Risma,
Islam, dan Logika Publik
Husein
Ja’far Al Hadar ; Penulis
|
TEMPO.CO,
19 Juni 2014
Kompleks
pelacuran Dolly akan ditutup Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya. Rencana
penutupannya (kebetulan) menjelang Ramadan. Kebetulan itu mengingatkan
penulis pada apa yang kerap dilakukan Front Pembela Islam (FPI) setiap
menjelang Ramadan: sweeping minuman
keras dan lokasi hiburan malam.
Walaupun
kita mengenal Risma sebagai perempuan berkerudung dan religius, tentu
penutupan Dolly bukan karena pertimbangan Islam. Sebab, Risma tahu bahwa
Indonesia bukan negara Islam. Upaya Risma itu memang islami, tapi alasannya
karena mempertimbangkan kemanusiaan yang itu diatur oleh undang-undang.
Menurut
penulis, ada pelajaran penting yang patut dipetik oleh FPI dari Risma. Apa
yang dilakukan Risma relatif sama dengan apa yang selama ini dilakukan FPI.
Perbedaannya ada pada landasannya: Risma berlandaskan undang-undang, FPI
selama ini berlandaskan Islam. Karena itu, Risma didukung oleh berbagai
pihak, termasuk Gubernur Soekarwo dan Komnas HAM. Sedangkan FPI selalu
ditentang dan dikecam.
Islam
adalah aturan yang bersifat privat. Sedangkan undang-undang adalah aturan
yang bersifat publik. Menurut penulis, kesalahan FPI adalah karena seolah
memposisikan Islam sebagai undang-undang atau menarik sesuatu yang bersifat
privat ke ranah publik. Padahal, sebagaimana ditegaskan Quran, tak ada
paksaan dalam agama. Karena itu, dalam ranah publik, FPI seharusnya tidak
mendoktrin, apalagi memaksa, masyarakat kita untuk taat dan patuh pada dogma
Islam. Namun FPI harusnya melakukan penyadaran masyarakat bahwa aturan Islam
itu baik dan layak untuk diadopsi menjadi aturan negara, tanpa harus mengubah
negara ini menjadi negara Islam.
Sebab,
seperti dikatakan ulama Mesir, Muhammad Abduh, "Aku melihat Islam di Paris, meski tidak ada orang Islam. Aku
melihat orang Islam di Kairo, tapi tak melihat Islam di sana." Apa
yang dikatakan Abduh itu juga telah dibuktikan secara ilmiah oleh akademikus
Iran, Hossein Askari, yang dari hasil penelitiannya pada November 2013 itu
justru menempatkan Irlandia sebagai negara paling islami, sedangkan Arab Saudi
justru berada di posisi ke-91.
Logika
FPI seharusnya bukan islamisasi, tapi sebaliknya: mengajukan ketentuan Islam
untuk diuji oleh publik dan negara sesuai dengan logika publik dan ketentuan
negara. Logika itu harus didasarkan pula pada keyakinan seperti yang
dikemukakan filsuf Murtadha Muthahhari, bahwa Islam itu bisa dan patut selalu
dikontekstualisasi dengan ruang dan waktu yang melingkupinya, tanpa harus
mengubah substansinya (Islam dan
Tantangan Zaman, 1996). Justru,
menurut penulis, uji publik dan negara itu penting untuk kontekstualisasi
nilai Islam dengan konteks ke-Indonesia-an dan kekinian kita.
Karena
itu, yang perlu dilakukan FPI saat ini adalah mengkaji dan membangun basis
argumentasi formal untuk mengajukan apa yang diyakininya agar bisa diterima
oleh logika publik dan ketentuan negara sebagai sesuatu yang baik dan penting
bagi publik dan negara ini. "Pertarungan"
dilakukan di tingkat logis dan formal, bukan dengan paksaan dan kekerasan.
Cita-citanya bukan membentuk negara Islam, tapi negara yang islami dengan
tegaknya nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Dengan begitu, seperti
Risma, FPI akan didukung oleh rakyat dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar