Ahok,
Monas, dan PRJ
JJ
Rizal ; Sejarawan
|
TEMPO.CO,
19 Juni 2014
Jakarta
Fair Kemayoran dianggap "murtad" dari raison d'etre atau alasan menjadinya ketika dibuat oleh Ali
Sadikin pada 1968 di Monas. Sebab itu, pemda Jakarta pun bikin tandingannya.
Bukan hanya menyediakan 2.000 stan lebih untuk industri kecil, tapi juga
ruang bagi kaki lima. Tiket masuk gratis. Untuk menguatkan ruh aslinya,
pelaksanaannya pun dilakukan di Monas. Tapi, apakah suara kritis Jokowi-Ahok
cerminan dari pikiran Ali Sadikin tentang PRJ? Apakah hasrat Jokowi-Ahok itu
juga mencerminkan fungsi yang dikonsepsikan Sukarno sebagai "arsitek
bangsa Indonesia" sekaligus arsitek Monas?
Di dalam
biografi Bang Ali Demi Jakarta,
dinyatakan PRJ diniatkan menjadi "wadah
menghidupkan produksi kita yang kuat maupun yang lemah". Sekaligus
usaha pemda DKI menambah tempat-tempat hiburan serta rekreasi murah bagi
warga Jakarta. Dalam konteks ini, keluhan Jokowi-Ahok kepada JIExpo sebagai
penyelenggara Jakarta Fair tepat.
Tapi
keliru memindahkannya dan atau bikin lagi yang baru di Monas. Sebab, Bang Ali
tidak pernah mengangankan PRJ atau kegiatan bisnis apa pun di Monas. Kalau
PRJ pernah di Monas, itu sementara. Bang Ali telah menyiapkan lahan permanen
41 hektare di area Ancol. Sebab, ia sadar betul ide Sukarno, bahwa Monas
adalah pusat Jakarta sekaligus Indonesia. Sukarno mewanti-wanti, di
sekeliling Monas tak boleh dijadikan tempat bisnis. Sebab, di sana, menurut
Bang Ali sebagaimana dipesankan oleh Sukarno, "Seharusnya terdapat bangunan-bangunan yang jadi kebanggaan
provinsi dan pemerintah Indonesia. Monas harus hijau dan dikelilingi gedung
kebudayaan nasional, meliputi galeri juga teater, museum nasional dan lokal
Jakarta."
Pernyataan
Bang Ali itu mengingatkan kembali pesan Sukarno tentang Monas sebagai bagian
tujuan pembangunan Jakarta, Ibu Kota yang memikul tugas nation and character building. Monas, sebagaimana disampaikan
Sukarno kepada Gubernur Jakarta Henk Ngantung, adalah bagian dari ibu kota
yang merupakan manifestasi tujuan "perjuangan
kita (Revolusi, Proklamasi, Pergerakan Nasional)". Sebagaimana
Jakarta, maka Monas bagian dari "Lima
P" (perut, pakaian, perumahan,
pergaulan, dan pengetahuan) yang menjadi "kebutuhan absolut rakyat". Monas memainkan fungsi
pergaulan dan pengetahuan yang "di dalam itu termasuklah pula
'pembudayaan', zin voor hogere cultuur
(minat untuk kebudayaan yang tinggi)".
Sukarno pun menyatakan, "kebahagiaan hidup karena tercukupi perut,
pakaian, perumahan, in een omgeving van
schoonheid (dalam lingkungan yang
indah)… Sebab, untuk makan dan minum sesudah lima menit orang puas, tapi
apakah itu geluk (bahagia)?"
Jadi, Monas bagian dari "pola schoonheid,
taman yang indah" untuk kota yang cantik yang mengesankan ontroering van de ziel atau keharuan jiwa di tengah modernitasnya.
Keharuan
jiwa itulah yang dinyatakan Sukarno sebagai inti dari Monas. Sebab, ia adalah
ruang permenungan besar. Sukarno ingin setiap orang yang keluar dari Monas
bangkit keharuan jiwanya, betapa Indonesia bangsa yang hebat. Inilah fungsi
Museum Nasional di Monas, patung-patung pahlawan yang diangankan sebagai
Garden of National Heroes, jalan yang diberi nama Merdeka. Monas wahana
belajar setiap anak bangsa yang hendak menjadi manusia Indonesia. Sebab,
menjadi manusia Indonesia bukan sesuatu yang alamiah, tapi sesuatu yang
diciptakan sejarah modern yang menuntut tekad, solidaritas, kerelaan
berkorban, dan harapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar