Tak
Henti Mendukung KPK
Teuku Kemal Fasya ;
Dosen FISIP Antropologi
Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe
|
SINAR
HARAPAN, 01 Februari 2014
Kerap orang keliru menggunakan istilah
“kritik” (to criticize) dan
mencampur-adukkan dengan istilah “menghina” (to insult, to humiliate). Pembolak-balikan itu dilakukan dengan
kasar dan dijadikan pembenaran dalam praktik berbahasa dan berwacana.
Kritik adalah proses mendalami
masalah untuk menemukan kebenaran, meminggirkan kekeliruan, dan melakukan
evaluasi lanjutan dengan metode terukur dan pasti.
Kritik bahkan menjadi cabang
pengetahuan tersendiri, seperti dikembangkan “mazhab Frankfurt” yang
sebenarnya berangkat dari filsafat neo-Marxisme. Mengutip pandangan Max
Horkheimer, pendiri mazhab Frankfurt, teori kritis adalah penilaian refleksif
atas masyarakat dan kebudayaan dengan menggunakan pendekatan pengetahuan
sosial dan kemanusiaan.
Mengkritik berbeda dengan
menghina. Menghina bisa dilakukan kapan saja, untuk apa saja asal mendapatkan
kesalahan termasuk merendahkan pribadi (ad
hominem). Menghina tidak terikat pada kaidah moral tertentu. Sinonim
menghina adalah menghujat, mencerca, merendahkan, mencela, dan lain-lain.
Asal Hujat
Dalam konteks “penilaian
kritis”, kalangan “anti-Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK”, seperti
ditunjukkan anggota DPR, Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
dan keluarga tersangka seperti Rizal Mallarangeng dapat dimasukkan ke dalam
term kedua.
Sikap ini dapat dikatakan jauh
dari model kritik elegan, suara cenderung memaki, menghujat pribadi, bahkan
memiliki kecenderungan untuk mendelegitimasi lembaga yang kini menjadi
satu-satunya kepercayaan publik.
Ironisnya, advokat senior dan
sekaligus penggagas KPK, Adnan Buyung Nasution, ikut “membantai” KPK yang
dituduh melenceng jauh dari rencana pemberantasan korupsi yang benar. Ia
bahkan menyerukan membubarkan KPK.
Publik tentu saja harus
mengambil jarak dengan model wacana seperti ini. Dalam filsafat posmodernisme,
wacana (discourse) tak bisa lepas
dari relasi kuasa (power). Wacana
tokoh-tokoh publik di atas jelas tidak berdiri secara independen ketika
mengkritik KPK. Fahri dari PKS tentu mengkritik keras karena sentimen kasus
Luthfi Hasan Ishak (LHI) yang dihukum atas kasus impor sapi dan penyuapan.
Penangkapan mantan Presiden PKS itu jelas berpengaruh
pada elektoral partai tersebut pada Pemilu 2014, yang dalam banyak survei
telah berada di titik nadir. Rizal tentu saja membela kakaknya, Andi Alfian
Mallarangeng yang menjadi tersangka pada kasus Hambalang, serta Adnan Buyung
Nasution (ABN) menjadi pengacara dua tersangka korupsi, Tubagus Chairi
Wardana (Wawan) dan Anas Urbaningrum.
Dalam kasus penangkapan Anas,
ABN bahkan mengajarkan pembangkangan kepada Anas sehingga proses
penyidikannya menjadi bertele-tele. Jika ditilik, kemarahan ABN tentu sangat
erat hubungannya dengan proses berperkara yang sedang dijalankannya.
Jauh sebelum ini, jika publik masih ingat putera ABN juga pernah menjadi
tersangka oleh KPK pada kasus pengadaan impor sapi, mesin jahit, dan sarung
di Kementerian Sosial (Kompas, 29 April 2010). Kasus itu tidak sampai pada
penuntutan karena sang anak meninggal pada masa penyidikan.
Beberapa kritik terhadap KPK
terkait dengan perannya yang semakin besar, tidak memiliki pijakan yang
objektif.
Sejak KPK dibentuk berdasarkan
UU Nomor 30 Tahun 2002 dan undang-undang yang berhubungan dengan
kewenangannya, seperti UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU Nomor 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 8 Tahun 2010
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), KPK telah menjadi transformator
terkuat dalam pemberantasan korupsi yang juga semakin meraksasa dan bermutan
banyak. Kewenangan KPK adalah keniscayaan sejarah ketika model dan motif
korupsi sudah sedemikian kompleks, termasuk kelihaian pengacara koruptor
untuk melepaskan kliennya dari jeratan hukum.
Kasus terakhir, sejak
diberlakukan UU TPPU, tindakan pemberantasan korupsi bukan hanya bertujuan
menghukum koruptor tapi juga “memiskinkan”. Hal
itu adalah patut karena penistaan mereka atas kekayaan negara yang tak lain
kekayaan rakyat dan semakin tak bertepi.
Para pakar hukum masih berdebat tentang filosofi dan mekanisme
pemberlakuan TPPU yang terlihat kejam dalam praktiknya, seperti ketika
menghukum Gayus Tambunan, Angelina Sondakh, Joko Susilo, dan LHI. Namun, di
sisi lain publik mendapatkan ruang bernafas semakin sehat dan lepas dari
penyakit sesak.
Penting dipahami, dalam
kejahatan korupsi, rakyatlah korban semesta pelanggaran HAM. Kegeraman
masyarakat kini terjawab. Itulah alasan mengapa KPK menjadi lembaga yang
paling dipercaya publik setelah Mahkamah Konstitusi (MK) gagal di ujian
akibat kasus Akil Mochtar.
Terkait HAM, koruptor
seharusnya dibicarakan secara proporsional. Tuduhan Fahri Hamzah bahwa
kewenangan penyadapan KPK telah melanggar hak-hak individual warga termasuk
tersangka korupsi, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Oasal 28G Ayat (1)
dan 28J Ayat (2) tentang hak warga negara yang hanya boleh dibatasi undang-undang,
termasuk alibi telah dicabutnya pasal penyadapan dalam UU Informasi dan
Transaksi Elektronik/ITE (UU Nomor 11 Ttahun 2008) oleh MK.
Penjelasan di atas akan
dilihat sebagai kebenaran jika KPK tidak memiliki hak dalam penyadapan.
Padahal kewenangan itu diatur dalam undang-undang, yaitu untuk kasus keamanan
negara seperti terorisme dan korupsi. Karena kewenangan itulah, KPK berhasil
membongkar kejahatan konspiratif korupsi, terutama yang berhubungan dengan
penyuapan, transaksi-transaksi rahasia melalui teknologi komunikasi, serta
kelihaian para korupsi memilih tempat dan waktu untuk transaksi.
Jantung Hati Rakyat
Tentu saja, jihad besar KPK
untuk membersihkan najis korupsi tidak luput dari khilaf dan kesalahan minor,
biasanya lebih pada strategi, prioritas, atau aspek etik. Kasus Sprindik Anas
yang bocor ke publik, Bank Century yang masih macet, atau deponeering
Bibit-Chandra adalah sedikit “masalah minor” perjalanan KPK. Namun, kasus itu
seharusnya tetap dianggap kerikil yang tidak perlu dijadikan bongkahan batu
gunung untuk menghancurkan rumah KPK.
Banyaknya kasus dan tuntutan
menuntaskan kasus-kasus besar, terkadang berpengaruh pada kualitas dan
kinerja, tapi harusnya dijadikan refleksi kritis memperkuat KPK, bukan
sebaliknya. Jika mau jujur, perjalanan 10 tahun KPK telah memberikan warna
dan perbedaan yang cukup signifikan dalam pemberantasan korupsi di negeri
ini.
Kita harus melihat dengan
kepala sehat, Indonesia pasti menghadapi kanker kebangsaan stadium akhir jika
KPK tidak pernah dilahirkan. Komparasi sejarah pemberantasan korupsi harus
dilihat secara objektif, tidak melakukan melodrama seolah sejarah
pemberantasan korupsi saat ini lebih buruk dibandingkan Orde Lama atau Orde
Baru.
Kita memang tidak menginginkan
politik menghalalkan cara, tapi publik lebih tidak ingin bangsa ini dicekik
oleh elite-elite korup dan politikus busuk yang menyulap sistem ekonomi,
politik, dan hukum sebagai alat pemuas syahwat keserakahan dan hedonisme
mereka.
Pesan membesarkan hati ini
penting ditujukan kepada KPK agar tetap fokus dan kuat dalam menggembala
kasus-kasus korupsi. Publik pun harus lebih kritis dan apresiatif, tidak
larut dalam sangkaan-sangkaan sentimentil yang dikembangkan kader-kader
partai yang tersangkut kasus korupsi.
Banyak musuh KPK sedang
menunggu komisioner KPK jatuh ke kubangan, seperti dialami Antasari Azhar.
Namun, publik masih setia berada di belakang KPK. KPK masih menjadi jantung
hati rakyat. Jangan sampai ia mengalami gagal jantung karena
serangan-serangan tak bertanggung jawab dari musuh-musuhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar