Sejak beberapa waktu lalu dan kedepan perhatian dan energi
kita terfokus pada “pelanggaran” berupa penyadapan oleh Australian Signal Directorate (ASD),
badan intelijen Australia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara
Ani Yudhoyono, dan sejumlah pejabat tinggi Indonesia jadi sasaran
penyadapan negara “sahabat kita” itu.
Menteri Luar Negeri Marty M Natalegawa dan Presiden SBY segera bertindak
cepat dan tegas. Duta Besar RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema yang
saat itu sedang berada di Brisbane untuk suatu tugas segera dipanggil
pulang ke Indonesia. “… kalau bisa kopernya jangan terlalukecil,” pesan
Menlu Marty mengisyaratkan Dubes Nadjib akan berada di Indonesia dalam
jangka waktu yang tidak ditentukan. Dalam hitungan jam, Dubes Nadjib tiba
di Jakarta. “Ini tindakan yang tidak bersahabat sebagai mitra strategis
Indonesia.
PemerintahIndonesia mengambil sikap tegas dan terukur…. Insiden penyadapan
tersebut sangat mencederai dan melabrak Pemerintah Indonesia,” kata Menlu
Marty (Sindonews.com, 18/11). “Saya meminta hentikan dulu kerja sama yang
disebut pertukaran informasi dan pertukaran intelijen. Saya juga minta
dihentikan dulu latihanlatihan bersama antara tentara Indonesia dan
Australia, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun yang sifatnya
gabungan. Saya juga minta dihentikan sementara yang disebut dengan coordinated military operation,”
ungkap Presiden SBY (KORAN SINDO, 21/11).
Berbagai reaksi keras bermunculan. Pejabat pemerintah, anggota DPR bersama
tokoh politik lain, akademisi, pengamat, mahasiswa, tokoh pemuda, lembaga
swadaya masyarakat, bahkan hampir semua elemen bangsa termasuk individu
mengecam dengan murka tindakan Australia. Kemarahan Indonesia dipicu pula
oleh tanggapan PM Australia Tony Abbott di parlemen Australia yang
mengecilkan masalah besar dan sangat serius itu. Menurut Abbott, semua
pemerintah mengumpulkan informasi dan semua pemerintah tahu bahwa setiap
pemerintah lain juga mengumpulkan informasi.
Atas sikap dan pernyataannya itu, Abbott terpaksa “membayar mahal”,
terutama setelah melihat reaksi keras Indonesia dan kenyataan bahwa
masyarakat Australia terbelah dalam menilai kebijakan pemerintahnya. Survei
Nielsen mencatat bahwa popularitas Abbott di Australia turun karena cara
pemerintahnya menangani masalah hubungan dengan Indonesia tidak tepat,
terutama mengenai pencari suaka dan penyadapan.
Dari ketegangan hubunganIndonesia- Australia terkait penyadapan, ada
beberapa hal yang penting dicatat. Pertama, hubungan bilateral
Indonesia-Australia ke depan memerlukan rancang bangun yang memiliki sifat
kekhususan, diselenggarakan dengan lebih mengedepankan dan menekankan asas
prioritas, selektif, kewaspadaan, dan kepercayaan dengan senantiasa
menengok sejarah hubungan antarnegara.
Sejarah masa lalu memberikan pelajaran yang sangat berguna dan mengingatkan
kita bahwa hubungan Indonesia-Australia penuh suka dan duka, naik dan turun
ibarat roller coaster, serta ini seakan tiada henti (Al Busyra Basnur, The
Jakarta Post, 21 Juni 1998). Indonesia dan Australia adalah negara besar
yang memiliki persamaan, perbedaan, dan tentu juga kepentingan. Di satu sisi,
kita memiliki kesamaan dalam banyak hal, terutama dalam isu-isu global.
Di sisi lain kita tidak senantiasa sama dalam menerapkan strategi,
prioritas, pendekatan, pemajuan, dan cara-cara perlindungan kepentingan
nasional. Kedua, persatuan, nasionalisme, dan cinta tanah air bangsa
Indonesia terlihat benar-benar semakin kokoh saat kita menghadapi dan
menanggapi penyadapan Australia. Pemerintah dan masyarakat saling mendukung
dan menguatkan satu sama lain. Lahir sentimen kebersamaan
itutidakterlepasdari reaksicepat pemerintah.
Pemanggilan pulang duta besar RI, penghentian dan peninjauan kembali
sejumlah kerja sama, serta permintaan keterangan resmi Pemerintah Australia
sangat diapresiasi masyarakat Indonesia. Puluhan negara lain di dunia yang
jadi dan diduga jadi “korban” penyadapan intelijen Amerika Serikat (AS) dan
Australia, sebut saja Jerman dan Brasil, justru tidak melakukan semua apa
yang telah dilakukan Indonesia. Kejadian ini secara nyata melahirkan
sentimen “kekitaan” yang begitu kuat di kalangan bangsa Indonesia yang
tentu harus kita pertahankan dan pelihara ke depan.
Ketiga, nasionalisme dan cinta Tanah Air membuat kita rela dan mau berbuat
apa saja untuk kepentingan bangsa dan negara. Kita marah apabila harga diri
bangsa kita dilecehkan. Kita rela mati apabila kedaulatan kita diganggu.
Demikian pula dalam penyadapan oleh Australia, bangsa kita sangat marah
karena ditusuk dari belakang oleh teman sendiri. Kita luka dan tidak tahu
kapan bisa disembuhkan. Kalaupun sembuh, pasti meninggalkan bekas. Demo
yang mengecam Australia terjadi di berbagai tempat, termasuk di depan
Gedung Kedutaan Australia di Jakarta.
Namun, sebagai bangsa besar yang menjunjung tinggi tata krama, norma, dan
hukum, kemarahan itu tentu harus dapat kita kendalikan. Emosi yang tidak
terkendali tidak akan menyelesaikan masalah. Kebesaran suatu bangsa dapat
dilihat dari cara mereka bersikap, bertindak, dan menyelesaikan masalah.
Lihat, Presiden Obama sangat dihargai masyarakat dunia saat ia segera dan
langsung menyampaikan “maaf” kepada Kanselir Angela Merkel ketika diketahui
AS menyadap ponselnya (Sindonews, 28/10).
Kita pun respek kepada Obama. Bagi kita sekarang, sebagai bangsa yang besar
ini, mari kita berikan ruang dan kepercayaan kepada pemerintah yang sedang
bekerja keras menyelesaikan masalah ini. Masyarakat Australia dan
masyarakat Indonesia sesungguhnya bersahabat. Hubungan antarbangsa dekat.
Tidak ada masalah antara orang Indonesia dan orang Australia. Tentu kita
tidak lupa, persahabatan bangsa Australia dengan bangsa Indonesia telah
terbina sejak perjuangan kemerdekaan Indonesia antara lain saat masyarakat
Australia dan Australian Waterside
Workers Union ikut memboikot kapal-kapal Belanda yang hendak ke
Indonesia.
Kita juga melihat nyata kedekatan hubungan dan persahabatan masyarakat
Indonesia dengan Australia, baik di kalangan profesional, pengusaha dan
pedagang, tokoh sosial dan budaya, akademisi, pemuda dan mahasiswa, maupun
berbagai kelompok sosial masyarakat lain. Karena itu, tidak ada alasan
ketegangan hubungan kedua pemerintah merusak persahabatan antarmasyarakat
dua bangsa yang telah dibangun dengan baik sejak lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar