Menjadikan
Sekolah Ramah Anak
Darmaningtyas ; Ketua Departemen Pendidikan dan Pebudayaan Nilai-nilai Kejuangan
45 Dewan Harian Nasional (DHN) 45, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 23 April 2014
Kasus
tindak kejahatan seksual yang menimpa anak-anak Taman Kanak-kanak (TK)
Jakarta International School (JIS) mengagetkan, sekaligus menggegerkan dunia
pendidikan negeri ini. Hal tersebut karena hal itu terjadi di sekolah yang
memiliki label internasional.
Masyarakat
selalu membayangkan, segala sesuatu yang berlabel “internasional”
serbasempurna, termasuk perlindungan terhadap anak-anaknya lebih terjaga.
Namun ternyata, penggambaran yang serbaideal itu hancur dengan kasus yang
mencuat ke publik tersebut.
Penulis
memilih menggunakan istilah “kejahatan seksual”, bukan sekadar pelecehan
seksual, karena memang yang dilakukan kepada anak-anak tersebut sudah sampai
pada tingkat kejahatan.
Pelecehan
itu bila baru sampai pada kata-kata atau sentuhan semata, tidak menimbulkan
rasa sakit, tapi menimbulkan rasa benci dan tidak suka.
Sementara
itu, yang dilakukan para pelaku ini sudah sampai sodomi kepada anak-anak. Hal
ini berdampak sakit dan traumatis kepada anak-anak. Bahkan ada korban yang
kemudian terkena herpes pascakejahatan seksual yang dialaminya. Kejahatan
tersebut juga menimbulkan perasaan ngeri, sekaligus geram pada orang tua.
Kasus
kejahatan seksual tersebut sebetulnya sudah berlangsung lama, Maret 2014,
seperti dituturkan salah satu orang tua korban yang mulai mencium kejanggalan
perilaku anaknya pada pertengahan Maret 2014. Anak tersebut sering ketakukan,
mengigau, dan berteriak saat tidur.
Namun,
si anak tidak mau bicara. Baru setelah ditemukan luka memar di perut kanan
pada 20 Maret 2014, si anak mengakui, ia menjadi korban kekerasan di toilet.
Seandainya
orang tua tidak peka terhadap perubahan perilaku anaknya, barangkali kasus
kejahatan seks di JIS tidak terungkap, terpendam lama sehingga pembuktiannya
agak sulit.
Sebetulnya,
kasus kejahatan atau pelecehan seksual di sekolah sudah sering terjadi.
Sebagai contoh, pada medio November 2012, seorang murid laki-laki MTs Negeri
Negara Kabupaten Jembrana yang berinisial SQ mengaku menjadi korban pelecehan
seksual oleh IM, seorang guru laki-laki, sebanyak empat kali.
Awal
2013, orang tua dari siswi kelas III SMA di Jakarta juga melaporkan guru yang
sekaligus wakil kepala sekolah karena sang guru telah melakukan pelecehan
seksual antara Juni-Juli 2012.
Pelecehan
seks pun terjadi terhadap seorang siswi di SMPN 28 Jakarta, setahun silam
(April 2013), yang dilakukan teman-temannya, serta direkam menggunakan kamera
handphone. Teman-teman siswi itu memaksanya berpura-pura beradegan seks
(tidak sampai melakukan hubungan seks), kemudian merekam adegan tersebut di
ruang kelas.
Ketiga
contoh yang disebutkan di atas ada yang merupakan kejahatan seksual, ada pula
yang masih sebatas pelecehan seksual. Ketika guru yang wakil kepala sekolah
dengan menggunakan otoritasnya merayu muridnya untuk berhubungan seksual, itu
bukan lagi pelecehan, melainkan sudah sampai taraf kejahatan.
Seharusnya,
guru justru melindungi anak didiknya dari segala tindak kriminalitas maupun
kejahatan lain, bukan justru memanfaatkannya guna memuaskan nafsu duniawi.
Sekadar Merek Dagang
Kasus-kasus
pelecehan dan kejahatan seksual di lingkungan sekolah maupun oleh guru/orang
yang lebih senior terhadap murid atau orang yang lebih junior yang terjadi di
beberapa tempat dan dengan waktu yang berbeda-beda itu selalu menarik
perhatian. Namun, ketertarikan itu hanya sesaat, setelah itu orang lupa
kasusnya dan lupa pula substansi pendidikan yang harus dijalankan para
stakeholders.
Praksis
pendidikan pun berjalan seperti biasa, seperti saat belum munculnya
kasus-kasus tersebut. Artinya, kasus buruk itu tidak dijadikan bahan refleksi
bagi orang tua, sekolah, dinas pendidikan, maupun kementerian terkait untuk
membenahi praksis pendidikan dalam negeri ini.
Semula
masyarakat beranggapan, kasus serupa hanya terjadi di sekolah-sekolah reguler
atau pinggiran.
Ternyata,
di sekolah internasional kasus serupa terjadi. Bahkan tragisnya, itu menimpa
anak-anak usia TK sehingga mengesankan, label “internasional” yang melekat di
dalamnya itu sekadar merek dagang, tidak mencerminkan kualitas di dalamnya.
Kualitas
yang dimaksudkan di sini bukan sekadar hasil, melainkan proses yang
memberikan rasa aman dan nyaman kepada murid-muridnya sehingga sekolah terasa
ramah buat anak-anak.
Bagi
penulis, kasus yang menimpa anak-anak TK di JIS menimbulkan pertanyaan besar,
mengingat ini pendidikan untuk anak-anak di bawah umur. Pertanyaan
sederhananya, sejauh mana jarak antara ruang kelas dengan toilet dan
bagaimana bentuk toiletnya sehingga memungkinkan petugas cleaning service
melakukan kejahatan tersebut?
Sejauh
mana pengawasan terhadap anak-anaknya sehingga saat siswa ke toilet agak lama
tidak menimbulkan kecurigaan pada guru? Bagaimana pendidikannya sehingga anak
sampai tidak bisa menceritakan pengalaman buruknya saat pergi ke toilet?
TK
pada umumnya, ruang toilet itu dibuat semiterbuka untuk memudahkan kontrol
terhadap anak saat ke toilet. Ini sekaligus mendidik anak untuk berlatih
mandiri dengan pergi ke toilet sendiri. Guru mengawasi dari jauh.
Dengan
posisi dan bentuk toilet yang semiterbuka, semestinya segala tindak
penyelewengan dapat terdeteksi secara mudah. Tapi, mengapa hal buruk tersebut
dapat terjadi di JIS? Mungkinkah secara fisik posisi dan bentuk toilet tidak
ramah terhadap anak?
Berdasarkan
berita-berita di media massa, sekolah tersebut dilengkapi CCTV di setiap
sudut yang strategis. Tapi, mengapa tidak mampu memantau pergerakan anak? Ini
cukup mengherankan penulis.
Pengalaman
mengelola TK dan pengalaman para guru TK pada umumnya, siswa TK itu adalah
anak-anak yang ceria, spontan, dan ekspresif. Bila ada sesuatu yang
membuatnya kurang nyaman atau terganggu, mereka langsung mengadu kepada
gurunya, “Bu guru, Bu guru…” Apalagi bila merasa disakiti senior dalam
toilet, biasanya mereka spontan mengadukannya kepada guru. Namun, mengapa hal
itu tidak terjadi pada siswa TK di JIS? Ini cukup mengherankan saya.
Jika
dilihat dari latar belakang keluarga, jelas orang tua mereka golongan
terpelajar dan mampu secara ekonomi. Umumnya, tingkat pendidikan orang tua
berkorelasi positif dengan tingkat keterbukaan anak. Orang tua yang
berpendidikan tinggi cenderung lebih demokratis, serta akan melahirkan
anak-anak yang terbuka dan ekspresif.
Tapi,
mengapa hal itu tidak terjadi pada siswa TK di JIS? Apakah sistem pendidikan
di sekolah itu otoriter sehingga dampaknya, guru pun otoriter terhadap murid,
kemudian murid tidak berani mengungkapkan permasalahannya?
Di
balik munculnya kasus kejahatan seks di sekolah tersebut sesungguhnya membuka
banyak pertanyaan yang perlu jawaban jelas. Ini mengingat menurut akal sehat,
kejadian tersebut mestinya tidak terjadi di sekolah yang berlabel
“internasional”.
Ketika
mendengar istilah “internasional”, sesungguhnya imajinasi kita ada pada
kesempurnaan infrastruktur yang dapat dengan mudah diakses murid, fasilitas
pendidikan yang lengkap, lingkungan yang kondusif, pendidikan yang
partisipatif, dan hasil pendidikan yang bagus.
Munculnya
kasus kejahatan seks tersebut menggugat kemapanan berpikir kita tentang berpersepsi
mengenai konsep sekolah internasional. Pemerintah pun sempat melabeli
sekolah-sekolah nasional dengan label “internasional”, meskipun baru taraf
rintisan (RSBI=rintisan sekolah bertaraf internasional).
Semoga
kasus kejahatan seksual yang terjadi di JIS membukakan mata dan hati kita
bersama bahwa merek internasional bukan jaminan serbakesempurnaan. Oleh
karena itu, jangan selalu silau dengan merek sekolah internasional.
Hal
yang paling penting adalah substansinya: memberikan perlindungan, rasa aman,
nyaman, kebebasan kepada anak untuk berekspresi serta mengemukakan
pendapatnya, sehingga anak-anak betah tinggal di sekolah. Bukan justru anak
merasa terancam di lingkungan sekolah sehingga sekolah merupakan lingkungan
yang menakutkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar