Mencari “Setangkai Daun Surga” di
Tengah “Gurun”
Anton Kurnia ; Cerpenis, Esais,
Penerjemah, dan Editor
|
KOMPAS,
09 Februari 2014
Kita selalu membutuhkan
cerita untuk menyemangati hidup kita. Terkadang, kita memerlukan sebuah kisah
untuk meneguhkan diri kita bahwa pengorbanan akan berujung pada kebahagiaan
dan kebaikan benar-benar akan menang melawan kejahatan. Dan saya percaya, cerita
yang baik akan tetap melekat dalam ingatan dan hati kita walau itu dibaca
berpuluh tahun lampau. Itu senada dengan kata-kata Fyodor Dostoyevsky dalam
novelKaramazov Bersaudara, ”Pendidikan
terbaik dalam hidup kita, bisa jadi, adalah satu kenangan yang tertinggal
dari masa kecil.”
Saat membaca kumpulan
puisi Goenawan Mohamad, Gandari (2013), saya tertambat pada dua
puisi yang mengingatkan saya pada sebuah cerita lama. Dalam bait pertama
puisi ”Daun” (2012) yang ngungun,
Goenawan menulis: Dengan konyol aku ceritakan/bagian penutup
Setangkai Daun Surga:/Syahdan, di malam ke-7 yang dingin/(itu yang kuingat
dari buku Cor Bruijn)/setelah derak gurun,/setelah badai
bertahun-tahun/tangkai terakhir itu dianugerahkan./Dan daun itu jadi
hijau,/dan daun jadi/engkau. Sementara pada bait terakhir puisi ”U”
(2012) yang bernuansa kelabu, ia menulis: Di antara asap mobil yang lewat, benda itu
berkilau./Seperti setangkai daun surga.
Saya lalu membuka lagi
buku lawas pengarang Belanda Cor Bruijn (1883-1978) yang disadur A Dt
Madjoindo (1896-1970), Setangkai
Daun Surga (1972) dan dicetak
dalam ejaan lama. Di bagian akhir cerita itu, Abdullah memaafkan saudara
angkatnya, Umar, yang telah menyebabkan istri dan pamannya dibunuh. Di gurun
tandus itu ia bahkan memberikan bekal minuman terakhirnya untuk menolong Umar
yang tersiksa dahaga dan membiarkan kudanya dibawa lari Umar demi
menyelamatkan diri, sementara badai gurun yang ganas akhirnya menjadi
pengantar ajal Abdullah.
Namun, sebelum maut tiba,
Abdullah melihat sesosok (di buku itu ditulis ”seorang”) malaikat yang
menyodorkan kepadanya setangkai daun bercahaya. Meskipun daun itu kecil,
”tjahajanja menerangi alam”. Begitulah, malaikat menunggunya ”di pintu
djannah” dengan setangkai daun surga yang ”gilang-gemilang”. Itulah karunia
Tuhan yang sebesar-besarnya, yang hanya dapat diperoleh manusia dengan ”hati
jang putih bersih”. Itulah ganjaran dari Tuhan pembalas kebajikan Abdullah
yang dengan ikhlas telah menolong nyawa seorang musuh, ”sehingga njawanja
sendiri dikurbankannja”.
Daun surga ini tak ada
hubungannya dengan ganja yang belum lama ini dilegalkan penggunaannya di
Uruguay dan beberapa negara bagian Amerika Serikat. Namun, inilah daun intan,
yang terakhir dari keempat daun surga yang diperoleh Abdullah sepanjang hayat
melalui perbuatan-perbuatan baiknya: daun tembaga setelah ia menggali sumur
di gurun tandus untuk sumber kebutuhan orang-orang sekampungnya, daun perak
setelah ia menyelamatkan seorang budak perempuan buruk rupa dari sekapan
penyamun yang mengira budak itu majikannya yang jelita, daun emas setelah ia
menolong dan memaafkan kepala penyamun bernama Kara Chitan (dalam bahasa
Turki berarti ’Setan Hitam’) yang justru hendak membunuhnya.
Cerita yang
menyemai harapan
Sebenarnya, saya membaca
cerita itu pertama kali bukan dari buku Bruijn yang baru saya beli dua tahun
silam di sebuah lapak buku bekas, melainkan lewat komik karya Taguan Hardjo,
juga berjudul Setangkai Daun
Surga (edisi yang diperbarui, 1992), yang disadur dari ”Het Klaverblad Van Vieren” dalam buku De Wereld In, terjemahan bahasa
Belanda oleh J van Witzenburg atas karya pujangga Perancis, Edouard de
Laboulaye, dan digubah berdasarkan sebuah dongeng Arab. Di dalam sejarah,
Laboulaye (1811-1883) ini lebih dikenal sebagai penggagas dibangunnya patung
Liberty di New York sebagai hadiah dari rakyat Perancis pada 1865.
Taguan Hardjo (1935-2010),
yang dilahirkan di Suriname dari pasangan Indonesia-Belanda, dikenang sebagai
salah satu komikus terpenting kita. Pada periode 1958-1964 yang dikenal
sebagai zamannya ”Komik Medan” dalam sejarah komik Indonesia, Taguan menjadi
salah satu tokohnya bersama Zam Nuldyn (penggubah komik Luana, si Tarzan betina), Tino Sidin
(kelak dikenal sebagai pembawa acara Gemar
Menggambar di TVRI), dan Iwan
Gayo (yang kemudian lebih dikenal sebagai penyusun Buku Pintar).
Taguan menonjol baik dalam
produktivitas, teknik penggarapan, keseriusan melakukan riset, ataupun
pengolahan cerita. Seperti dinyatakan Arswendo Atmowiloto dalam ”Komik Itu Baik: Koran Medan, serta Cinta
Jakarta” (Kompas, 1980), Taguan
membuktikan bahwa ”komik tak bisa
dipandang enteng” dan bukan sekadar ”sampah
khayalan untuk menyibukkan anak-anak dan para pemimpi”. Penguasaan
arsiran tipis-lembut dan keterampilan menggambar anatomi serta plot-plot
ceritanya yang tak mudah dilupakan membuat karya-karyanya abadi dan menjadi
klasik dalam jagat perkomikan nasional.
Dalam wawancara dengan
Arswendo pula, yang kemudian diungkap dalam ”Taguan Hardjo, Raja yang Menyongket Pesan” (Kompas, 1979),
Taguan yang pernah menerjemahkan novel legendaris Multatuli, Max Havelaar, dari bahasa Belanda
sebelum HB Jassin melakukannya itu menegaskan konsep kreatifnya, ”Titik tolak dalam membuat komik adalah
menyampaikan pesan. Tanpa itu tak bisa. Pesan itu disongket sedemikian rupa
supaya sampai.... Cerita saya bertolak dari mendengarkan pengalaman, membaca,
yang kemudian saya reka-reka sendiri.”
Setangkai Daun Surga yang dipublikasikan pertama kali
pada 1959 dalam bentuk komik strip di harian Siong Po, Medan, misalnya, tak hanya
ditampilkan dalam gambar-gambar indah, penuh nuansa, dan tertata rapi, tapi
juga menyiratkan pesan moral yang dalam. Dan layaknya sebuah cerita yang
baik, komik itu mengandung impian dan harapan.
Namun, pada zaman kiwari,
apakah karya yang digarap dengan telaten itu sungguh-sungguh ada gunanya?
Melalui Setangkai Daun Surga yang terus membekas di dalam kepala
dan hati, sebagai pembaca cerita saya diteguhkan untuk tetap percaya dan
terus menyemai harapan bahwa di tengah karut-marut yang merundung hidup kita
dalam bermuamalat, berkesenian, dan bernegara, di antara riuh pasar dan
kecamuk politik di tengah ”gurun” yang tandus akan ketulusan ini, nun di sana
masih ada orang-orang mulia seperti Abdullah yang rela berkorban untuk
kebaikan orang banyak—bukan hanya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Dan pada akhirnya, keikhlasan beramal itu akan membawa kita mendapatkan
”setangkai daun surga” sebagai ”tiket” menuju masa depan bersama yang lebih
baik—katakanlah itu sebuah masyarakat beradab berasaskan kesetaraan tanpa
penindasan, kemiskinan, kebodohan, kejumudan, dan pertikaian konyol.
Seperti kata sebuah
pepatah Jerman, ”Mann kan alles
verlieren, nur die hoffnung nicht”. Orang boleh kehilangan segalanya,
kecuali harapan. Sebab, ”Harapan adalah
yang terindah dalam hidup manusia”. Namun, saya tak tahu entah kapan itu
semua bakal terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar