Topan Haiyan baru menerjang beberapa negara seperti Filipina,
Vietnam dan Tiongkok. Namun, yang paling parah terjadi di Filipina. PBB
memperkirakan sekitar 10.000 orang telah tewas, setelah diterjang topan dan
gelombang air lebih dari lima meter pada Jumat (8/11).
Data resmi Pemerintah Filipina menyebut hingga kini sudah 5.250 korban
tewas berhasil ditemukan (24/11). Menurut Sekretaris Kabinet Filipina Rene
Almendras, pemerintahnya kewalahan menangani banyaknya korban yang harus
dikuburkan. Yang mati memang harus dikubur. Namun, yang hidup masih butuh
makan dan pertolongan. Lambatnya bantuan sampai menimbulkan penjarahan dan
anarki di beberapa kota seperti Tacloban dan Alangalang. Dampak topan ini
memang tak mudah untuk dikuburkan.
Dukacita, derita dan beragam masalah lain sebagai dampak topan ini, akan
terus menggelayuti para korban yang masih hidup. Sebagian dari mereka pun
bertanya, ”Di mana Tuhan, ketika badai menerjang?”. Bahkan Rindrigo
Duterte, wali kota Davao, setelah melihat parahnya kerusakan di Tacloban
berkomentar pada para wartawan, ”Tuhan berada di tempat lain, ketika topan
menerjang,” seperti dikutip media Filipina, www.inquirer.net(12/11).
Beragam Pendapat
Malah ada yang berpikir, terjangan topan Haiyan itu bukti Tuhan sedang
menghukum Filipina. Ini jelas pandangan yang arogan, karena seolah
mengesankan, orang yang jadi korban topan lebih jahat dibanding yang tidak
kena topan. Juga merebak pandangan bahwa Tuhan sedang menguji atau mencobai
iman umat-Nya. Ini pandangan fatalisme. Juga terekam pandangan yang
menyalahkan atau menggugat Tuhan atas banyaknya penderitaan dan kematian
yang ditimbulkan oleh topan itu.
Pandangan demikian pernah diungkapkan oleh Epikuros, pemikir Yunani kuno
(342–270 SM). Adapun gugatan Epikuros adalah, “Apakah Allah ingin mencegah
penderitaan dan kejahatan tapi Ia tak mampu? Kalau demikian, Dia tak
berdaya dan tak layak disebut sebagai Yang Mahakuasa. Atau Allah mampu
mencegah penderitaan dan kejahatan tapi tidak melakukannya? Kalau demikian,
Dia Mahajahat dan bukan Mahabaik. Atau juga Allah tidak mampu dan tidak mau
mencegah penderitaan dan kejahatan?
Jika begitu, apa gunanya disebut Allah?” (Bandingkan dengan Kenneth Surin, The Turning of Darkness and Light: Essay
in Philosophical and Systematic Theology, 1989). Selain pandangan yang
mengaitkan topan dengan Tuhan, ada pandangan yang mengaitkan topan sebagai
karya kejahatan yang dilakukan oleh setan. Penulis baru membuka milis yang
mengutip pendapat Samuele Bacchiocchi PhD, pensiunan profesor teologi dan
sejarah gereja di Andrews University.
Dalam tulisannya “God and Tsunami:
What is the Lord Telling Us?”, Bacchiocchi secara tegas mengungkapkan
tidak mungkin Tuhan menghendaki kehancuran ribuan umat-Nya, termasuk
anakanak yang tak berdosa. Yang bisa melakukan kengerian luar biasa seperti
itu hanyalah setan atau kuasa kejahatan. Pandangan seperti itu sebenarnya
juga tidak terlalu baru. Kaum Manikeisme pada abad ke-3 dan ke-4 sudah
berpendapat bahwa di dunia ini ada dua bagian, yakni baik dan buruk, gelap
dan terang.
Di samping kekuasaan Allah, ada kekuasaan kegelapan yang sederajat dengan
Allah yang menjadi penyebab dari segala penderitaan di dunia ini. Mereka
yang gemar memakai pendekatan klenik atau takhayul, terangkum dalam
pandangan ini. Dari studi klasik, kita bisa belajar bahwa sudah ada upaya
untuk merasionalkan mengapa Allah yang Mahabaik membiarkan penderitaan atau
kematian, seperti dialami para korban topan Haiyan. Misalnya, Augustinus
dari abad ke-4 berpendapat, penderitaan tidak diciptakan oleh Allah, tapi
manusia sendirilah yang menciptakan penderitaan.
Namun, boleh jadi yang menarik dari sekian banyak pendapat adalah pendapat
Teilhard de Chardin sebagai wakil dari paham evolusionisme. Menurut teolog
dan filosof asal Prancis dari abad ke-20 ini, segala penderitaan adalah
dampak dari dunia yang diciptakan secara evolutif. Terjadinya topan,
tsunami, gunungberapiatau banjir bandang yang mengakibatkan jatuhnya banyak
korban jelas merupakan bentuk kegagalan dari sebuah dunia yang memang belum
sempurna.
Seperti diyakini Teilhard, dunia kita ini sedang berevolusi, bergerak dan
berkembang dari Alfa ke Omega, dari level terburuk ke kondisi dunia yang
final dan sempurna. Jadi, Allah sama sekali tidak menciptakan atau
menghendaki adanya penderitaan (termasuk penderitaan korban tsunami).
Penderitaan muncul sebagai dampak dari perkembangan evolutif dari dunia
yang kita tempati, apalagi alam memiliki hukum-hukumnya sendiri.
Otonomi dan Peran
Iptek
Memang dalam keyakinan (khususnya Kristen), ada pendapat yang menyebut
Tuhan tidak melakukan campur tangan sama sekali pada hukum alam. Artinya
alam dan manusia memiliki hukumnya sendiri atau otonom (auto : sendiri, nomos : hukum). Maka sesuai dengan prinsip sekularisasi,
manusia mendapatkan peran sekaligus tugas untuk memahami alam semesta lewat
pendekatan ilmiah (ilmu pengetahuan) Memang fenomena topan Haiyan atau di
Filipina disebut Yolanda, bisa dijelaskan secara ilmiah dari sisi iptek.
Menurut Kerry Emanuel, salah seorang pakar topan tropis paling terkemuka di
dunia, data menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan daya rusak yang
semakin besar dari topan atau badai yang muncul sejak pertengahan 1970
(jurnal Nature Nomor 436/2005). Haiyan termasuk salah satu topan tropis
terkuat yang pernah dicatat. Topan ini awalnya muncul di suatu kawasan
bertekanan rendah di timur-tenggara Pohnpei, di barat Samudra Pasifik pada
2 November. Lalu pada 4 November ketika bergerak ke arah barat, menjadi
topan tropis dan mendapat julukan Haiyan.
Topan ini masuk dalam kategori 5 Skala badai Saffir-Simpson. Dan puncaknya
ketika Jumat, 8 November lalu, dengan kecepatan 315 kilometer per jam,
topan ini menghancurkan Tacloban dan Alangalang. Topan ini terus bergerak
ke barat hingga Vietnam dan Tiongkok. Yang mengagetkan para pakar juga
menyimpulkan, Haiyan menjadi bukti nyata adanya perubahan iklim yang dipicu
oleh pemanasan global.
Pemanasan global ini terjadi karena ulah manusia sendiri. Jadi ternyata
dalam konteks iptek atau manusia, Tuhan sama sekali tak bisa dipersalahkan.
Justru lewat kemajuan iptek, manusia diharapkan membuat langkah antisipatif
agar topan atau bencana alam sehebat apa pun, bisa diminimalkan dampaknya,
khususnya lewat ”early warning
system” dan beragam bentuk antisipasi atau mitigasi bencana lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar