Jumat, 20 Juni 2014

Ahok, Monas, dan PRJ

Ahok, Monas, dan PRJ

JJ Rizal ;   Sejarawan
TEMPO.CO,  19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Jakarta Fair Kemayoran dianggap "murtad" dari raison d'etre atau alasan menjadinya ketika dibuat oleh Ali Sadikin pada 1968 di Monas. Sebab itu, pemda Jakarta pun bikin tandingannya. Bukan hanya menyediakan 2.000 stan lebih untuk industri kecil, tapi juga ruang bagi kaki lima. Tiket masuk gratis. Untuk menguatkan ruh aslinya, pelaksanaannya pun dilakukan di Monas. Tapi, apakah suara kritis Jokowi-Ahok cerminan dari pikiran Ali Sadikin tentang PRJ? Apakah hasrat Jokowi-Ahok itu juga mencerminkan fungsi yang dikonsepsikan Sukarno sebagai "arsitek bangsa Indonesia" sekaligus arsitek Monas?

Di dalam biografi Bang Ali Demi Jakarta, dinyatakan PRJ diniatkan menjadi "wadah menghidupkan produksi kita yang kuat maupun yang lemah". Sekaligus usaha pemda DKI menambah tempat-tempat hiburan serta rekreasi murah bagi warga Jakarta. Dalam konteks ini, keluhan Jokowi-Ahok kepada JIExpo sebagai penyelenggara Jakarta Fair tepat.

Tapi keliru memindahkannya dan atau bikin lagi yang baru di Monas. Sebab, Bang Ali tidak pernah mengangankan PRJ atau kegiatan bisnis apa pun di Monas. Kalau PRJ pernah di Monas, itu sementara. Bang Ali telah menyiapkan lahan permanen 41 hektare di area Ancol. Sebab, ia sadar betul ide Sukarno, bahwa Monas adalah pusat Jakarta sekaligus Indonesia. Sukarno mewanti-wanti, di sekeliling Monas tak boleh dijadikan tempat bisnis. Sebab, di sana, menurut Bang Ali sebagaimana dipesankan oleh Sukarno, "Seharusnya terdapat bangunan-bangunan yang jadi kebanggaan provinsi dan pemerintah Indonesia. Monas harus hijau dan dikelilingi gedung kebudayaan nasional, meliputi galeri juga teater, museum nasional dan lokal Jakarta."

Pernyataan Bang Ali itu mengingatkan kembali pesan Sukarno tentang Monas sebagai bagian tujuan pembangunan Jakarta, Ibu Kota yang memikul tugas nation and character building. Monas, sebagaimana disampaikan Sukarno kepada Gubernur Jakarta Henk Ngantung, adalah bagian dari ibu kota yang merupakan manifestasi tujuan "perjuangan kita (Revolusi, Proklamasi, Pergerakan Nasional)". Sebagaimana Jakarta, maka Monas bagian dari "Lima P" (perut, pakaian, perumahan, pergaulan, dan pengetahuan) yang menjadi "kebutuhan absolut rakyat". Monas memainkan fungsi pergaulan dan pengetahuan yang "di dalam itu termasuklah pula 'pembudayaan', zin voor hogere cultuur (minat untuk kebudayaan yang tinggi)". Sukarno pun menyatakan, "kebahagiaan hidup karena tercukupi perut, pakaian, perumahan, in een omgeving van schoonheid (dalam lingkungan yang indah)… Sebab, untuk makan dan minum sesudah lima menit orang puas, tapi apakah itu geluk (bahagia)?" Jadi, Monas bagian dari "pola schoonheid, taman yang indah" untuk kota yang cantik yang mengesankan ontroering van de ziel atau keharuan jiwa di tengah modernitasnya.

Keharuan jiwa itulah yang dinyatakan Sukarno sebagai inti dari Monas. Sebab, ia adalah ruang permenungan besar. Sukarno ingin setiap orang yang keluar dari Monas bangkit keharuan jiwanya, betapa Indonesia bangsa yang hebat. Inilah fungsi Museum Nasional di Monas, patung-patung pahlawan yang diangankan sebagai Garden of National Heroes, jalan yang diberi nama Merdeka. Monas wahana belajar setiap anak bangsa yang hendak menjadi manusia Indonesia. Sebab, menjadi manusia Indonesia bukan sesuatu yang alamiah, tapi sesuatu yang diciptakan sejarah modern yang menuntut tekad, solidaritas, kerelaan berkorban, dan harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar