Belum lama ini, saya diwawancara sebuah
majalah laki-laki dewasa untuk penulisan profil dalam rubrik inspirasi.
Ketika sang wartawan memperkenalkan diri dan
menjelaskan sedikit tentang majalah tempatnya bekerja, sambil tersenyum
saya katakan, saya kenal alias sering membaca majalah tersebut. Jadi, tidak
asing lagi dengan muatannya.
Sebagai aktivis perempuan, itu pertama
kalinya saya diwawancara majalah laki-laki dewasa. Pertanyaan demi
pertanyaan saya jawab, yang cerdas sekaligus nakal. Saya menjawab
pertanyaan mulai soal gerakan sosial dan politik, kekerasan terhadap
perempuan, cara menghadapi konflik dalam keluarga, dan perlawanan terhadap
pihak luar yang berkekuatan besar.
Saya lalu teringat, Senin (25/11), merupakan
Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (International Day for the Elimination of
Violence against Women).
Hari yang diperkenalkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) ini, menurut sejarah, sebagai penghormatan meninggalnya
Mirabal bersaudara (Patria, Minerva, dan Maria Teresa) pada tanggal yang
sama di 1960. Mereka meninggal akibat pembunuhan keji oleh kaki tangan
penguasa diktator Republik Dominika, Rafael Trujillo.
Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik
yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan. Mereka juga menjadi
simbol perlawanan kediktatoran penguasa Republik Dominika kala itu.
Tanggal 25 November sekaligus menandai
diakuinya kekerasan berbasis gender (gender
based violence). Pada tanggal ini pertama kalinya dideklarasikan pada
1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.
Sejarah mencatat, dalam gerakan hak asasi
manusia (HAM) maupun tubuh PBB, perjuangan mengampanyekan dihapuskannya
kekerasan perempuan itu panjang berliku dan tidak mudah.
Baru pada 1993, PBB mengadopsi Deklarasi
Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan. Ini menegaskan kekerasan terhadap
perempuan adalah diskriminasi dan merupakan pelanggaran HAM.
Meski berhasil membuat hubungan tegas bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, pada kenyataannya, hal
ini masih menemui banyak tantangan. Jutaan perempuan di dunia termasuk di
Indonesia sampai sekarang masih mengalami kekerasan dan diskriminasi,
termasuk kekerasan seksual.
Guna lebih “memperkenalkan” penghapusan
kekerasan terhadap perempuan, sejak 1991 para aktivis perempuan
mengembangkan “16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan” sebagai kampanye
global, mulai 25 November hingga 10 Desember (diperingati sebagai Hari HAM
Sedunia).
Dua hari internasional ini dihubungkan guna
menyampaikan pesan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, ini bukan masalah perempuan saja, melainkan masalah
kemanusiaan yang harus diatasi bersama.
Di Bandung saya dan teman-teman memperingati
hari penting ini lewat berbagai kegiatan. Salah satu yang dipandang penting
tahun ini adalah “memperkenalkan” penghapusan kekerasan terhadap perempuan,
khususnya di kalangan laki-laki dan orang muda.
Ada alasan mengapa hal ini strategis. Studi
menunjukkan satu penyebab kecenderungan laki-laki menjadi pelaku kekerasan
karena minimnya kesadaran keadilan gender yang ditumbuhkan sejak
kanak-kanak.
Sejak kecil laki-laki selalu ditanamkan
nilai-nilai yang maskulin, superior, dan agresif. Sementara itu, pada
perempuan ditanamkan subordinasi dan kepasifan.
Sejak muda ruang untuk saling memperkenalkan
pengalaman masing-masing pun seolah tertutup. Tak ada ruang berdialog untuk
menghindari salah paham. Hal yang ada hanya sekat-sekat patriarkis, penuh
stereotip, dan prasangka. Hal-hal itulah yang terpelihara hingga dewasa.
Tiba-tiba terlintas di benak saya ucapan Ibu
dulu, “Tak kenal maka tak sayang”.
Mungkin itu benar. Sebagai sesama ciptaan Tuhan, kita sebaiknya membangun
dialog untuk saling mengenal. Dalam perkenalan itu, perempuan maupun
laki-laki dapat mengingat hakikat keberadaan di dunia ini sebagai makhluk beradab,
bukan untuk saling menyakiti dan menindas.
Sesaat sebelum 25 November, saya dan
teman-teman mengadakan perlombaan membuat video pendek dan poster
antikekerasan terhadap perempuan. Karya peserta menunjukkan semangat yang
tinggi mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Peserta
lomba ada yang laki-laki. Jurinya juga ada yang laki-laki.
Dalam perenungan saya, ruang bagi perempuan
untuk bersuara dan memperjuangkan hak-haknya harus dibuka lebar, termasuk
memperjuangkan dihapuskannya kekerasan terhadap perempuan. Jika laki-laki
ingin mengenal hal ini, tentu lebih baik bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar