan ditantang menunjukkan peran dan keberpihakannya kepada pihak-pihak yang menjadi korban kekerasan. Penegak hukum perlu terus didorong untuk menangkap pelaku, mengungkap motif, serta menghukum seberat-beratnya agar peristiwa serupa tak terjadi lagi. Sebagai tokoh dan pemimpin karismatik  yang memiliki legitimasi kultural di Yogyakarta, Sultan diharapkan mampu meredam gejolak sosial yang bermuara pada penggunaan kekerasan. 

Tak ada agama mana pun yang membenarkan kekerasan sebagai jalan lurus menuju surga. Kekerasan adalah neraka bagi kehidupan. Barangsiapa menaklukkan kelompok lain dengan cara tuna adab dan mengalpakan etika kemanusiaan, maka baginya semua kutukan, dosa, dan kenistaan. Tapi kenapa kekerasan berbau agama selalu muncul?

Terus berulangnya penyerangan terhadap kelompok yang sedang beribadah menandakan bahwa masyarakat belum mampu menerjemahkan diri di tengah kehidupan beragama yang berbeda. Budaya ketertutupan masih dipelihara meski menyimpan sejuta prasangka. Karena curiga, maka setiap kegiatan suatu agama dipersepsikan sebagai ancaman bagi agama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar