Kecamuk
dalam Damai
Achmad
Fauzi ; Alumnus UII Yogyakarta
|
TEMPO.CO,
02 Juni 2014
Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X baru saja menerima penghargaan dari
Jaringan Antariman Indonesia sebagai tokoh peduli kebebasan beragama (23/5).
Sebagai kepala daerah, Sultan dinilai memiliki komitmen besar melindungi hak asasi kaum minoritas melalui program non-diskriminatif dan menunjang
terciptanya kondisi kebebasan beragama. Kebijakan Sultan seolah menjadi
antitesis dari menjamurnya peraturan daerah di beberapa tempat yang cenderung
diskriminatif dan menindas kelompok agama tertentu. Misalnya ihwal pendirian
tempat ibadah, pengusiran kelompok tertentu yang difasilitasi pemda, dan
sebagainya.
Yogyakarta
juga dianggap sebagai miniatur kota perdamaian karena keberhasilannya
mengelola konflik horizontal secara
adil serta memberi jaminan konstitusional bagi seluruh penganut agama dan
kepercayaan untuk melaksanakan ibadah, tanpa intimidasi. Dua kepala daerah
lainnya yang turut memperoleh penghargaan antara lain Gubernur Kalimantan
Selatan Rudy Ariffin dan Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arif.
Namun,
tak berselang lama, iklim toleransi di DIY terusik oleh peristiwa penyerangan
rumah Direktur Penerbitan Galang Press, Julius Felicianus, di Kecamatan
Ngaglik, Sleman (29/5). Ikatan kebinekaan terberai. Sekelompok preman
berjubah secara membabi-buta menyerang jemaah yang sedang melakukan doa
rosario menggunakan potongan besi dan alat setrum. Beberapa anggota jemaah
terluka, wartawan, termasuk Julius Felicianus.
Kejadian
ini mengindikasikan bahwa di zona yang notabene memiliki tingkat toleransi
dan kesantunan berbudaya tinggi juga tersimpan bara intoleransi yang siap
meledak setiap saat. Ada kecamuk dalam damai. Hal inilah yang dikhawatirkan
Sultan ketika menerima penghargaan di Sentani, Papua, beberapa waktu lalu.
Sultan mengatakan multikultularisme adalah fenomena yang alami di Indonesia.
Sehingga jangan hanya dipahami dari aspek positifnya. Sisi gelap reformasi,
yaitu munculnya kelompok masyarakat yang cenderung intoleran dan
antidemokrasi, juga harus diwaspadai segenap unsur pimpinan dan masyarakat.
Kini,
Sri Sultan ditantang menunjukkan peran dan keberpihakannya kepada pihak-pihak
yang menjadi korban kekerasan. Penegak hukum perlu terus didorong untuk
menangkap pelaku, mengungkap motif, serta menghukum seberat-beratnya agar
peristiwa serupa tak terjadi lagi. Sebagai tokoh dan pemimpin karismatik yang memiliki legitimasi kultural di
Yogyakarta, Sultan diharapkan mampu meredam gejolak sosial yang bermuara pada
penggunaan kekerasan.
Tak ada
agama mana pun yang membenarkan kekerasan sebagai jalan lurus menuju surga.
Kekerasan adalah neraka bagi kehidupan. Barangsiapa menaklukkan kelompok lain
dengan cara tuna adab dan mengalpakan etika kemanusiaan, maka baginya semua
kutukan, dosa, dan kenistaan. Tapi kenapa kekerasan berbau agama selalu
muncul?
Terus
berulangnya penyerangan terhadap kelompok yang sedang beribadah menandakan
bahwa masyarakat belum mampu menerjemahkan diri di tengah kehidupan beragama
yang berbeda. Budaya ketertutupan masih dipelihara meski menyimpan sejuta
prasangka. Karena curiga, maka setiap kegiatan suatu agama dipersepsikan
sebagai ancaman bagi agama lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar